x

Macet

Iklan

Gibran Fa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Jumat, 12 November 2021 16:42 WIB

Pahlawan di Kaos Oblong

Cerpen yang menceritakan tentang kehidupan tuna wisma.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Oleh : Wawan Gibran FA

Bibit menikmati sarapan paginya di lampu merah. Bersama sekumpulan tuna wisma yang lain, ia telah terbiasa bermandi keringat sebelum seteguk air masuk di kerongkongan.

Para kaum halus menyebut mereka 'tuna wisma' bukan gelandangan. Kata mereka lagi, gelandangan terlalu kasar dan tidak layak disematkan kepada seseorang atau sekelompok orang yang tidak punya tempat tinggal. Kaum halus memang sangat mengerti tata krama dan sopan santun. Meski pada kenyataannya, mereka tetap sama. Tidak mempunyai tempat tinggal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi Bibit dan rekan-rekan sejawatnya, sebutan itu tidak penting. Terpenting adalah mereka diakui keberadaannya dan menjadi bagian dari republik ini. Bukankah warga negara yang baik adalah yang mematuhi dan sendiko dawuh kepada pemerintah?

"Bajumu itu saja, kaos oblong yang telah serupa spring bed. Kau tak ada ganti kah?" Tanya tukang asongan kepada Bibit.

"Jangan salah! Coba tengok, di dalam Koas oblong butut ini ada gambar pahlawan. Mana mungkin aku bisa menggantikannya."

Mereka saling diam, bertengkar dengan pikirannya masing-masing.

Memang benar, banyak gambar pahlawan di Kaos oblong. Apalagi menjelang kampanye. Puluhan bahkan ratusan pahlawan terpampang di sana. Pahlawan yang memperjuangkan hak-hak warga negara termasuk gelandangan (baca : tuna wisma).

Bibit masih teringat jelas senyum manis sesosok lelaki yang turun dari mobil. Dengan nada bicara yang halus seperti putri solo. Senyumnya mengembang, tatapan yang sayu serta memesona. Tak ada kata yang pantas disebut selain lelaki itu penuh adab dan etika. Dengan suara lirih dan santun ia mendekati Bibit dan kaumnya. Berbicara penuh ejaan yang disempurnakan dan sesuai KBBI.

"Saudaraku, saya sebagai calon wakil anda sekalian, akan berjuang dan bekerja keras untuk menyuarakan aspirasi anda semua. Sudi kiranya memilih saya nanti." Seraya dengan sigap tangannya membagikan kaos oblong yang dipakai oleh Bibit dan rekan-rekan seprofesinya sekarang.

"Dengan senang hati, kami mewakilkan kepada anda, aspirasi dan keinginan kami untuk kedepannya." Suara Bibit mewakili kaumnya.

Percakapan itu serasa baru kemarin, masih terdengar jelas dan masih terngiang di telinga. Padahal sudah ada empat tahun lalu.

"Ah ... Terpenting aku sudah ada kaos oblong gambar pahlawan. Mungkin saja lelaki itu sekarang tengah getol menyuarakan kepentingan kami," gumamnya.

Bibit dan bala kurawanya tetap berpikiran positif. Tak pernah lupa, ia mengajak kroni-kroninya mengibarkan bendera merah putih setiap 10 November, untuk memperingati pahlawannya tersebut. Mereka percaya dan yakin bahwa lelaki itu dapat merubah nasib. Tak ada keraguan juga prasangka buruk, karena mereka mengimani adanya Sebuah janji.

Mereka juga tak lupa menciumi kaos oblong itu sebagai tanda penghormatan kepada sumpah. Kaos itu meski sudah lecek, kumal dan bolong-bolong, bukan alasan untuk sekadar mencaci maki lelaki itu. Mereka telah berteman dengan janji, dan tidak ada komentar bila pada saat ini belum ditepati. Mungkin saja lelaki itu sekarang berjibaku menegakkan kebenaran dan keadilan.

Bibit dan kaumnya termasuk yang mempercayai janji juga sumpah.

"Sudahkah kau dapat uang hari ini?" Tanya Bibit kepada Wiji.

"Sudah! Aku tadi mengelap kaca mobil di lampu merah, pengemudi mobil plat merah itu memberiku uang recehan. Ternyata ia lelaki yang memberikan kita kaos oblong itu, Bit!" Nada Wiji bersungut-sungut penuh semangat 45. Di wajahnya tergambar jelas kegembiraan dan kebahagiaan.

"Benarkah?"

"Sejak kapan kau meragukan ucapanku. Aku masih bisa dipercaya dan memegang kejujuran di atas undang-undang dasar negara dan Pancasila."

"Syukurlah! Kau masih tergolong manusia yang mempunyai kemanusiaan yang adil dan beradab." Senyum datar Bibit mencoba mengatur jakunnya yang naik turun.

Lampu merah, di bawah jembatan, di emperan toko, di lapak pasar adalah istana yang tak pernah mengeluh. Bibit dan bala tentaranya sudah biasa dan terbiasa. Seperti mereka biasa dan terbiasa memakai kaos oblong gambar pahlawan, yang akan mereka ganti setiap lima tahun sekali.

"Jangan bicara politik, kita hanya gelandangan!"

"Iya, aku paham!"

***

'Wakil rakyat seharusnya merakyat' 'Jangan tidur kalau sidang soal rakyat.'

Suara alunan lagu dari mulut pengamen di lampu merah itu mengusik benak Bibit.

Mereka salah!

Wakil rakyat telah merakyat sebelum kampanye, dan tidur pada sidang disebabkan oleh terlalu letih membawa aspirasi rakyat. 

Itu yang benar!

Bibit mencium lagi kaos oblong gambar pahlawan itu, seraya berkata, " sumpah dan janjimu bukan urusan kami, tetapi urusanmu dengan Tuhan."

"Bit, kapan kita ganti baju?"

"Tunggu kampanye yang akan datang!"

Ikuti tulisan menarik Gibran Fa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler