x

Iklan

M. Arif Abdul Hakim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Senin, 15 November 2021 10:52 WIB

Senja dan Kiai Nawawi

Cerpen fiksi religi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Berderap langkah Pak Kiai, diikuti tundukan kepala barisan santri sepanjang lorong itu, seperti rakyat yang bersalam hormat kepada  rajanya. Kiai Nawawi, sang Maestro Puisi, begitu kata orang. Namun, seorang santri bernama Senja meragukannya. Senja adalah santri baru di Pondok Pesantren Sajak Langit. Ia merupakan alumni sekolah kebahasaan yang rajin menyabet gelar juara adu puisi tingkat nasional. Senja hafal di luar kepala KBBI serta segala teori mengenai puisi. Dia ahli meramu diksi, menyiratkan makna, dan menyelaraskan rima. Sering ia mengatai puisi-puisi sastrawan ternama dengan tuduhan “terlalu sederhana”, meski mereka punya lusinan buku terbit

“Puisi kok tidak main majas? Puisi kok diksinya narasi datar yang tidak estetik?” begitu komentarnya suatu ketika.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Puisi-puisi Kiai Nawawi termasuk yang dicemoohnya. “Puisinya Kiai Nawawi itu terkenal hanya karena Beliau sudah punya nama, sudah bergelar Kiai, dan punya masa.” kata Senja kepada kawan-kawan sekamarnya.

Kiai Nawawi meneteng sebuah kitab kuning tipis menuju kursi di tengah pendopo. Santri-santri berlarian, berebut tempat duduk paling depan dan dekat kiai karena diyakini penuh berkah. Kiai Nawawi meletakkan pecinya di meja kecil. Kemudian Beliau berdiri, membuka  kitab, dan mulai berpuisi.

Cat usang bukan oleh air dan panas

Melainkan waktu

Kayu rapuh bukan oleh tanah dan rayap

Melainkan masa

Tubuh renta dan pikun bukan ulah usia

Melainkan Tuhan

Santri-santri gegap gempita. Mereka bersorak dan betepuk tangan meski tidak sepenuhnya memahami maksud dari puisi Kiai Nawawi. Semuanya gaduh, kecuali Senja. Ia melongo tak percaya.

“Mengapa aku terjebak di dalam ruangan yang dipenuhi manusia bodoh dan tak mengerti tatacara menggubah syair dan puisi? Baru puisi seperti itu saja mereka histeris? Ahh.. Payah!” keluh Senja di dalam hati.

Kiai Nawawi tersenyum menikmati sorak sorai santri-santri. Diakhirilah ngaji petang itu karena azan telah berkumandang.

“Diamlah selagi azan dilantunkan! Hormati puisi peninggalan zaman Kanjeng Nabi!!” pesan Kiai Nawaw. Santri-santri sam’an wa tho’atan. Mereka menunduk dan mengunci mulut rapat-rapat tatkala azan bergema.

Senja masih tidak terima dengan segala puji-pujian atas Kiai Nawawi. Kepada kawan-kawannya, Senja berakting seolah ia hendak buang air di kamar mandi. Padahal aslinya Senja mengendap-endap menuju kediaman Kiai Nawawi. Saat Kiai Nawawi hendak masuk ke Ndalem-nya, Senja menghadang Beliau.

“Kiai.. Saya Senja, santri baru. Mohon maaf, bukannya bermaksud lancang. Jika berkenan, saya ingin beradu puisi dengan Kiai." tantang Senja dengan ekspresi penuh keyakinan.

Kiai Nawawi paham betul motif Senja meminta beradu puisi. Beliau menyaguhi tantangan senja, “Baiklah. Tapi dengan satu syarat. Puisi ditujukan untuk Kanjeng Nabi dan jurinya adalah Beliau sendiri.”

Senja terheran, “Bagaimana mungkin Kanjeng Nabi yang menjadi juri? Mengapa tidak yang lain saja?”

“Tidak bisa. Jika jurinya santri atau masyarakat, pasti kau akan menuduh mereka memenangkan karyaku karena aku adalah Kiai mereka. Manusia paling netral dalam menilai puisi adalah Kanjeng Nabi. Itu syarat dariku. Apakah kau setuju?” Kiai Nawawi balik bertanya.

Senja mengangguk mengiyakan. Ia sendiri yang datang dan menantang Kiai Nawawi. Tak mungkin ia berkata ‘tidak’ meski sebenarnya syarat dari Kiai Nawawi tidaklah logis. Ia terlanjur menantang, jangan sampai menelan ludahnya sendiri.

Maka Senja dan Kiai Nawawi berlomba mencipta puisi untuk Kanjeng Nabi dengan tenggat sepekan. Senja membuka kembali KBBI dan buku teori-teori puisi miliknya untuk didarus. Kiai Nawawi tak membuka buku atau kitab apa-apa. Beliau hanya terlihat semakin rajin dalam mengaji dan berselawat.

Setelah sepekan, Senja  tersenyum puas karena telah mencipta puisi yang menurutnya adalah yang paling indah di antara semua karya-karyanya, bahkan jauh lebih aduhai dibandingkan puisi-puisinya yang juara nasional tempo hari. Ia amat yakin karya epiknya ini akan mampu mengalahkan Kiai Nawawi secara telak. Tapi kemudian Senja teringat bahwa sesuai syarat dari Kiai Nawawi, jurinya adalah Kanjeng Nabi sendiri. Dia pun bergegas menuju kediaman Kiai untuk menanyakan kejelasan pertandingan puisi ini.

Di Ndalem-nya, Kiai Nawawi sedang memandikan burung murai piaraannya sembari bersiul-siul, bersaut-sautan dengan si burung. Si burung murai tampak kesal menyadari kicaunya kalah merdu dari suitan Kiai Nawawi. Melihat kedatangan Senja, Kiai bertanya, “Bagaimana? Sudah jadi puisimu?”

“Sudah, Kiai. Tapi apa yang mesti saya perbuat selanjutnya?” Senja balik bertanya.

“Letakkan puisimu di bawah bantal saat kau hendak tidur nanti malam.” perintah Kiai Nawawi.

Senja masih tak mengerti. Namun ia memutuskan untuk mengikuti saja dawuh dari Kiai Nawawi. Toh, Kiai Nawawi terlihat serius sekali ketika mengucapkannya.

Malamnya, sesaat setelah terlelap, Senja bermimpi berada di dalam sebuah aula besar. Di ujung aula, duduk dengan penuh wibawa seorang pemuda yang dari wajahnya memancar cahaya. Pemuda itu berkulit kuning bersih dengan sorot mata meneduhkan. Senja terkejut menengok di samping kursi, Kiai Nawawi berdiri seraya tersenyum kepadanya. Senja mendekat. Ia masih mencoba mencerna  keadaan. Tiba-tiba pemuda berwajah cerah tadi berucap dan membuyarkan lamunan Senja, “Nawawi, bacakan puisimu!”

Kiai Nawawi menunduk hormat, kemudian mulai berpuisi.

Nabiku

Aku rindu

Namun, aku malu

Pemuda Berwajah Cerah tersenyum dan mangut-mangut. “Indah sekali, Nawawi.” Kiai Nawawi tersenyum dan kembali menunduk hormat. “Sekarang, mana puisimu, Nak?” ucapnya kemudian seraya menatap lekat wajah Senja, seperti sedang berusaha mengorek dan menerawang isi pikiran dan hatinya.

Senja menarik napas dan memulai puisinya.

Oh lentera kalbuku

Yang membasahi keringku

Yang mengeringkan kuyupku

Yang membawaku melompati awan-awan

Untuk sampai kepada Tuhan

Yang..

“Cukup! Tak usah kau lanjutkan!!” Pemuda Berwajah Cerah menyetop paksa Senja dari pembacaan puisinya.

Senja protes, “Lah..? Mengapa?? Puisiku jauh lebih indah daripada puisi Kiai Nawawi. Mengapa Kiai Nawawi dipuji sedangkan aku disuruh berhenti?”

Pemuda berwajah cerah tersenyum, “Coba kau bacakan bait pertama!”

Senja mengulangi puisinya.

Oh lentera kalbuku

“Nah, mana buktinya?” tanya Pemuda Berwajah Cerah.

“Bukti apa?” Senja kebingungan.

“Bukti kalau aku lentera kalbumu?”

Senja  gelagapan.  Dia berpikir keras, “Hmm.. Apa ya?”

“Nawawi berpuisi atas rasa cinta yang jujur. Sedangkan dirimu? Puisimu bualan semata.”

Tubuh Pemuda Berwajah Cerah perlahan menguap dan menghilang.

Senja mati lidah. “Ehh.. Tapi?”

Bruk!! Senja terbangun. Ia terjatuh dari tempat tidurnya.

Ikuti tulisan menarik M. Arif Abdul Hakim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler