x

Iklan

Ahmad Rifai

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Senin, 15 November 2021 10:49 WIB

Pra-hala di Kampung Tujuh

Pemilihan lurah di Kampung Tujuh berusjung nestapa bagi seorang bakal calon yang ingin berkuasa. Namun, nestapa yang ia alami menjadi titik awal untuk memperbaiki diri menjadi seorang insan kamil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pra-Hala di Kampung Tujuh

 

Sosok Haji Damanik merupakan figur yang sangat berpengaruh di Kampung Tujuh, sebuah daerah yang berbatasan langsung dengan pusat kota. Betapa tidak, dialah satu-satunya orang yang memiliki toko bahan bangunan dan toko serba ada yang menjadi tempat warga Kampung Tujuh membeli kebutuhan sehari-hari. Selain itu, peternakan sapi dan kambing menjadi aset lain yang dimiliki Haji Damanik. Bila disebut juragan, dialah juragan Kampung Tujuh, bila disebut pengusaha, ialah pengusaha yang banyak merekrut warga untuk bekerja menjadi pegawai di tempatnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Menjelang pemilihan lurah, Haji Damanik sangat berambisi untuk meraih jabatan tersebut sebagai pelengkap dan kesempurnaan karir dalam hidupnya. Hari itu, Haji Damanik berada diantara para pendukungnya dalam sebuah mimbar di lapangan sepak bola. Ia berteriak-teriak lantang dan berorasi layaknya seorang calon lurah yang sudah siap menjabat. Kritik pedas dan menghujat keberadaan lurah sekarang menjadi agenda inti kandidat ini.

“Ingatlah saudara-saudara, selama lima tahun ini apa yang sudah kalian peroleh dari kepeminpinan Lurah Atma?!”

“Semua nooooolll besar!” Sungutnya berapi-api.

Orasi Haji Damanik langsung disambut dengan gemuruh dan tepuk tangan warga yang memadati lapangan. Sementara barisan pengawal dan pendukungnya, dengan muka garang siap siaga memagari panggung dan mimbar tempat tuannya berorasi.

            “Bila saudara-saudara memilih saya pada pemilihan lurah nanti, saudara-saudara akan hidup dalam kesejahteraan. Tidak akan ada lagi yang kekurangan bahan makanan, tidak akan ada lagi yang kelaparan. Semua akan makmur dan sejahtera dibawah kepeminpinan saya!” Lanjutnya sambil menepuk dada.

Warga yang hadir semakin membludak di tengah lapangan kembali bertepuk tangan dengan riuh, sambil meneriakkan yel-yel: “Hidup Haji Damanik… Hidup Haji Damanik… Hidup Haji Damanik!”

Apakah semua warga yang hadir benar-benar mendukung dan berharap Haji Damanik menjadi lurah di kampung mereka. Sekali lagi tidak ada seorang pun yang tahu. Menyemutnya warga Kampung Tujuh ke lapangan untuk menghadiri kampanye tidak lebih dari gelontoran uang Rp 50.000,- per kepala bagi mereka yang mau hadir ke lapangan.

            Warga tentu dengan senang hati mau berkorban meluangkan waktunya untuk mendengar “ocehan” calon pemimpin mereka demi selembar uang Rp 50.000,- yang dapat mereka belikan beras secukupnya untuk makan. Akhir-akhir ini Haji Damanik memang dikenal sangat murah hati menjelang hari “H” Pemilihan Lurah Kampung Tujuh. Hal itu berbanding terbalik sebelum ia mencalonkan diri menjadi lurah. Haji Damanik adalah sosok yang sangat pelit dan kikir. Ia dikenal pula sebagai lintah darat sehingga mengakibatkan banyak warga Kampung Tujuh terlilit utang. Untuk menebus utang-utang itu mereka harus merelakan apa yang dimilikinya dirampas Haji Damanik dengan semena-mena.

            Wajar saja bila kekayaan dan luas tanah yang dimiliki serta kehidupan Haji Damanik semakin hari semakin mentereng. Rumahnya bak istana di tengah puing-puing dan gubuk-gubuk reyot warga Kampung Tujuh. Ia ibarat raja kecil yang tidak dapat disentuh hukum oleh siapa pun karena pengaruh dan kekuasaannya yang sangat besar. Di sekelilingnya ada pengawal dan loyalis sejati yang mendukung sepak terjang tuannya. Suraji, Darma, dan Arga adalah orang-orang kepercayaan Haji Damanik.

            Tiga serangkai inilah yang selalu memberikan “bisikan-bisikan” dan sibuk merancang berbagai strategi untuk meloloskan tuannya menjadi seorang lurah. Dengan janji kekayaan yang akan semakin berlimpah dan kekuasaan yang semakin luas apabila menjadi lurah, Haji Damanik pun tergoda dan akhirnya membulatkan tekad untuk menjadi salah satu kandidat Lurah Kampung Tujuh. Padahal sebelumnya ia tidak pernah berangan-angan untuk menjadi lurah. Toh dengan semua bisnis yang dimiliknya, ia sudah merasakan kesuksesan, hanya tinggal menikmati.

            Suraji, Darma, dan Arga ternyata mempunyai niat lain untuk menjerumuskan tuannya menjadi lurah. Haji Damanik ibarat boneka bagi ketiga orang ini untuk melapangkan rencana busuk mereka bertiga. Mereka seolah-olah sangat loyal dan setia pada Haji Damanik. Dibalik semua itu ada sebuah misi rahasia untuk menghancurkan tuannya dan merebut semua harta kekayaan Haji Damanik yang tidak akan habis oleh tujuh generasi sekali pun.

            Tuhan mahaadil dan menyayangi setiap makhluk ciptaan-Nya tanpa kecuali. Berawal dari sebuah mimpi yang bisa mengubah jalan hidup seorang manusia. Haji Damanik bermimpi diserang tiga ekor ular berbisa yang menerjang tangan, tubuh, dan kakinya di sebuah hutan. Mendapat serangan tiba-tiba tersebut Haji Damanik terkejut dan mencabut badik warisan leluhurnya yang selalu ia bawa. Malang tak dapat dicegah, ia terlambat beberapa detik. Terjangan ular pertama tepat menyambar tangan kanannya yang memegang badik. Disusul serangan ular kedua menghantam lututnya, membuat ia tersungkur. Ular ketiga sudah bersiap menyerang tubuh Haji Damanik yang sudah pasrah karena luka pagutan bisa ular yang pertama dan kedua. Ketika ular ketiga ini menerjang, tiba-tiba dari udara muncul sekor burung elang menyambar dan mematuk ular ketiga. Dengan sekali gerakan, burung elang itu  membantingnya dan mematuk lagi sampai ular ketiga tewas seketika. Melihat kehadiran burung elang yang telah memangsa “rekannya”, ular pertama dan kedua pun segera berbalik arah dan menghilang ke dalam semak-semak.

            Kejadian yang begitu cepat itu mengejutkan Haji Damanik, ia menoleh pada burung elang yang sedang menyantap ular ketiga.

“Aneh aku diselamatkan oleh seekor burung elang...” Ujarnya, keheranan.

Haji Damanik mendekati burung elang tersebut. Tangannya secara refleks mengusap-usap punuk burung elang yang sedang menyantap mangsa. Burung elang itu pun tidak ambil pusing dan melanjutkan santapannya.

“Terima kasih, kau telah menyelematkan hidupku!” Gumam Haji Damanik dalam mimpinya.

Kumandang suara azan menyadarkan Haji Damanik dari mimpi. Ia terbangun dan dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 3:00. Di samping tempat tidur tidak ia temukan istrinya. Haji Damanik menghela napas dan mengurut dada, mengingat mimipi yang baru saja ia alami. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, istrinya muncul dengan wajah dan tangan serta kakinya yang basah.

“Dari mana Bu?” Tanya Haji Damanik.

“Dari kamar mandi, sudah jam tiga, ibu biasa salat tahajud. Kenapa bangun Pak, biasanya juga masih tidur?” Kata istrinya balik bertanya.

“Ohhh…” Gumam Haji Damanik.

Selama ini ia tidak tahu kalau istrinya selalu menjalankan salat malam. Ia pun tertunduk malu akan dirinya yang sudah lama meninggalkan kewajiban sebagai umat islam. Boro-boro salat malam seperti yang istrinya lakukan, salat wajib pun kadang ditinggalkan karena sibuk mengurus bisnis dan harta kekayaannya. Dengan sigap Haji Damanik berdiri dan keluar kamar. Ia kembali dengan wajah, tangan, kaki yang telah basah oleh air wudu.

“Buuu…, Bapak mau ke surau sekarang!” Katanya sambil mengganti baju tidurnya dengan baju koko dan sarung dilengkapi kopiah serta menyandang sajadah.

Alhamdulillah....” Puji syukur terucap dari mulut istri Haji Damanik. Mengantar dengan tatapan penuh haru mengnatar sang suami bergegas menuju surau.

Pagi itu Haji Damanik duduk sendirian di teras depan, ditemani kopi hitam dan rokok kretek. Pikirannya masih digelayuti oleh mimpi semalam, apakah itu hanya mimpi biasa atau sebuah pertanda akan terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan. Pertanyaan itu bertubi-tubi singgah dalam otaknya. Tepat jam 9:00, para loyalis setianya belum terlihat seorang pun. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Suraji, Darma, dan Arga, pagi-pagi buta selalu menyambangi rumah dan berkumpul menemani Haji Damanik. Membicarakan taktik dan strategi bagaimana memenangkan pemilihan lurah di Kampung Tujuh. Hingga matahari tenggelam, ketiga orang itu tidak menampakkan batang hidungnya.

 

*****

 

Tiga hari berselang, warga Kampung Tujuh dikejutkan dengan berita bahwa rumah Haji Damanik disatroni penjahat. Harta kekayaan Haji Damanik berupa perhiasan emas, intan, dan berlian dalam brankas serta uang ratusan juta raib. Emas, intan, dan berlian yang telah dikumpulkan bertahun-tahun sebagai simbol kekayaan keluarganya telah lenyap. Uang tunai ratusan juta yang sedianya digunakan untuk modal kampanye pemilihan kepala desa ikut musnah.

Untungnya, Haji Damanik dan istrinya serta para pembantu rumah tangga selamat. Entah apa yang dilakukan oleh para perampok karena pada saat malam kejadian perampokan tersebut, seisi rumah tertidur sangat pulas. Ketika mereka terbangun beberapa ruangan sudah berantakan. Lemari tempat menyimpan perhiasan dan uang sudah terbuka tanpa tersisa.

Beberapa orang polisi dengan teliti memeriksa seisi rumah Haji Damanik untuk mencari barang bukti dan jejak perampokan yang diperkirakan terjadi tengah malam. Namun, mereka belum menemukan bukti-bukti kuat di TKP yang dapat dijadikan dasar untuk penyelidikan. Polisi berjanji akan terus mencari bukti dan mengusut perampokan ini sampai tuntas.

Bagaimana keadaan Haji Damanik dan istrinya? Keduanya terlihat tenang tidak panik, tidak marah atau menyesali mengapa kejadian ini harus mereka alami. Bahkan, mereka bersyukur karena semua penghuni rumah dalam keadaan selamat dan sehat wal’afiat. Ketika ditanya, Haji Damanik berkata:

“Harta dan kekayaan hanya perhiasan dunia, tidak akan kita bawa ketika menghadap Sang Mahakuasa!”

“Semua hanya titipan, tidak lebih tidak kurang.”

“Saya sudah mengikhlaskan semuanya.”

“Semua saya serahkan kepada Yang Maha Kuasa.”

Berbeda bila kejadian ini menimpa Haji Damanik sebulan lalu, mungkin sikap dari Haji Damanik akan berbeda. Ia tidak akan menerima apa yang telah dialami dan sangat berang terhadap perampok-perampok yang telah menguras habis harta kekayaannya. Ia pun akan mencari para perompok itu sampai ditemukan dan menghakiminya dengan tangan sendiri. Seluruh warga desa pun hampir tidak memercayainya tetapi kenyataannya berkata demikian. Sosok Haji Damanik telah berubah. Kesombongan, keangkuhan, dan ketakaburan yang dimilikinya telah berganti dengan keramahan, kesabaran, keikhlasan yang menyertai sikap dan perangainya sekarang.

Bagaimana pula dengan pencalonannya sebagai lurah setelah kejadian yang menimpanya? Banyak orang yang berpikir ia akan menarik diri dari pencalonan tersebut. Namun, dugaan masyarakat itu salah dan tidak terbukti. Haji Damanik tetap melanjutkan pencalonannya sebagai lurah. Hanya saja panggung megah, barisan pengawal, tebaran uang, janji manis, dan sumpah serapah terhadap lawan politiknya sudah hilang tak berbekas.

Kampanye yang ia lakukan hanya menyusuri rumah-rumah penduduk untuk berdialog dengan semua warga tentang apa yang menjadi keinginan dan harapan mereka. Ia tidak memberikan janji, hanya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki semua permasalahan apabila terpilih menjadi lurah.

Seminggu kemudian, warga Kampung Tujuh digegerkan dengan kabar ditemukannya tiga sosok jenazah yang terapung di atas sungai  disertai dua buah brankas berisi perhiasan dan sejumlah uang. Ketika dievakuasi, ketiga orang itu ternyata  Suraji, Darma, dan Arga, orang-orang kepercayaan Haji Damanik. Keserakahan, ketamakan, dan kejahatan selalu menyertai dalam kehidupan manusia. Harta telah membutakan mereka dengan menghalalkan segala cara untuk maraupnya tetapi justru azab yang menjemput.

Tepat di hari pemilihan, Haji Damanik terpilih secara meyakinkan dengan mengantungi 75% suara warga. Saingannya sang inkamben, Lurah Atma hanya mengantungi sisa suara warga. Harapan seluruh warga tertumpu pada Haji Damanik untuk membangun Kampung Tujuh menjadi kampung bermartabat dan masyarakat yang sejahtera. Kepercayaan, tugas, dan tanggung jawab mahaberat yang harus dipikul oleh Haji Damanik. Amanat adalah sebuah jalan untuk mencari keridaan Allah dan ajang memperoleh pahala bagi mereka yang mampu menjaga, memelihara, dan melaksanakannya. Itulah prinsip yang dipegang Haji Damanik setelah menjabat Lurah Kampung Tujuh. (rief)

 

*****

 

Ikuti tulisan menarik Ahmad Rifai lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler