Mepamit, Tradisi Mengawali Perkawinan Adat Bali

Rabu, 15 Mei 2024 08:37 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penyanyi kondang asal Bali, Luh Ketut Mahalini dipinang Rizky Febian sebelum ritual besar mepamit. Sempat banyak orang yang menduga perkawinan itu berlangsung dalam adat Bali ritual Hindu. Padahal Lini dan Rizky akad nikah secara Islam di Jakarta. Lalu apa makna ritual mepamit itu?

Mepamit, Tradisi Mengawali Perkawinan Adat Bali

Oleh Mpu Jaya Prema

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rangkaian perkawinan penyanyi kondang asal Bali, Luh Ketut Mahalini dengan Rizky Febian, putra pelucu Sule, menjadi pembicaraan berhari-hari. Rangkaian perkawinan itu sendiri sejak peminangan sampai resepsi memang dibuat besar-besaran. Maklum mereka adalah selebritas yang sedang berada di puncak. Resepsinya di sebuah hotel mewah di Jakarta, bukan saja dihadiri artis-artis yang penuh glamour, juga hadir Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana.

Namun dari rangkaian yang mewah itu ada yang sempat menimbulkan pergunjingan yang tidak sedap, yakni menyangkut istilah yang oleh sebagian masyarakat Bali yang disebut mepamit. Kata mepamit ini berasal dari kata pamit yang artinya sama dengan bahasa Indonesia, mohon permisi untuk pergi. Ini adalah acara ritual menyangkut akan “perginya” seorang anak meninggalkan keluarganya. Dan karena ritualnya dibuat besar lalu muncul anggapan bagi yang tidak paham seolah-olah Mahalini melangsungkan perkawinan secara adat Bali dalam ritual Hindu. Beruntunglah Sule dengan cara yang serius – bukan lagi melucu – bisa menjelaskan dengan baik di berbagai akun media sosialnya, bahwa itu bukan ritual perkawinan. Ritual perkawinannya akan dilakukan secara Islam di Jakarta dan Mahalini akan menjadi mualaf.

Di Bali sendiri, terutama dari kalangan generasi muda yang belum banyak tahu adat leluhurnya, juga muncul berbagai komentar. Kenapa anak perempuan harus mepamit ke orang tuanya ketika mau menikah? Kenapa orang tua harus “memutuskan hubungan” dengan anak perempuannya yang akan kawin? Nah, ini yang ingin saya jelaskan.

Ritual mepamit itu sudah mengalami berbagai perubahan sesuai dengan zamannya. Bahkan istilah mepamit itu sendiri kini – di beberapa tempat – sudah diganti istilah lain. Ini disesuaikan dengan sudut pandang dari makna ritual itu. Akan saya jelaskan nanti apa pengganti dari mepamit itu.

Sementara kita tetap pakai istilah mepamit dulu. Apa makna upacara itu? Kenapa seorang anak, calon mempelai wanita, harus mepamit sebelum melangsungkan upacara perkawinan?

Dasarnya adalah sistem kekeluargaan di dalam adat Bali ikut garis keturunan ayah atau dalam bahasa latinnya patrilineal. Jadi bukan garis ibu atau matrilineal. Jika memakai istilah khas Bali yang berasal dari Bahasa Jawa Kuno, ini disebut garis purusa, sedang garis ibu adalah pradana. Jadi mepamit itu adalah ritual yang berhubungan dengan status keturunan purusa dan pradana. Hanya garis purusa yang melanggengkan kewajiban leluhurnya dalam masalah adat dan agama. Kewajiban itu menyangkut menjaga warisan yang berkaitan dengan ritual seperti tempat suci (pura) atau menjalankan kewajiban adat.

Hanya pihak purusa yang bisa menurunkan kewajiban itu. Wanita Bali yang akan kawin harus mengikuti garis purusa itu dan meninggalkan garis pradana yang selama ini mengasuhnya. Karena itulah harus ada upacara mepamit, ritual meninggalkan garis kekeluargaan asal.

Jikalau tidak ada tradisi mepamit maka pasangan suami istri itu mengalami kendala, kemana kewajiban akan dipatuhi. Apakah ke pihak istri atau lelaki. Atau keduanya yang tentu saja berat atau malah bisa banyak perbedaan. Kalau nanti punya anak, anak-anaknya ini akan mengalami kendala lebih besar, akan bingung mengikuti kewajiban garis ayah atau garis ibu? Lebih parah lagi kalau pasangan keluarga itu berbeda garis kawitan. Kawitan adalah asal usul keberadaan seseorang dari leluhurnya dan ini menyangkut ke pura mana bersembahyang. Orang luar Bali mungkin kurang tahu, kalau garis kawitan di Bali itu ada banyak. Ada yang leluhurnya datang dari Jawa dan berasal dari berbagai kerajaan, ada yang memang penduduk asli Bali (disebut Bali Mula) dan seterusnya. Garis-garis kawitan ini yang membuat pura besar di Bali yang sampai kini dilestarikan oleh keturunannya. Pura itu biasa disebut Pura Pedharman. Jadi pura besar di Bali itu ada dua, pura untuk garis kawitan dan pura untuk seluruh umat seperti Pura Besakih. Nah, jika dalam ritual perkawinan itu tidak ada yang mepamit dan masih mendua soal purusa dan pradana, ke Pura Pedharman mana mereka akan sembahyang? Jadi mepamit itu adalah juga konsep yang menyatukan keluarga ke dalam satu kawitan.

Ada lagi soal warisan berupa harta. Hanya anak lelaki yang mendapatkan warisan harta dari orangtuanya. Anak perempuan tidak, karena mereka nantinya akan ikut memiliki harta suaminya setelah berkeluarga. Belakangan kasus tidak adanya warisan untuk wanita Bali sering dipersoalkan sebagai ketidak-adilan gender. Namun adat tetap berpegang bahwa wanita Bali nantinya akan menikmati warisan dari keluarga suaminya. Bagi yang tidak puas dengan ketentuan adat ini mencari jalan lain, misalnya, memberikan warisan kepada wanita Bali sebelum mereka kawin, termasuk warisan pendidikan.

Apakah seorang wanita yang kawin dan mepamit putus hubungan dengan keluarga asalnya? Putus hanya dalam pengertian kewajiban dalam kaitan garis keturunan. Tapi tidak dalam kaitan ikatan keluarga. Seorang wanita yang sudah kawin tetap harus berbhakti dan sujud kepada orangtuanya, kalau ada ritual di pura leluhurnya terdahulu boleh saja hadir sebagai penghormatan kepada leluhur asalnya. Tetap hormat kepada orang tua sebagai pelaksanaan ajaran Guru Rupaka.

Kapan ritual mepamit itu dilakukan? Mepamit itu diawali dengan upacara meminang yang dalam istilah Bali disebut memadik. Di acara ini bukan hanya kedua keluarga mempelai yang bertemu, tetapi juga perangkat adat dan aparat Kepala Desa ikut menyaksikannya. Setelah ritual dilakukan, acara meminang dilanjutkan pengecekan masalah administrasi kependudukan. Di sini dicek secara lengkap termasuk status calon suami istri. Apakah betul-betul lajang dan kalau ada yang janda atau duda ditanyakan juga apakah sudah cerai secara resmi dengan suami istri sebelumnya. Kalau misalnya calon pengantin lelaki sudah punya istri, di sini juga dicek apakah ada surat persetujuan dari istri tuanya jika kawin lagi. Artinya aparat desa sekaligus melakukan tugasnya sesuai UU Perkawinan. Usai upacara meminang dengan saksi adat dan aparat desa maka ritual mepamit dilanjutkan yang sepenuhnya adalah ritual keluarga calon mempelai wanita. Inilah yang dilakukan Luh Ketut Mahalini di Bali dengan mengundang keluarga besarnya termasuk keluarga Rizky Febian. Karena ritual mepamit itu dipimpin pendeta, orang mengira ini sudah ritual perkawinan.

Inti dari ritual mepamit ini tak ada bedanya apakah kedua pasangan itu berbeda agama atau tidak. Dalam acara mepamit itu Mahalini masih berstatus agama Hindu maka dia memang wajib mengikuti ritual Hindu. Bukankah dua atau tiga hari setelah mepamit itu Mahalini resmi masuk Islam dan akad nikahnya pun berlangsung dalam ajaran Islam. Tak ada yang dilanggar, baik melanggar adat, agama maupun melanggar UU Perkawinan.

Nah, kembali ke istilah mepamit. Kata mepamit ini di beberapa daerah dianggap melukai perasaan wanita seolah-olah wanita Bali dibuang ketika mereka akan menikah. Lalu dicari istilah lain, yakni mejauman. Asal kata ini adalah jaum yang artinya jarum. Kenapa jarum dijadikan simbol? Karena jarum itu mempersatukan. Ritual perkawinan itu adalah menyatukan kedua keluarga dari pihak istri dan suami.

Ini masalah rasa bahasa dan dari sudut mana kita memandangnya. Saya betul-betul tidak tahu dan tak ada referensi, apa istilah yang dipakai para leluhur di masa lalu untuk acara ini. Saya menduga leluhur di masa lalu tak membuat istilah apa-apa selain rasa syukur kehadapan Tuhan bahwa anaknya sudah meningkat ke level grahasta, masa berumah tangga dan melahirkan keturunan. Perkawinan dalam Hindu sungguh sangat sakral. Hanya lewat perkawinan melahirkan kehidupan baru. Karena perkawinan adalah menyatukan maka seseorang harus “pamit” agar bisa menyatu, dan dua keluarga disatukan dalam “jarum kehidupan”. Itu pula sebabnya dalam Hindu perkawinan yang sah adalah dalam ikatan satu agama, sama dengan Islam. Dan Mahalini “pamit” dari orang tuanya dan juga “pamit” dari Hindu. Hal yang biasa di Bali, seperti ada yang “pamit” dari agama lain untuk ke Hindu. Selamat berbahagia. *** 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mpu Jaya Prema, mantan jurnalis yg menyepi di G Batukaru, Bali

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler