x

Hati

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 9 November 2021 06:07 WIB

Sesuai Sikap dan Perilaku, Warna Hati Saya, Apa?

Pengin tahu deh, warna hati saya, sesuai sikap dan perilaku saya selama ini, apa, ya? Ini menyoal warna hati ungkapan ya, bukan warna hati organ tubuh kita yang sebenarnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengin tahu deh, warna hati saya, sesuai sikap dan perilaku saya selama ini, apa, ya? Ini menyoal warna hati ungkapan ya, bukan warna hati organ tubuh kita yang sebenarnya.

Mengapa banyak orang kaya harta yang tetap peduli dan punya hati kepada orang lain yang kesusahan? Lalu, mengapa banyak pula orang miskin harta juga tetap peduli dan punya hati terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain, meski untuk menghidupi diri dan keluarganya susah?

Mungkin yang orang-orang di golongan ini memang dianugerahi pikiran-hati emas berlian bawaan sejak lahir dan bakat limpahan alam, hingga pikiran dan hatinya selalu menjadi emas di antara bebatuan. Senantiasa menjadi berlian di antara emas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebaliknya, mengapa tetap banyak orang kaya harta, tetapi tetap tak peduli dan tak punya hati terhadap kesulitan, penderitaan, dan kesusahan orang lain? Mirisnya, orang di golongan ini, bukan hanya tak peduli dan tak punya hati untuk orang lain. Untuk dirinya sendiri dan keluarganya saja, kikir (terlampau hemat memakai harta bendanya, pelit), seperti kekayaan harta akan dibawa ke liang kubur.

Apalagi, di tengah pandemi corona, tetap terkuak orang-orang yang bila dilihat hatinya, mungkin warnanya sudah hitam pekat, karena licik dan kikir, sebab justru sibuk memperkaya diri sendiri bersama golongannya di atas penderitaan rakyat. Atau warna hatinya bak pelangi, karena punya berbagai muslihat. Atau sebenarnya, warna hatinya putih atau merah?

Sepertinya, pengingat bahwa sebagian harta atau rezeki yang kita dapat dan miliki adalah milik orang lain, hanya sebagai slogan dan angin lalu, karena mata hatinya telah dibutakan oleh harta, duniawi, sampai kehidupan hedonis, dan menandakan tak pernah tersentuh hati untuk pandai bersyukur.

Faktanya, di antara orang yang kaya harta dan miskin harta tetapi tetap peduli dan punya hati, juga tidak semua dari kalangan keluarga yang mengenyam bangku pendidikan. Mereka peduli dan punya hati karena di keluarganya telah tertanam, terdidik, dan mewarisi budaya kebenaran untuk bagaimana menjadi manusia yang peduli, punya hati, dan turut merasakan atau pernah merasakan kehidupan yang susah, menderita, dan kesulitan.

Belum selesai dengan dirinya

Tentu kita sering mendengar atau membaca atau pernah ikut diskusi, seminar, pelatihan, yang sering mengungkap tentang masih banyaknya, orang-orang yang belum selesai dengan urusannya sendiri.

Mengapa tetap ada orang yang tidak pernah selesai dengan urusannya sendiri? Padahal ibadahnya rajin, pendidikannya tinggi? Hidupnya terus memakai topeng, sembunyi di balik punggung orang lain, tetapi urusannya sendiri maunya tetap mudah, dinomorsatukan, tetapi tak punya simpati, empati, dan peduli, karena miskin hati.

Orang-orang seperti ini, selain dalam hidup tak pernah merasa bersyukur, juga segala sesuatunya selalu merasa kurang dan kurang. Orang lain adalah masalah dan biang keladi bagi urusan mereka bila gagal, dan menjadi kambing hitam.= Orang yang belum selesai dengan dirinya, biasanya, tidak mau mendengarkan orang lain, dan banyak bicara demi menguntungkan dirinya. Iri dengan orang lain, tak mau mendengar masukan dan pendapat orang lain.

Orang semacam ini juga akan gengsi dan jual mahal untuk mengakui kesalahannya. Tidak bisa dan sulit diajak diskusi, rapat, karena pikiran hatinya tertutup dan tak mau ada kompromi, karena menganggap dirinya adalah kebenaran, orang lain selalu salah. Dan, sangat sulit mengendalikan ego. Tak pernah mendahulukan kepentingan orang lain.

Orang yang belum selesai dengan.dirinya, tentu tak akan punya banyak teman. Meski punya, temannya pun akan menjaga jarak karena karakternya hanya mementingkan dirinya sendiri.

Orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri, dapat dipastikan bahwa dia adalah golongan manusia yang miskin hati karena tak pernah punya hati, tak punya rasa peduli.

Apakah mereka akan tergerak hati turut membantu kesulitan, kesusahan, dan penderitaan orang lain, keluarga lain, perkumpulan yang dia ikuti, kelompok yang dia ikuti, dan lain sebagainya? Jawabnya, ada dalam kehidupan nyata di sekeliling kita.

Semoga akal dan pikiran saya terus disadarkan, agar selalu terjaga dalam kepekaan rasa untuk peduli dan terbuka hati terhadap sesama. Sebab peduli dan punya hati itu, tak harus menunggu kaya harta.= Sikap peduli, punya hati, kaya hati, yang kita bagi kepada orang lain tanpa diiringi pemberian harta, itu nilainya lebih dari emas, bahkan berlian. Apalagi bila kita turut berbagi dari sedikit harta yang kita miliki kepada orang lain.

Warna hati.

Jadi, kira-kira, warna hati saya itu apa ya? Sesuai dengan sikap saya selama ini? Apa warnanya putih? Artinya makna hati yang lebih baru, bersih, sederhana dan suci? Atau warna coklat yang bisa menandakan bahwa saya punya rasa solidaritas dan dukungan kepada sesama terutama yang kesusahan?

Atau warna merah yang berarti punya rasa cinta dan rasa memiliki, plus berani bersikap? Atau warna orange yang sering diartikan sebagai sikap tak sungguh-sungguh? Atau warna kuning yang lekat dengan gambaran suka pertemanan dan persahabatan?

Atau warna hijau yang dikaitkan hanya suka basa-basi, tak sungguh-sungguh? Lalu, warna lain hingga warna hitam? Yah, itu hanya istilah, tak harus dijadikan pemahaman dan tolok ukur.

Yang pasti semoga hati saya senantiasa memancarkan energi positif, hingga terus tersadarkan akan pentingnya kehidupan yang didasari oleh rasa peduli dan kaya hati. Aamiin.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler