x

Sejumlah santri memberikan donasi bantuan kepada warga yang membutuhkan

Iklan

Muhammad Nasruddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Kamis, 18 November 2021 13:05 WIB

Santri In Action

Cerita ini berkisah tentang kegelisahan seorang santri terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Selain berkewajiban untuk menuntut ilmu, santri juga memegang tanggung jawab sosial sebagai agen perubahan bagi masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semilir angin malam  mulai berhembus pelan mengiringi sang surya menuju ke tempat persembunyiaannya. Angin itu mulai berhamburan membawa udara dingin menyelimuti alam Wanakerto. Semburat jingga di ufuk barat pun mulai memudar termakan gelapnya malam. Gemercik air yang menetes di antara dedaunan dan atap-atap rumah masih terdengar riuh. Sore tadi langit Wanakerto memang menumpahkan air dengan begitu derasnya.

"Allahu akbar Allahu Akbar"

Suara adzan maghrib mulai berkumandang sahut menyahut dari berbagai arah. Saling bertautan dengan begitu lantang meski tanpa pengeras suara. Jangankan pengeras suara, lampu penerang di desa Wanakerto pun masih sebatas ublik, penerang dari api berbahan bakar minyak tanah. Di desa ini memang belum ada aliran listrik. Meskipun sudah beberapa kali diusulkan ke pejabat negara, namun hingga saat ini belum ada kepastiannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari kejauhan terlihat dua orang anak berjalan tergesa-gesa menuju arah suara adzan. Keduanya berumur sebaya. Masing-masing membawa obor kecil di tangan kanannya dan payung di tangan kirinya. Perlahan namun pasti akhirnya mereka sampai di depan surau tersebut. Obor dan payung mereka letakkan di tempat yang aman lalu bergegas menuju tempat wudlu. Dengan badan yang agak menggigil mereka membasahi anggota wudlunya dengan air yang dingin bagai es yang tengah mencair. Mereka berdua kemudian beranjak masuk ke dalam surau untuk melaksanakan sholat maghrib dengan berjamaah.

"Bismillahi wash sholaatu was salaamu 'ala Rasuulillah. Allohummaftahli abwaaba rohmatik" gumam keduanya saat memasuki surau hampir bersamaan.

Maman dan Arlan adalah dua orang sahabat yang berasal dari kampung sebelah. Mereka berdua adalah anak seorang petani.  Di siang hari mereka turut membantu orang tuanya bekerja di ladang dan malamnya dihabiskan untuk belajar ilmu agama. Mereka berdua adalah anak yang rajin, tekun, dan ulet serta memiliki semangat yang tinggi dalam mencari ilmu. Hal ini dapat dilihat dari kesehariannya tersebut. Mereka berdua harus berjalan kaki selama satu jam untuk menengguk setetes ilmu dari gurunya. Dengan berbekal obor kecil, Maman dan Arlan harus berjalan menembus gelapnya malam. Belum lagi kalau sedang musim hujan, jalan yang belum beraspal seketika menjadi lautan lumpur nan becek dan licin. Dan hal ini pun telah mereka lalui dalam kurun waktu hampir selama dua tahun. Berjalan kaki setiap malam ke tempat sang guru kecuali malam Jum'at saja.

Sesaat kemudian Maman dan Arlan keluar dari surau dengan wajah yang cerah. Surau ini memang bukan tujuan utama mereka. Tempat tersebut merupakan saksi bisu yang menjadi bukti perjuangan keduanya.

"Ayo cepat, Man, nanti telat lagi kayak kemarin" Ujar Arlan sambil bergegas mengambil obor dan payungnya.

"Santai dikit lah, Lan. Toh sudah reda hujannya. Kemarin kan hujan deras jadi ya mau nggak mau kita harus berteduh dulu" Jawab Maman mengikuti langkah Arlan.

"Makanya selagi reda ayo bergegas, entar hujan lagi kita telat lagi, malu lah sama pak ustadz"

"oke deh, siap komandan"

Begitulah ketika masuk musim penghujan, tantangan yang mereka alami semakin berat. Namun, hal tersebut bukan menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Setiap rasa malas datang menghampiri, mereka selalu ingat nasihat gurunya, "al-ajru bi qodri masyaqotin", besarnya pahala itu sebanding dengan beratnya kesulitan yang dilalui. Mereka juga selalu ingat nasihat lain gurunya, "Laa tarum 'ilman wa tatrukat ta'ab", tidak akan mendapat ilmu bagi mereka yang tidak mau bersusah payah. Maman dan Arlan pun kemudian mengayunkan langkahnya kembali dengan mantab.

(Flassback off)

"Le?!" tanya Mbah Maman kepada cucunya.

"Eh... Iya mbah"

"Kamu itu dengerin atau ngelamun?"

"Aku dengerin kok, Mbah. Ceritanya bagus sekali. Aku kagum sama perjuangan Simbah  sewaktu nyantri dulu", jawab Wahid takjub.

"Iya, Le. Itu hanya sebagian kecil dari cerita simbah saat nyantri. Selain itu masih banyak  tantangan yang harus simbah lalui. Tapi yang namanya ilmu harus diperjuangkan, kalau orang sekarang menyebutnya sebagai investasi masa depan. Makanya kamu jangan mlempem. Pemuda sekarang harus lebih bersemangat. Apalagi dengan teknologi yang semakin canggih, kamu bisa mencari sekaligus menyebarluaskan ilmu yang kamu dapatkan lewat jari-jemarimu saja. Makanya gunakan setan kotakmu itu dengan bijaksana", nasihat Mbah Maman agak menyindir.

"Njih Mbah. Wahid nanti tidak akan mengeluh dan lebih bersemangat lagi. Meskipun saat ini belum bisa balik ke pesantren karena masih pandemi. Wahid nanti akan menggunakan gawai ini dengan lebih baik juga", jawab Wahid sambil menarik mundur gawai yang ada di depannya.

"Ingat Le, anggap setiap orang sebagai guru, setiap tempat sebagai sekolah, dan setiap aktivitas sebagai dakwah. Dengan begitu kamu akan selalu memiliki sikap rendah hati untuk menerima ilmu di mana pun dan saat kondisi bagaimana pun. Ya sudah mandi sana, sudah sore, waktunya persiapan Sholat Maghrib"

"Njih, siap komandan" ujar Wahid sambil menirukan gaya bertutur Mbah Maman. Keduanya pun tersenyum simpul.

Wahid merupakan anak tunggal yang tinggal bersama sebuah keluarga yang penuh kesederhanaan. Ia adalah seorang santri kelas dua 'aliyah di Pon-Pes Manba'ul Hikmah, Yogjakarta. Karena pandemi yang datang tiba-tiba membuat seluruh santri harus dipulangkan untuk mencegah penularan virus corona. Hal itu pun membuat Wahid kesepian. Biasanya setiap hal dilakukan dengan penuh kebersamaan dan kini hari-harinya harus dijalani sendiri ditemani kesunyian.

"Seharusnya aku masih melihat semburat jingga yang menghiasi langit senja di bumi Jogja. Juga Alunan asmaul husna yang turut mengantarkan sang surya menuju keharibaannya. Begitu pula, lantunan kalam mulia yang menggema dari sudut-sudut masjid maupun mushola", Gumam Wahid sambil menyusuri jalan setapak menuju surau kecil di dekat rumahnya. Agaknya Wahid masih merenungi keadaannya saat ini.

Namun ia sadar, sebagai seorang santri selain dituntut untuk mencari ilmu juga mempunyai tanggung jawab sosial. Wahid adalah seorang santri yang memiliki jiwa sosial tinggi. Wahid mencoba mengamati keadaan sekitarnya.

"Eh, ternyata masyarakat di kampungku banyak yang terdampak covid-19. Dan lebih parah lagi masih banyak yang tidak mematuhi mengikuti protokol kesehatan", gumam Wahid.

Wahid berniat untuk membuat suatu gerakan meski dengan hal yang kecil. Di lain sisi,  Wahid juga ingin berbagi ilmu yang telah ia pelajari di pesantren.

"Apa ya yang harus aku lakukan?" pikir Wahid.

"Arif,  oh iya aku punya temen anak pejabat. Mungkin dia bisa membantuku", Wahid teringat akan teman pesantrennya.

Setelah menghubungi Arif juga temannya yang lain perihal keresahannya, Wahid pun akhirnya bisa menggalang donasi untuk membantu masyarakat di sekitarnya meski dengan jumlah yang tak seberapa.

Mulai dari berbagi masker dan hand sanitizer kepada masyarakat sekitar sambil berbagi pengalaman saat nyantri, Wahid merasa ada sebuah panggilan untuk menciptakan suatu gerakan berkelanjutan. Dengan menggandeng Arif dan temannya yang lain, Wahid mulai merangkai konsep gerakan yang terstruktur berbasis sosial pendidikan.

Gerakan kecil ini nampaknya telah memantik semangat mereka untuk berkontribusi pada masyarakat. Santri tidak hanya melulu soal peribadatan, namun bagaimana ia bisa bermanfaat bagi sekitar. Dengan niat mulia tersebut, akhirnya akan terbentuk sebuah komunitas yang populer beberapa tahun mendatang: Santri in Action.

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Nasruddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu