x

Iklan

Intan Purnama

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Kamis, 11 November 2021 15:06 WIB

Cerpen: Surat untuk Negarawan

tulisan fiksi berupa cerita pendek tentang berita kehilangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Surat untuk Ayah Negarawan

“Korban Corona hari ini terus meningkat, persedian masker di apotek dan pasar menjadi langka..”

Krek!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Loh, kok dimatikan sih nak..” ibu menoleh padaku setelah aku mematikan TV.

“Bosen bu dengar berita, corona lagi.. corona lagi.. Berita-berita yang dulu ditimbun dalam-dalam!” gerutuku seraya melangkah keluar. Ibu tak berani menyalakan lagi TV, dia tahu aku sangat benci pada orang-orang yang mengabaikan berita kehilangan.

“Eh Rani, tumben pagi-pagi sudah keluar.” Tutur bu Sarti yang sedang berkerumun bersama ibu-ibu lain di sekeliling tukang sayur. Beberapa dari mereka adalah temanku, ada yang mengais bayi ada pula yang menuntun anak.

“Iya bu, mau beli kuota.” Ucapku seraya berjalan menuju warung yang tak jauh dari sana.

Pagi-pagi bukannya masak malah cari kuota!” celetuk seseorang saat aku melangkah pergi.

“Mari bu, saya duluan..” tuturku saat kembali melewati tukang sayur usai membeli kuota.

“Neng, gak beli dulu sayurnya?” tanya tukang sayur padaku. Aku menggeleng seraya tersenyum.

“Besok lagi mas, tadi pagi saya sudah masak ikan.” Jawabku seraya pergi.  

Tak usah dibaweli, aku sudah terbiasa masak jam 6 pagi meskipun seisi rumah tak ada yang sarapan di bawah jam 7. Aku hanya ingin membereskan pekerjaan rumah sebelum perkuliahan dimulai. Untung saja aku masih sempat membeli kuota.

Maharani Resyakila, biasa dipanggil Rani atau Kila. Dia wanita pekerja keras yang cukup keras kepala. Tak peduli dengan teman-teman di sekitarnya yang sudah menikah bahkan memiliki anak, Rani bersikeras melanjutkan pendidikan S2-nya setelah lulus sebagai sarjana hukum. Kini dia harus melanjutkan pendidikan S2 secara online karena pandemi yang masih mewabah di Indonesia. Rani tak peduli, selama dirinya masih mendapatkan beasiswa dia akan terus belajar ilmu hukum bahkan kalau bisa, sampai S3. Dia wanita bertekad kuat. Begitulah penilaian sebagian orang-orang tentang diriku. Sejak SMP, batinku selalu bergejolak, penasaran akan hukum di Indonesia. Bagaimana bisa kehilangan ayah yang sekarang sudah genap 22 tahun, diabaikan begitu saja. Aku tidak peduli pada orang-orang yang nyinyir atas semangat pendidikanku, mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan sosok ayah sejak lahir, mereka tidak pernah merasakan gelisahnya menuliskan nama ayah saat melengkapi identitas. Karena itu aku selalu mencoba menutup telingaku dari obrolan warga, biarkan aku berjuang sendiri menemukan keberadaan ayahku.

“Ayahmu dulu seorang jurnalis, dia sering begadang untuk menuliskan berita agar besoknya muncul di koran. Namamu itu buatan ayah kamu sejak kamu masih dalam kandungan ibu. Dia yakin anaknya perempuan, ternyata benar.” Tutur ibu seraya mengusap rambutku, kepalaku berada di lahunannya. Itu ucapan ibu belasan tahun yang lalu, dia mengungkapkan tentang kehilangan ayah saat aku di bangku SMP. Linangan air mata adalah jawaban yang diberikan ibu saat aku bertanya ‘dimana ayah?’ Sejak saat itu, aku bertekad untuk menemukan ayah dengan segala kemampuanku. Persetan keadaan ekonomi keluargaku, aku akan tetap belajar dan mengejar beasiswa.

“Mbak, lama sekali kuliahnya. Bahas apa?” tanya Wira, adikku.

“Sudah beres kok,” Jawabku seraya menutup laptop. Adikku masih berdiri di ambang pintu.

“Mbak sampai kapan kuliah terus? Mbak gadang terus, cari duit juga buat sekolahku..” tutur Wira dengan kepala menunduk.

“Tenang saja, mbak sanggup kok. Doakan saja mbak ya, agar menjadi anggota komnas HAM nanti. Kalau tidak, mbak bisa menjadi orang yang mengesahkan Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Kejahatan Penghilangan Paksa” Tuturku seraya menepuk bahu Wira, sementara Wira mengernyit.

Dia Mahawira Adisatya, adikku yang sekarang di bangku SMA. Dia selalu mengobati kerinduanku pada ayah, ibu bilang watak Wira benar-benar mirip dengan ayah. Ya, aku bisa merasakannya meskipun aku tak pernah merasakan hidup bersama ayah tapi Wira selalu memperhatikanku, dia selalu mengingatkanku membawa hand sanitizer dan memakai masker saat keluar, dia selalu mengingatkanku membawa payung, dia selalu menemaniku jika aku sakit. Sebagai anak pertama, aku pantas membiayainya.

Ponselku berdering setelah beberapa menit aku membersihkan diri di kamar mandi. Pertanda panggilan masuk, itu bu Fatma – dosenku sekaligus advokat – yang menjadikanku sebagai asisten dosen saat kuliah S1.

“Rani kau sibuk?”

“Ti.. tidak terlalu bu,” jawabku setelah melihat daftar panggilan, dia sudah menghubungiku lima kali. “Ada apa bu?” tanyaku seraya berjalan menuju cermin.

Bu Fatma ingin aku menggantikannya beberapa hari, membantu klien-nya di pengadilan. Tak lama ponselku berdering, pesan masuk dari bu Fatma. Dia mengirim nomor telepon klien untuk dihubungi.  Hari ini aku bebas dari jadwal kuliah, aku segera menghubungi klien-ku agar mengetahui permasalahannya. Dia memintaku bertemu di salah satu restoran.

“Mbak! Maskernya ketinggalan..!” teriak Wira seraya berlari mengejarku.

“Oh iya! Makasih ya,” aku segera memakainya.

“Untung mbak belum naik angkot, hati-hati ya mbak.” Ucap Wira seraya mencium tanganku. Ternyata klien-ku seorang pria, dia berpakaian rapi tapi kemejanya digulung sampai siku. Begitu duduk, dia memberiku kartu nama. Dia seorang pengusaha, namanya Aryaguna.

Tanpa mengulur waktu dia segera membeberkan permasalahan yang ingin aku urus. Semula aku mencoba menerima permasalahan yang dia hadapi namun lambat laun aku tak dapat menerimanya.

“Mohon maaf.. tanpa mengurangi rasa hormat, saya tidak dapat membantu Anda.”

“Maksud kamu apa?” tanya Arya dengan muka geram. Aku menunduk dalam.

“Saya tidak bisa menerima Anda sebagai klien saya.” Tegasku seraya berdiri.

“Tunggu!” Arya memegang lenganku sebelum aku pergi. “Tapi bu Fatma sudah menerima saya.” Lanjut Arya seraya menatapku kuat.

Pria ini benar-benar keras kepala, bagaimana pun aku tak bisa membelanya sebagai klien. Bagaimana bisa seorang anak menuntut ayahnya hanya karena pembagian warisan yang menurutnya tidak adil.

“Jelaskan pada saya, kenapa kamu menolak saya.” Arya mempererat genggaman tangannya seolah memaksaku duduk. Terpaksa aku duduk lagi di hadapannya.

“Pembagian warisan adalah hak ayah Anda. Terserah dia memberi berapa, itu harta dia.”

“Itu tidak adil! Saya anak pertamanya! Kenapa adik-adik saya yang lebih besar bagiannya.” Bentak Arya.

“Lagi pula Anda seorang pengusaha kan? Apa usaha Anda tidak lancar?” Cibirku seraya melipat tangan di dada.

“Saya tidak mau tahu! Lelaki tua itu harus dituntut karena tindakannya!”

“Kau bilang apa? Lelaki tua?! Kau bilang ayahmu lelaki tua?!” aku benar-benar tak dapat mengontrol emosiku. Pria ini sungguh biadab!

“Terserah saya panggil dia apa, itu bukan urusanmu! Lagi pula dia selalu membuat kekacauan. Saya hampir setiap hari bertengkar dengarnya.”

Plakk..!” tanganku melayang begitu saja ke pipi Arya.

“Seharusnya Anda bersyukur memiliki seorang ayah! Bahkan Anda harus bersyukur bisa bertengkar dengannya dari pada tak pernah melihatnya sama sekali! Coba pikirkan kembali, apakah Anda akan bisa menjadi pengusaha di bumi ini tanpa adanya seorang ayah?!” Nada bicaraku meninggi, beberapa pelanggan di sekitar mejaku menatap padaku. Aku tak peduli dan segera meninggalkan Arya di sana.

Senja sebelum matahari tertelan lautan, aku pergi menuju pantai menginjak beberapa karang lalu duduk di salah satu karang besar di sana. Inilah yang biasa kulakukan ketika aku merindukan ayah, aku selalu menikmati senja sembari menulis surat untuk ayah.

“Ayah, hari ini aku menampar seorang klien.. apa aku keterlaluan?” Bisikku dalam batin seraya menuliskannya di selembar kertas. Aku selalu menumpahkan segala kesedihan atau kebahagiaan dalam surat, berharap ayah tahu keadaanku. Apapun yang terjadi padaku, aku akan menuliskannya. Surat itu seolah menjadi media bagiku agar aku bisa bercerita pada ayah. Ini surat yang ke 1.090, ah, mungkin lebih. Ada beberapa surat yang tak kuhitung. Aku tak pernah bosan menulisnya, memasukkannya ke dalam botol lalu melemparnya ke lautan. Tak ada yang tahu dimana surat itu berlabuh, tapi aku selalu merasa lega setelah melemparnya ke lautan.

Tak sempat memasak untuk makan malam, aku keluar mencari pedagang kaki lima untuk membeli lauk pauk. Wira menemaniku, dia memegangi payung karena hujan cukup deras sore itu. Usai membeli lauk kesukaan ibu, aku menghampiri roda penjual gorengan lalu duduk di sana. Ibu tersenyum melihat aku dan Wira pulang dengan membawa makanan kesukaannya. Wira segera membereskan meja untuk makan malam.

“Nak, kamu wisuda kapan?” tanya ibu saat aku melahap bakwan jagung.

“Setahun lagi mungkin bu, eh kurang sih. Ada apa bu?”

“Ndak apa-apa, ada beberapa pemuda tanya ke ibu. Kapan kamu bisa dilamar?”

“Uhukk..! Uhukk!” aku tiba-tiba tersedak mendengarnya, Wira segera mengambilkan minum untukku. “Aku butuh wali agar aku bisa menikah bu,” jawabku setelah meneguk teh.

“Ada paman yang bisa menjadi wali pernikahan kamu,”

“Enggak bu! Aku mau ayah!” spontan nada bicaraku meninggi. Wira mengusap-usap bahuku agar emosiku reda. Perkataan ibu membuat selera makanku berkurang. Aku pergi meninggalkan meja makan padahal hanya beberapa suap lagi tersisa di piring. Aku selalu kesal ketika tak ada orang yang mendukungku untuk menemukan ayah. Satu ide tiba-tiba saja terlintas di benakku saat aku merebahkan diri di kasur.

“Kenapa baru kepikiran sekarang ya?” ucapku seraya bangun, tanganku refleks menggaruk-garuk kepala padahal tak ada yang gatal.

Segera kucari nomor telepon pimpinan redaksi di hapeku. Sudah setahun lebih aku bekerja sebagai cover designer di salah satu majalah, sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku membuat tulisan untuk dipublikasikan di sana. Aku akan bertanya pada pimpinan redaksi apakah aku bisa mempublikasikan tulisanku.

“Baik pak, terima kasih banyak. Mohon maaf mengganggu waktunya.” Tuturku seraya mengakhiri panggilan.

Tanpa pikir panjang, aku segera membuka laptopku. Ribuan kata tumpah begitu saja malam itu, jari-jariku bergelut dengan papan ketik dan mataku tak ingin berpaling sedetik pun.

“Ayah, aku memang tidak mengikuti jejak ayah sebagai jurnalis. Aku juga tidak bisa menulis beribu-ribu berita di koran seperti yang ayah lakukan. Ini pertama kalinya aku menulis untuk dipublikasikan, masa bodo berbicaraku belum fasih. Aku yakin dari bermilyar manusia di negeri ini pasti ada yang membaca tulisanku.” Bisik batinku tanpa berhenti mengetik ditemani tetesan air mata yang seolah seirama dengan detak jam.

Semburat mentari yang menembus jendela membangunkanku dari tidur. Laptopku mati, baterainya habis semalam. Untungnya tulisanku sudah selesai. Mungkin aku akan mengirimkannya kepada pimpinan redaksi nanti siang. Usai perkuliahan berakhir, aku membuka kembali tulisanku yang berjudul ‘Berita Corona Top Rating Berita Kehilangan dibanting’, aku harus memeriksa kesalahan penulisan sebelum aku menyerahkannya ke pimpinan redaksi. Sialnya aku tak dapat menahan air mataku saat membaca surat yang terdapat dalam tulisan itu, surat untuk ayah, oh maaf. Bukan untuk ayah tapi untuk para negarawan.

“Ayah.. aku rindu, kapan aku bisa bertemu denganmu? Tapi maaf, kali ini surat ini bukan untuk ayah.

Yth. Bapak/Ibu Negarawan

Apakah ada satu orang saja yang mendengar jeritan saya, atau menoleh pada kesedihan saya? Siapapun yang membaca surat ini, tolong pahami saya sekali saja. Berharap surat ini mewakili orang-orang yang bernasib sama seperti saya. Saya telah kehilangan orang tersayang, Ayah. Ketiadaannya tak pantas digantikan dengan amplop! Saya membutuhkan sosok ayah, saya tak pernah merasakan kehadirannya sejak lahir. Sampai saat ini saya membutuhkannya sebagai seorang wali, saya masih belum tahu dimana dia berada. Para pemimpin, tolong dengarkan saya yang telah menjerit puluhan tahun namun tak kunjung didengar. Berikan kepastian tentang ayah saya, saya berharap dia masih hidup, saya ingin memeluknya mengatakan rindu. Apa kesalahan ayah saya sampai saya tak dapat bertemu dengannya? Kenapa tak Anda jebloskan saja ke penjara seperti narapidana lainnya? Itu lebih baik dari pada saya tak dapat bertemu dengannya sama sekali. Tapi jikalau Anda memberi gelar almarhum kepadanya, biarkan saya mengukir batu nisan untuknya dan menjenguknya setiap hari. Indonesia negeri yang padat penduduk tapi renggang akan kepedulian, terlalu peka pada hal sepele namun kebal pada masalah genting. Wahai para penegak keadilan, Anda pasti enggan menghitung berapa banyak hak yang telah dirampas dari saya. Tak apa, saya tak keberatan asalkan Anda mau membaca surat ini. Surat ini tak setebal buku undang-undang, mungkin Anda hanya akan membaca sebagian kisah hidup saya, lagi pula kisah saya tak serumit undang-undang cipta kerja. Saya lahir dari seorang ibu yang tegar, dia dipaksa menjanda tanpa tahu suami kemana. Dia berjuang sendirian melahirkan saya, merawat saya sampai saya dewasa. Sementara saya adalah putri sulung yang tak pernah merasakan pelukan ayah, tak pernah melihat senyuman ayah, tak pernah bisa mencium tangan ayah dan kini saya berjuang menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa saya beberkan kisah hidup saya, orang cerdas pasti paham, berapa banyak hak yang telah dirampas dari  saya dan keluarga saya. Siapapun yang membaca surat ini, politikus, pejabat, jaksa, barisan DPR atau bahkan hanya orang biasa, tolong bantu saya agar bisa bertemu dengan ayah. Saya sudah bergelut dengan ilmu hukum, melahap buku-buku berisi undang-undang negara, menelan bulat-bulat aturan negara, tapi saya tetap tak bisa menembus pintu negara untuk melaporkan berita kehilangan. Jadi, aku hanya dapat menulis surat ini.”

–  Maharani Resyakila

Genangan air mata tak sanggup lagi kubendung, mataku bukan waduk Jatiluhur. Sebenarnya saya bisa saja menulis surat lebih tebal dari buku KUHP, tapi saya rasa.. saya tak perlu banyak bicara.

Ikuti tulisan menarik Intan Purnama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB