x

Santri adalah penggerak Masyarakat

Iklan

Eka S. Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 November 2021

Senin, 15 November 2021 10:59 WIB

Aku dan Masjid Tua di Rembitan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku terbang rendah. Beringin di bawah sana tampak indah. Membuatku ingin mampir sebentar. Aku sudah cukup lama kenal Beringin itu. Di sanalah dulu aku pertama bertemu kekasihku. Tempatnya rindang dan teduh. Menjanjikan ketenangan.

“Hai, Kecial, lama tak ke sini. Apa kabarmu?” tanya Beringin setelah kaki-kaki mungilku menapak di salah satu rantingnya.

“Ya, Beringin. Aku sehat. Tapi kau tahulah kerepotan punya anak kecil, apalagi sekaligus empat. Jarang aku sempat keluar rumah kecuali untuk sekadar makan dan minum.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Itulah kerepotan yang bikin bahagia.”

Aku melirik daun-daun hijau di tubuh Beringin, lalu mengangguk ringan. Dia benar, kerepotan macam itu membahagiakan. Tak ada yang lebih bikin hati senang selain melihat anak-anak tumbuh besar dan sehat. Terus berkeciap nyaring saat lapar dan haus. Rumah jadi ramai, aku tidak sepi.

“Kau masih tinggal di Pohon Juwet dekat hulu sungai sana?”

“Iya, masih.”

“Apa kabar dia?”

“Dia pun sehat. Tumbuh lebat dan banyak buahnya. Aku betah di sana, karena tak harus jauh-jauh cari makan. Cukuplah buah Juwet yang manis-manis kecut itu mengisi perutku dan anak-anakku.”

“Ya, anak-anak sekarang rasanya kurang suka Juwet. Maksudku, anak-anak manusia.”

“Kau benar, mungkin sebentar lagi mereka sudah lupa ada pohon buah bernama Juwet.”

“Padahal, dulu, baru berbuah sebentar saja, Juwet itu sudah habis dipetiki bocah-bocah. Termasuk yang masih mentah.”

“Yah, begitulah hidup. Berubah seiring waktu. Dari perubahan itu, setidaknya aku mendapat berkah. Bisa pesta Juwet saat musimnya tiba,” ucapku seraya tersenyum.

***

Namaku Dar. Muhdar. Aku cucu marbot. Penjaga masjid. Ya, kakekku—aku memanggilnya Baba—marbot masjid di daerah Tengah. Masjid ini persis di depan rumah Baba. Namanya Masjid Nurul Iman.

“Doanya, masjid ini memancarkan cahaya iman bagi kita semua,” ucap Baba.

Masjid ini berdiri di atas tanah wakaf dari ayahnya Baba. Sebelum ada masjid ini, kami harus ke kampung sebelah kalau mau salat berjemaah.

Aku ingat masjid ini selesai dibangun tahun 1995. Berdekatan dengan kematian penyanyi Nike Ardilla. Saat itu aku masih sekolah dasar, tapi perasaanku sudah campur aduk. Senang karena di kampungku ada masjid. Juga sedih karena penyanyi favoritku meninggal.

Saat itu pula aku bingung, sebab untuk pertama kali aku sedih karena kehilangan orang yang tak kukenal. Kenapa, ya? Apa manusia memang bisa merasa kehilangan atas apa-apa yang bukan miliknya? Ajaib.

Oh iya, sejak ada masjid, aku jadi sering main ke rumah Baba sore-sore. Aku pergi sendiri atau bersama ibu. Rumahku tak jauh dari rumah kakek, hanya terpisah dua belokan, sekitar lima menit kaki berjalan.

Aku senang pergi ke masjid bersama Baba. Soalnya, sehabis Asar, Baba sering mengepel lantai masjid. Inilah bagian paling menyenangkan bagiku. Mengepel dan berseluncur di lantai masjid yang basah. Main air.

Apalagi musim hujan, sambil mengelap percik-percik air di pinggir masjid, Baba membiarkan aku berbasah-basahan menikmati rahmat Tuhan. Masjid sungguh rumah yang menyenangkan. Kan, kalau tidak di masjid dan bersama Baba, aku pasti dilarang ibu main hujan.

“Dar, jangan hujan-hujanan. Nanti sakit,” selalu begitu kata ibu saat melihat hujan mulai rintik dan aku bersiap membuka baju.

“Aku nggak hujan-hujanan, Ma. Aku bantu Baba bersih-bersih masjid,” sahutku.

“Ya, bersih-bersih di dalam saja.”

“Bagian dalam biar dibersihkan Baba. Kasihan kalau di luar, dingin.”

Aku gegas berlari menghilangkan diri. Mengambil kain pel dan ember di dekat tempat wudu. Membiarkan ibu terus menggerutu.

Kejadian itu sudah lama lewat. Babaku meninggal beberapa tahun lalu. Kini, Masjid Nurul Iman telah berubah. Tambah megah. Bertingkat dua, dengan kubah besar berkilau indah. Tampaknya, cahaya iman warga semakin cerah.

Tapi yang paling kuingat dari masjid ini adalah ucapan Baba.

“Dar, jadilah seperti masjid,” katanya suatu sore.

Aku termangu mendengarnya. “Maksudnya, Ba?” Aku membayangkan di kepalaku ada kubah besar yang kubawa ke mana-mana.

“Kamu tahu, masjid adalah tempat paling baik di muka bumi. Jadilah seperti masjid, baik kepada semua. Maka, kita akan baik-baik saja.”

***

Semilir angin mengipasi tubuhku. Sejuk sekali rasanya. Aku baru menyadari perubahan yang dibicarakan Beringin dan bersyukur karenanya. Bisa dibayangkan betapa tambah berat hidupku andai banyak orang sekarang masih suka buah Juwet. Pasti aku mesti pindah rumah lebih jauh lagi, karena banyak anak datang memetiki buah, lalu menemukan sarangku di atas sana.

Lantas mereka akan menangkapku, atau memberi tahu orang tuanya tentang keberadaanku, sehingga mereka sekeluarga datang untuk menangkap keluargaku. Aku heran, kenapa manusia senang menangkap burung dan hewan-hewan lainnya? Bukankah mereka pun tidak suka ditangkap-tangkap?

Katanya, mereka senang mendengar kicau merdu para burung. Ah, kalau begitu kan tidak perlu kami sampai ditangkapi. Cukup tanam pohon buah sebanyak-banyaknya, kami akan datang sendiri dan berkicau penuh sukacita.

Katanya, mereka senang memelihara kami. Dapat mengusir suntuk dari beban kehidupan. Ah, kalau begitu kan tidak  perlu kami sampai disangkarkan. Cukup beri makan, taburkan bebijian di halaman, kami akan mendekat tanpa perlu diajak.

Aku ingat kekasihku pernah bilang, hidup ini sederhana, manusia menjadikannya rumit. Ah, kekasihku, di mana kau berada? Kenapa kau tidak kunjung pulang? Aku jadi khawatir jangan-jangan kau pun tertangkap.

Pernah aku melihat, di suatu lapangan, para burung peliharaan itu dilombakan. Dinilai suaranya, bulu-bulu dan tubuhnya, gerak-geriknya. Hadiahnya lumayan juga. Dan burung pemenang lomba itu kabarnya dihargai mahal. Sangat mahal.

Aku tambah heran, apa dasar manusia menilai kami, para burung? Tahu apa mereka tentang kicau dan diri kami? Apa mereka pernah menjadi burung? Kalau mereka menilai suara sesama manusia, boleh lah. Lomba menyanyi misalnya. Aku tak ada masalah.

Pertanyaannya, apa mereka suka kami menjadi juri lomba tersebut?

“Assalamualaikum, Kecial. Ada kabar apa yang kau bawa hari ini?”

Aku menoleh, tersenyum ke arah Masjid Tua yang beratap sangat rendah, yang berada di sebelah Beringin. Aku juga sudah cukup lama kenal masjid tersebut. Aku menyukainya karena di puncak atap masjid yang berundak dua ini terdapat hiasan burung dari kayu. Jadi, aku merasa tambah tenang di sini.

“Waalaikumsalam, Masjid. Mmm, tak ada kabar menarik yang kubawa selain cerita ibu-ibu beranak empat.”

Masjid yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu itu tampak tersenyum. Walau dibilang kuno, dia masih gagah. Ilalang yang diikat dengan tali ijuk diatapnya terurai menawan. Kayu-kayu penopangnya pun tampak kokoh.

“Setiap cerita selalu menarik, bagi yang tertarik,” dia menanggapi.

Entah kenapa, aku nyaris tertawa geli mendengarnya. “Sebenarnya, aku sekadar jalan-jalan, sekaligus berharap bisa bertemu kekasihku lagi.”

“Kekasihmu? Dia hilang?”

“Entah. Yang pasti, dia tidak pulang-pulang. Terakhir dia pamit mencari buah, karena mulai bosan menyantap Juwet.”

“Apakah mungkin dia lupa jalan pulang?”

“Kalau maksudmu tersesat, aku kenal dia sebagai sosok yang cerdas. Jauh lebih cerdas dariku. Kalau maksudmu kabur, aku kenal dia sebagai sosok yang penuh tanggung jawab. Semisal bosan denganku dan ingin pisah, pasti dia menunggu anak-anak kami tumbuh besar dan bisa hidup sendiri.”

“Kalau kamu begitu percaya kepada dia, kenapa tidak diam dan menunggu saja?”

“Yah, aku khawatir dia kenapa-kenapa, terluka.”

“Adakah dasar dari kekhawatiranmu itu?”

“Mmm ...” aku menimbang-nimbang, “Rasa-rasanya tidak.”

“Kalau begitu, kamu punya dua hal: kepercayaan dan kekhawatiran. Yang pertama ada dasarnya, sementara yang kedua tidak. Mana yang ingin kamu pegang?”

Aku termangu, menimbang-nimbang ucapan masjid itu.

“Segala yang tak kau pahami di sini,” tiba-tiba dia menunjuk bagian dadaku, “jangan kau pertanyakan dengan ini.” Dan dia menutup kalimatnya seraya menunjuk kepalaku.

***

Entah kenapa sore ini aku ingin jalan-jalan. Ke Rembitan. Melihat Masjid Tua itu lagi. Aku selalu takjub di dekatnya. Aku membayangkan segala masa yang telah dia lewati—kabarnya, dia sudah ada sejak abad 16. Bayangkan. Dan dia masih digunakan untuk ibadah sehari-hari hingga hari ini. Pasti dia punya banyak sekali cerita.

Ah, andai dia bisa bicara. Aku sangat ingin bercakap-cakap dengannya.

Menurut cerita Nuralim, pengurus masjid yang kutemui di sana, masjid ini mulanya rumah seorang yang dikenal dengan sebutan Wali Nyatoq. Dia tokoh pembawa ajaran Islam ke Pulau Lombok. Ada cerita, dia datang dari tanah Jawa. Dikenal dengan nama Raden Datang.

Ada banyak cerita pula tentang kesaktian Raden Datang. Dia pernah membuat seorang anak ikut terbang tinggi bersama layang-layang. Lalu si anak melihat sebongkah kotak hitam dengan orang-orang bergerak mengelilinginya. Raden Datang pun menjelaskan, itulah Kakbah dan orang-orang itu sedang tawaf.

Dia juga biasa menghilang saat hari Jumat. Saat ditanya habis pergi ke mana, dia menjawab tadi salat Jumat di Mekkah. Tak lupa, dia selalu pulang membawa sekantung kurma. Kabarnya, dari sinilah masyarakat mengikuti kebiasaan untuk salat Jumat—walau tak bisa ke Mekkah, cukup di masjid terdekat.

Seperti aku, mungkin kau berpikir kurma kan bisa didapat di mana saja. Eh, tapi ingat, ini cerita abad 16, ya. Kurma bukan daun kelor yang bisa dipetik di di halaman rumah.

Akhirnya, tak sampai setengah jam naik sepeda motor, aku tiba di pekarangan masjid. Di dekat Beringin, kulihat seorang kakek sedang menyapu. Tadi aku sempat mampir ke rumah Nuralim, tapi kata istrinya dia sedang pergi ke Praya. Mungkin kakek ini masih kerabatnya, pikirku. Aku pun mendekat, menyalaminya.

“Sedang bersih-bersih, Papuq?”

Dia menoleh, “Iya, Nak. Biar daun-daun ini tidak berserakan.” Lalu kakek itu menatapku dari ujung rambut sampai kaki. “Ada perlu khusus?”

“Ah, tidak. Saya hanya ingin melihat-lihat.”

 Aku merasa perlu melanjutkan percakapan, tapi tak tahu soal apa.

“Biar sudah tua, masjid ini masih kokoh ya.” Aku merasa bersalah sudah menyebut kata tua, tapi kulihat kakek itu tersenyum.

“Iya, kayunya bagus,” ucapnya.

Kayu ... ah, aku jadi ingat sesuatu.

“Saya pernah dengar ada masjid yang kayunya terbuat dari pohon Sanggarguri. Papuq tahu?”

Dia tersenyum lagi. Tapi tidak mengatakan apa-apa.

Aku pun melanjutkan, “Saya bingung. Kan, katanya Sanggarguri itu perdu yang kecil, bagaimana bisa untuk membangun masjid.”

Dia terus tersenyum. Dan juga terus diam. Membuatku canggung.

Kemudian, aku dikejutkan sentuhan jari telunjuknya di dadaku. “Segala yang tak kau pahami di sini, jangan kau pertanyakan dengan ini,” ucapnya seraya memindahkan jari telunjuk ke arah keningku.

Tiba-tiba aku mendengar kicau burung. Aku pun menengadah ke pohon Beringin. Ada seekor Kecial hinggap di atas sana. Bulu-bulunya yang kuning sampai ekor, lalu kehijauan di punggung sayap, tampak penuh pesona. Dia begitu mungil, kecil—maka kami memanggilnya Kecial—sekaligus begitu anggun.

Saat aku menoleh kembali, ternyata kakek tadi sudah tidak ada. Hanya di tanganku ada sebatang sapu. []

Ikuti tulisan menarik Eka S. Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler