x

Suasana kelas

Iklan

Arie Hendrawan

Pendidik di SMA Islam Al Azhar 14 Semarang
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Jumat, 26 November 2021 21:36 WIB

Habis Tradisi Menghafal, Terbitlah Pembudayaan Berpikir Kritis

Selama ini dalam pembahasan tentang penemuan radio di sekolah, pertanyaan-pertanyaan yang sering dijejalkan kepada kita adalah terkait, “Siapa penemunya?”, “Kapan ditemukan?”, dan “Di mana ditemukan?”. Tanpa kita sadari, hal tersebut merupakan pola pikir linier yang hanya berorientasi pada hafalan semata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan penulis sebagai guru terhadap rendahnya budaya berpikir kritis peserta didik. Bukan berarti mereka tidak memiliki kemampuan tersebut. Namun, potensi berpikir kritis yang mereka punya cenderung hanya dipakai untuk merespons tren “pop culture” (budaya populer), seperti food, film, dan festival. Sementara, dalam domain akademis dan otentis, hal itu masih kurang diasah.

 

Padahal, saat ini berpikir kritis dan solutif menjadi salah satu “Keterampilan Abad 21” yang wajib dikuasai oleh peserta didik, selain kreativitas dan inovasi, komunikasi, serta kolaborasi. Berpikir kritis sendiri memiliki banyak definisi, tetapi sederhananya dapat diartikan sebagai proses berpikir secara kompleks untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menarik simpulan dari setiap informasi yang didapatkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Berpikir kritis berbeda dengan berpikir sinis. Berpikir kritis membangun, sedangkan berpikir sinis menjatuhkan. Berpikir kritis itu menyadarkan, sedangkan berpikir sinis justru mengaburkan. Lemahnya daya berpikir kritis dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktornya adalah tingkat literasi yang rendah, khususnya dalam budaya membaca. Sementara, arus informasi digital yang kini beredar sangat besar.

 

Menghafal Versus Memahami

Di samping itu, faktor lain yang juga ikut mempengaruhi adalah pola pikir linear yang telah menjadi warisan dari sistem pendidikan lama. Sejak dulu, kita sering diajari cara belajar, tetapi tak pernah diajari bagaimana cara untuk berpikir. Alhasil, dalam belajar peserta didik kerap terpaku pada metode hafalan –yang oleh Sabda PS, seorang tokoh edtechpreneur Indonesia, dikatakan sebagai cara belajar yang paling dangkal.

 

Bukan berarti menghafal tidak penting sebagai cara untuk belajar, tetapi ada metode yang lebih baik, yaitu dengan memahami. Melalui hafalan, kita hanya akan mengingat-ingat materi dari permukaan. Sementara itu, dengan memahami, kita bisa mengetahui materi secara mendalam, sehingga tidak terikat oleh hafalan. Lantas, bagaimana agar kita mudah memahami sesuatu? Sederhana, dengan cara berpikir kritis.

 

Namun, potensi itu akan pupus ketika kita tidak berusaha untuk membudayakan berpikir kritis. Misalnya, dalam pembahasan tentang penemuan radio, pertanyaan-pertanyaan yang sering diajarkan kepada kita adalah terkait, “Siapa penemunya?”, “Kapan ditemukan?”, dan “Di mana ditemukan?”. Tanpa kita sadari, hal tersebut merupakan pola pikir linier yang hanya berorientasi pada hafalan semata.

 

Oleh karena itu, kita perlu melatih otak kita untuk ke luar dari pola pikir sempit itu. Caranya dengan mengubah daftar pertanyaan, seperti contoh, “Bagaiaman radio bisa ditemukan?”, “Mengapa radio dibuat?”, atau “Bagaimana dampak penemuan radio?”. Dengan demikian, cakrawala berpikir kita akan semakin luas dan sekaligus dapat memahami informasi secara utuh, tidak setengah-setengah dan asal tahu.

 

Ranah Akademis dan Otentis

Keterampilan berpikir kritis seperti dijelaskan diatas, tidak hanya dapat diterapkan dalam ranah akademis, melainkan juga pada ranah otentis atau kehidupan sehari-hari. Artinya, potensi berpikir kritis mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tidak terlepas dari cara kerja berpikir kritis yang melihat segala sesuatu dengan perspektif-perspektif baru.

 

Sejarah mencatat, peradaban umat manusia ikut dibangun oleh kemampuan berpikir kritis. Misalnya saja, andai Edison tidak berpikir kritis untuk memperbaiki penemuan lampu bohlam dari 22 ilmuwan sebelumnya, mungkin sampai detik ini dunia masih gelap gulita. Atau, jika saja founding fathers Indonesia tidak berpikir kritis untuk mencapai kemerdekaan, mungkin hingga sekarang bangsa kita masih terjajah.

 

Sementara itu, di orde media dan informasi seperti saat ini, berpikir kritis membantu kita mengolah memvalidasi setiap informasi dengan baik. Tujuannya, agar kita tidak mudah dibohongi oleh informasi-informasi palsu (hoax) yang dapat menyebabkan kemunduran peradaban yang telah dibangun selama ini. Dampak informasi hoax bersifat multidimensional yang berimplikasi pada berbagai lini kehidupan.

 

Atas dasar itu, kita semua wajib untuk bersama-sama membudayakan berpikir kritis. Hal tersebut bisa dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat sebagai Tripusat Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara. Sebagai pendidik, guru juga harus memfasilitasi peserta didik yang berpikir kritis dengan mengedepankan sifat inklusif. Terakhir, kita amalkan advis Tan Malaka, “Berpikir besar, kemudian bertindak!”.

Ikuti tulisan menarik Arie Hendrawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler