Janji Ayah
Sabtu, 20 November 2021 08:35 WIB#Fiksi #SayembaraCerpen2021
" Tapi aku kan sedang berusaha Mirna"
"Iya.. Tapi usaha kamu itu kurang!! Sampai kapan kita hidup kekurangan seperti ini terus yah?!. Kamu kan kepala keluarga, harusnya bisa mikir gimana caranya!. Buat beli sepatu Nisya aja kamu gak mampu, apalagi kebutuhan sehari-hari!! ".
Sayup-sayup suara pertengkaran itu makin lama, nyaris tidak terdengar lagi, karena Nisya menutup rapat-rapat kupingnya dengan bantal. Wajahnya sangat sendu, setengah terisak. Kemudian Nisya melihat sepatu sobek dan usang yang tergeletak di dekat pintu kamar. Satu-satunya sepatu yang dia punya.
"Ya, sepatu itu juga salah satu sebab yang membuat Ayah dan Ibu bertengkar. Di sekolah aku termasuk murid paling berbakat dalam bidang olahraga lari, seperti itu juga kata Pak Pardi, guru olahraga kami. Pernah dia berbincang serius dengan ayah, coba meyakinkan bahwa suatu saat aku akan menjadi pelari hebat. Tentu saja ayah mendukung, meskipun menolak niat pak Pardi untuk membelikan aku sepatu olahraga. Kasihan kata ayah, itu akan mengurangi gaji guru honorer dia yang hanya pas-pasan. Biar ayah saja yang belikan, kata ayahku. Meskipun nyatanya sampai sekarang itu masih menjadi janji. Tapi aku percaya kok, ayahku bukan pembohong, meskipun kalimat itu yang sering diucapkan ibu tiap kali mereka bertengkar. Tapi aku juga paham kenapa Ibu marah, itu demi aku juga. Ibu ingin Ayah mampu memenuhi kebutuhan kami. Sayangnya, ayahku cuma kuli bangunan, kerja dan uang yang dia punya tidak slalu ada, dan akupun paham tentang hal itu, tapi tak tahu bagaimana dengan Ibu. Ibu lebih sering marah kepada Ayah, tapi sama sekali tidak pernah memarahiku, dan ibupun tidak pernah dimarahi ayah. Jadi, aku dan Ibulah yang paling beruntung punya sosok seperti ayah, ya beruntung dalam keterbatasan kami ini :).
Keesokan paginya, seperti biasa aku berangkat ke sekolah dibonceng Ayah dengan vespa antiknya. Satu-satunya harta paling mahal yang kami punya. Semenjak tk sampai sekarang kelas 8, aku sudah terbiasa duduk di kerangka besi jok vespa ini, biar pantatnya kuat kata ayah, candaan yang selalu mampu membuat aku ihklas meski sering dikata-katai kalo vespa ayah lebih mirip motor odong-odong. Ayah tahu akan hal itu, dan dia takut aku malu, apalagi aku adalah anak perempuan yang beranjak remaja. Pernah dia menyuruh aku berangkat diantarkan ojek kenalannya, tapi justru aku yang ngomel-ngomel karena sayang uangnya.
Pagi ini sama seperti biasanya jika aku sedang dibonceng ayah ke sekolah, ayah bercerita apa saja, bernyanyi-nyanyi kecil, pokoknya melakukan segala kebiasaan yang selalu mampu membuat aku merasa orang paling ceria di setiap pagi. Ayah seakan lupa dengan segala masalahnya jika bersama aku, sedangkan aku dari dulu memang tidak pernah dibawa-bawa dalam setiap masalahnya. Tapi ada satu hal juga yang ayah lupa, aku bukan anak kecil lagi, aku sudah bisa tahu jika dia tidak sedang baik-baik saja.
" Yah, Nisya masih ngerasa nyaman kok sama sepatu ini. Gak usah ayah pikirin gimana caranya bisa beli sepatu untuk Nisya"
"He.. Tenang aja Nisya, ayahkan udah janji, itu artinya Ayah harus jujur. Dan ayah yakin bisa beliin kamu sepatu baru, bila perlu itu khusus untuk dipakai lari saja, berangkat sekolah beda lagi sepatunya".
" Ah Ayah ada-ada saja, darimana uangnya yah? "
"Vespa ini mau ayah jual"
Terkejut aku mendengar perkataan ayah.
"Ya, lagian punya kendaraan di zaman sekarang juga bukan mempermudah, malah banyak pengeluaran. Ada kawan ayah yang mau membeli, uangnya lumayan bisa beli sepatu buat kamu, sisanya biar disimpan Ibu"
"Truss ayah berangkat kerja pake apa?,
" Itu mah gampang, ayah bisa nebeng sama kawan-kawan, angkot juga banyak"
"Nisya? "
"Ya kamu naek ojek aja nisya, kan udah gede, masa harus ayah antar terus.. He.. "
Aku terdiam. Ayah tetap tersenyum. Padahal sebenarnya dia tahu aku sedih, dan aku lebih memilih dibonceng dan diantarkan tiap hari dengan vespa ini selagi ayah bisa, banyak kenangan, dan kenapa harus dijual yah? :(
Aku tetap terdiam hingga sampai di depan gerbang sekolah..
Setelah aku salim, ayah berpamitan dan tetap tersenyum. Tapi aku benar- benar tidak bisa ceria seperti kemarin-kemarin, padahal 15 menit yang lalu masih.
Aku masuk ke dalam kelas...
...........................
Suasana kegiatan belajar mengajar hari ini berlangsung seperti biasanya. Hingga sampailah menit-menit pelajaran akan usai. Tapi sedari pagi sampai saat ini, hatiku masih sedih memikirkan ayah yang harus menjual vespa kesayanganya dan kesayanganku :)
Padahal harusnya aku harus menjaga semangatku hari ini, sebentar sore aku harus latihan bersama beberapa kawan yang dipilih pak Pardi untuk mewakili sekolah dalam kejuaraan sprint antar kabupaten.
Dalam lamunanku bersamaan dengan terdengar suara sirene ambulance dari jalan raya yang berdekatan dengan ruang kelasku. Beberapa saat kemudian, suasana kelas langsung gaduh ketika seorang penjaga sekolah mengabarkan bahwa Pak Pardi mengalami kecelakaan yang lokasi kejadianya tidak jauh dari sekolah ini.
Jadiii ambulance tadi??
Beberapa guru dan siswa sudah bersiap-siap berangkat ke rumah sakit, aku termasuk diantara mereka. Tapi tiba-tiba ayah datang dan langsung menarik tanganku "ayo ikut ayah".
Aku terkejut karena tumben-tumbenan ayah datang menjemput, dan dimana vespa ayah?
" Sudah ayah jual, kan pagi tadi ayah sudah bilang".
"Tapi yah.. "
Aku berusaha menjelaskan tentang Pak Pardi, tapi tiba-tiba entah kenapa aku justru jadi terdiam melihat banyak siswa dan guru yang melihatku heran. Ada yang memanggilku, tapi Ayah terus saja menarikku pergi.
"Tapi kita pulangnya jalan kaki yah..? "
"Iya, sesekali gak papalah.. Ayo, ada yang ingin ayah tunjukkan"
Aneh, ayah tidak pernah tergesa-gesa begini. Aku sih sanggup saja jika memang harus pulang jalan kaki untuk ke rumah yang jaraknya memang tidak terlalu jauh, tapi aneh saja sikap ayah kali ini.
Kami akhirnya sampai di perempatan yang masih ramai orang berkerumun, terlihat ada darah dan garis polisi. Seketika itu juga aku ngeri dan memastikan bahwa ini adalah lokasi kecelakaan Pak Pardi. Tapi lagi-lagi ayah menarikku dan menunjuk ke suatu lokasi, aku melihat ada sebuah bungkusan.
"Ambil Nisya.. "
Karena disuruh ayah, akupun nurut dan mengambilnya, lalu seperti mengerti maksud lirikan ayah, aku memasukkanya dalam tasku. Ada beberapa lirikan orang yang juga melihatku heran, tapi aku juga heran, lantas melihat ayah yang tiba-tiba menatapku dalam. "Sekarang kamu pulang ya, ayah harus pergi lagi".
" Tapi yah.. "
Belum selesai aku berbicara, ayah semakin menatapku dalam, tanpa berkata apa-apa. Aku semakin benar-benar heran sekarang, dan tiba-tiba ada motor yang melintas dan berhenti tepat di belakangku, om Salman, ibu adikku datang menjemputku pulang. Dan saat itu juga, aku tidak melihat ayah lagi.
................
Sesampainya di depan rumah, aku langsung melompat dari atas motor ketika melihat banyak warga di depan rumahku. Pikiranku sudah berkecamuk macam-macam "ibuuuu"
Terus aku berlari masuk ke dalam rumah, tapi tiba-tiba aku berhenti melihat Ibu yang langsung memelukku sambil histeris. Aku yang kemudian lebih histeris ketika melihat ada jenazah yang sudah dikafankan di hadapanku. Itu ayah...
Aku hilang kesadaran...
..........
Tengah malam aku terbangun, mendengar suara-suara orang sedang melantunkan ayat suci, kepalaku masih terasa pusing tapi masih sanggup mengingat kejadian siang tadi, hingga langsung histeris "Ayahhhhh!!! ", ibu masuk ke dalam kamar dan memelukku dalam. Kami berdua menangis sangat pilu hingga membuat suara-suara ngaji itu berhenti dan banyak warga masuk ke kamar dan menenangkan kami.
" Ayaaaahhhh!!!! "
..........
Sekarang aku sudah mampu mengiklaskan semuananya, seminggu setelah kepergian ayah aku baru berani ke pusaranya, bersama ibu, beberapa kawan, guru, dan Pak Pardi yang mengenakan tongkat.
Pak pardi bercerita jika di hari itu dia mengantarkan ayah untuk membeli sepatu, niatnya itu akan menjadi kejutan yang akan aku kenakan di saat latihan. Tapi sepulangnya dari toko sepatu, dan hendak sampai di sekolah, motor pak Pardi hampir menanbrak pejalan kaki hingga dia menghindar dan terpelanting, tapi ayah tidak sempat menghindar bersamaan ada mobil berkecepatan tinggi menghantam dari belakang. Itulah naas yang merenggut nyawa ayah.
Tapi selama ini kami tidak tahu pak Pardi punya motor, ternyata motor itu adalah vespa ayah yang digadaikan ke pak Pardi karena tidak tega menjualnya. Pak Pardipun belum mahir benar mengendarai vespa, tapi saat itu Ayah yang menyuruhnya mencoba.
Polisi sempat menanyai pak Pardi dan beberapa saksi, tapi kami tentu tidak ingin memperkarakan hal ini, apalagi terlihat sekali pak Pardi sangat terpukul.
Aku lebih banyak diam, merenung, dan tidak kuceritakan kepada siapapun mengenai kejadian terakhir bertemu ayah. Tangis kerasku juga tertahan waktu aku tahu bungkusan dalam tas itu adalah sepatu yang dibelikan ayah.
Ayah masih menemuiku untuk menuntaskan satu janji terakhirnya.
Selesai...

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler