x

Iklan

Yoga Alfauzan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Minggu, 28 November 2021 15:16 WIB

Kejar Waktu, Kejar Mimpi

“Woy! Balikin dompet gua! Gua nggak bisa pulang!” sambungku tidak mau kalah. Bapak itu malah memelototiku. “Kita sama-sama kecopetan, Pak,” kataku nyengir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Assalamu’alaikum!” seruku dengan lesu. Perlahan kaki ini memasuki halaman rumah yang dipenuhi kerikil dan rumput. Rasanya ingin sekali segera rebahan. Langsung saja kubuka pintu dan duduk di sofa ruang tamu. Rumahku tidak mewah, sederhana sekali. Ruang tamunya hanya terdiri dari tiga buah sofa, satu meja di tengah, dan sedikit hiasan di dinding.

“Eh … anak Ibu sudah pulang,” ucap suara seorang wanita dari belakangku.

“Iya, Bu,” kataku lesu sambil mengangguk.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kok tumben pulangnya cepat?”

Aku tidak menjawab. Membenamkan wajah di bantalan sofa membuatku tidak ingin melanjutkan percakapan itu.

“Kok tumben enggak semangat?“ tanyanya lagi, “Nih, coba lihat! Ibu bawa apa?”

Aku menarik kepala, mencoba menatap Ibu di hadapanku yang membawa sebuah amplop cokelat di tangan.

Ibu tersenyum. “Coba kamu baca,” ucapnya sambil memberikan amplop itu padaku.

Dengan penasaran, aku cepat-cepat membukanya. Kata demi kata kubaca. Perlahan kuulangi lagi sampai tiga kali dan ternyata benar! Aku tidak salah baca.

Letter of Acceptance

University of Sydney

Tanpa sadar aku langsung memeluk Ibu.

“Selamat ya!” kata Ibu.

“Terima kasih, Bu,” balasku.

“Besok kamu masih ada tes wawancara di Jakarta, kamu istirahat dulu sana. Nanti Ibu buatkan makan malam”

“Baik, Bu. Aku ke kamar dulu ya,” kataku sambil berseri-seri meninggalkan ruang tamu.

Besoknya aku berangkat menuju ke Stasiun Bekasi. Ibu mengantar sampai ke depan pintu stasiun. Setelah berpamitan sebentar, aku langsung masuk ke dalam dan naik kereta.

Sekarang masih pukul 10:00 WIB. Wawancara dimulai pukul dua siang nanti, aku masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri setibanya di sana. Dari Stasiun Bekasi sampai ke Jakarta memerlukan waktu sekitar dua jam dengan kereta.

Setibanya di Jakarta, aku melangkahkan kaki keluar stasiun. Suasana kota Jakarta tidak jauh berbeda dengan yang ada di Bekasi. Populasi lebih didominasi kendaraan daripada para pejalan kaki.

“Nak,” tiba-tiba suara wanita memanggil dari belakang.

Aku menoleh. Seorang wanita tua berdiri di belakangku. Rambutnya putih, badannya bungkuk, dan memegang tongkat kayu berwarna cokelat tua.

“Nak, bisa minta tolong antarkan nenek ke seberang jalan, tidak?” katanya.

“Bisa, Nek,” balasku, lalu menuntun nenek itu pelan-pelan menuju seberang jalan. Kendaraan berhenti perlahan-lahan memberi jalan untuk aku dan sang nenek.

“Ini, Nek. Kita sudah sampai," ucapku setibanya di seberang jalan.

Nenek itu tersenyum, “Terima kasih ya, Nak. Nama kamu siapa?” Nenek itu memegang bahuku.

“Fau-auww-” tiba-tiba seseorang menabrakku-“Fauzan, Nek,” lanjutku tidak memedulikan orang yang menabrakku.

“Terima kasih ya, Nak. Nenek doakan kamu jadi orang sukses nanti.”

Aku mengangguk. “Iya, Nek. Terima kasih banyak. Aku pergi dulu ya, Nek,” sambil terrsenyum aku berpaling dan pergi meninggalkan nenek itu.

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 12.23 WIB, sebaiknya aku salat dulu biar nanti bisa tenang sewaktu wawancara. Kuambil handphone dari balik saku untuk mencari tahu di mana masjid terdekat di daerah sini.

Kucoba meraihnya di saku celana kanan tapi tidak ada. “Oh iya, handphone-nya ‘kan ada di kantung saku sebelah kiri. Eh … kok kantung saku celana kananku kosong, Ya?” Aku mencoba mengingat-ingat apa yang seharusnya ada di kantung saku kiriku. Ternyata yang menghilang saku itu adalah dompetku. Aku langsung memeriksa tas tapi ternyata tetap tidak ada. Kuulangi lagi sampai tiga kali tetapi juga tetap tidak ada. Aku terdiam sejenak. Kalau ketinggalan enggak mungkin. Perasaan sewaktu di kereta masih ada. Aku kembali berpikir sejenak.

“Eh … jangan-jangan!” Aku teringat orang yang menabrakku tadi,“aduh, brengsek! Kecopetan!” Aku mencoba melihat-lihat sekeliling, barangkali orang itu masih berada di sekitar sini.

Aku berjalan menyusuri jalanan kota Jakarta mengikuti arah orang yang menabrakku tadi. Rambutnya berwarna merah dan memakai jaket jeans robek-robek. Seingatku itu ciri-ciri orangnya.

“Huh, mau dicari kemana juga kayaknya memang sudah enggak ada di sekitar sini deh! Sisa uangku berapa ya?” tanyaku pada diri sendiri sambil merogoh-rogoh kantung saku sendiri dan menemukan selembar uang lima ribu rupiah.

“Yah cuman ada segini, sisanya di dompet. Ikhlasin aja kali ya, biasanya kalau diikhlasin bisa ketemu,” kataku penuh harap. Padahal di sisi lain, batin sudah pasrah. Dompet yang sudah dicopet mana bisa balik lagi.

Aku kemudian mengubah arah berjalan menuju halte bus transjakarta. Naik bus ini gratis. Aku bisa turun di masjid Istiqlal untuk shalat, sehabis itu berjalan meneruskan sisa perjalanan. Cukup untuk menghemat biaya.

Kebetulan sekali, setibanya aku di halte ternyata sudah ada bus tujuan yang tiba. Jadi aku tidak perlu menunggu lagi. Aku langsung naik dan mencari tempat duduk yang kosong.

“Semoga tes wawancara tidak menjadi bencana juga hari ini,” kataku kepada diri sendiri. “Untung saja handphone-ku tidak ikut kecopetan.”

Aku mencoba menghubungi ibuku akan kejadian hari ini. Eh, tidak perlu sepertinya, nanti ibu malah khawatir. Aku mengurungkan niat dan hanya duduk diam menunggu sampai halte tujuanku berikutnya tiba.

Beberapa menit kemudian aku sampai di Masjid Istiqlal. Aku segera melaksanakan ibadah salat Dzuhur di sana, agar tidak banyak membuang-buang waktu lagi. Suasana saat itu ramai sekali. Aku semakin was-was supaya tidak kecopetan untuk yang kedua kalinya.

Setelah salat, aku kembali melanjutkan perjalanan. Gedung EcoFoundation sedikit lagi sampai. Mungkin cuma beberapa menit berjalan kaki.

“Aaaaaaa, jambret! Jambret!” seorang wanita tiba-tiba berteriak entah dari mana.

Aku menoleh ke arah seorang pria yang berlari kencang keluar dari area masjid. Rambutnya dicat merah dan memakai jaket jeans yang sudah robek. Ini dia orangnya! Aku langsung ikut mengejar tanpa pikir panjang.

“Hey, berhentiii!” teriakku.

Beberapa warga yang mengejarnya berada beberapa langkah di depan. Pencopet itu sepertinya sedikit pun tak kehabisan napas. Beberapa warga ada yang berhenti mengejar karena sudah kelelahan. Pencopet itu mulai berlari memasuki sebuah pasar di daerah Monumen Nasional. Orang-orang pasar sepertinya tidak mengindahkan aksi kejar-kejaran kami yang cukup riuh ini.

“Hei … jangan kabur kamu!” teriak salah seorang warga.

“Jambret! Jambret!” seru warga lainnya.

“Woy! Tangkap itu woy! Malah diam saja!” teriakku kepada orang-orang pasar yang hanya menonton aksi kami sebagai hiburan gratis.

“Jangan kabur kamu! Balikin tas istri saya!” teriak seorang bapak itu di sebelahku yang juga sedang mengejar pencopet itu.

“Woy! Balikin dompet gua! Gua nggak bisa pulang!” sambungku tidak mau kalah.

Bapak itu malah memelototiku.

“Kita sama-sama kecopetan, Pak,” kataku nyengir.

DUAAK!!

Setumpuk pakaian tiba-tiba terlontar ke arah kami. Membuat kami terhenti sejenak.

“Adduuhh … barang daganganku hancur!” keluh sang pemilik toko pakaian.

Aku dan warga lainnya langsung melanjutkan pengejaran, menghiraukan pemilik toko itu. Biarlah, mereka semua juga tidak peduli dengan kami yang sedaritadi mengejar pencopet itu. Si pencopet unggul beberapa jarak di depan. Sepertinya dia sudah terlatih dalam hal yang seperti ini.

DUK!!!

Aku menabrak Bapak tadi yang tiba-tiba berhenti mendadak di depanku.

“Kenapa, Pak?” tanyaku heran.

Bapak itu  menarik napas cepat-cepat, “Copetnya hilang, Dek.”

Aku melihat sekeliling. Ternyata benar. Si pencopet sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya.

“Hei! Kalian jangan kabur! Gantiin itu barang dagangan saya!” Si penjual toko ternyata mengejar kami dari belakang. Ia berlari kecil-kecil menghampiri seperti orang yang sudah kehabisan napas.

“Ganti?”-Bapak itu terlihat marah-“kan bukan saya yang jatuhin barang dagangan Bapak!”

Si penjual tak mau kalah, “Kan Bapak yang injak-injak barang dagangan saya!”

Aku melihat ini sebagai situasi yang berbahaya. Kalau disuruh ganti rugi, uang yang aku punya tinggal lima ribu rupiah, bisa-bisa nanti dilaporkan ke polisi lagi.

“Pak, kita kabur saja yuk, Pak?” bujukku kepada Bapak itu.

“Wah, tidak bisa begitu, Dek! Orang yang seperti ini harus dikasih pelajaran! Jelas-jelas kita lagi ngejar copet bukannya dibantuin malah minta disuruh bayar ganti rugi.”

“Loh, memang benar kok! Bapak yang injak-injak dagangan saya! Masa enggak mau dimintain ganti rugi sih!” Si pemilik toko malah makin marah.

“Waduh … saya enggak ikut-ikutan deh, Pak,” kataku kepada si Bapak.

Bapak itu kelihatannya tidak memedulikan perkataanku. Matanya sudah melotot merah dan perutnya yang buncit juga ikut naik turun seperti dadanya. Mengatur pernapasan.

“Pak, saya mau cari copet yang tadi saja, Ya!” bisikku kepada si Bapak, tidak peduli didengar atau tidak. Selagi kedua orang tua itu beradu mulut dan tidak memerhatikan sekitar, aku pergi meninggalkan perselisihan tersebut.

Aku berhasil menjauh dari amukan si pemilik toko. Aku juga hampir saja mendapatkan kembali dompet itu. Tapi biarlah, mungkin ini memang sudah jalan Tuhan. Lagi pula, aku masih punya tes wawancara jam dua nanti.

“Oh iya, tes wawancaranya! Astaga!” seruku sambil melihat ke arah jam tangan, memastikan supaya tidak tertinggal jadwal. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 13.23 WIB.

“Aduh sial, ini di mana lagi!” kataku melihat sekeliling, “oh, masih di Monas.”

Aku berlari secepat mungkin menuju jalan raya. Aku menunggu di sana, barangkali ada angkot lewat.

“Aduh mana ya angkotnya?” gumamku gelisah. Sedari tadi hanya bus, bajaj, dan mobil pribadi yang berlalu lalang di depan Jalan Raya Monas. “Gimana ya? Kalau naik bajaj, uangku tidak cukup. Kayaknya enggak ada angkot deh yang lewat sini.” Aku kembali melihat jam tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB.

“Hufftt, sepertinya kalau aku berlari, tiga puluh menit sampai tidak, Ya? Ah biarlah, daripada buang-buang waktu di sini.”

Aku memutuskan untuk berlari menyusuri trotoar di sebelah kiri jalan. Rasanya sudah mati rasa napas ini. Biarlah lelah untuk satu hari ini saja asalkan mimpiku untuk kuliah di luar negeri bisa terwujud. Cuaca Jakarta yang panas membuat rintanganku menuju gedung EcoFoundation semakin berat. Untung saja aku membawa bekal air minum, jadi sesekali aku berhenti sejenak untuk menghilangkan rasa haus.

“Ah! Ini dia, di seberang jalan belok kiri.” Kemudian aku melihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keadaan jalan aman untuk menyeberang. Setelah dirasa aman, aku langsung berlari menyeberang.

Ttiiiiinnnnn….

Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar dekat secara mendadak. Aku langsung meloncat ke depan untuk menghindari  mobil tadi. Namun, pendaratanku kurang mulus, malah jatuh tersungkur.

“Dek, kamu enggak apa-apa?” tanya seorang pria yang baru saja turun dari dalam mobilnya.

Aku mencoba bangun dari posisi jatuhku, “Ya, Pak. Saya enggak apa-apa,” balasku.

“Beneran kamu enggak apa-apa? Saya antar kamu pulang ya?” Bapak itu membantuku berdiri.

“Enggak usah, Pak. Rumah saya di Bekasi.”

“Oh, kamu sendirian ke sini, Dek? Mau ke mana?” tanyanya lagi.

“Mau ke gedung EcoFoundation, Pak,” jawabku cepat.

“Saya antar kamu ke sana ya? Sebagai permintaan maaf dari saya.”

Aku menatap pria itu, memperhatikan orang ini bisa dipercaya atau tidak. “Boleh, Pak,” jawabku.

Ternyata tidak butuh lebih dari sepuluh menit untuk sampai dengan mobil.

“Terima kasih ya, Pak,” ucapku ketika sampai.

“Iya, hati-hati ya,” balas pria itu kemudian pergi.

Aku langsung berjalan ke dalam gedung.

“Pak, ini gedung EcoFoundation, Ya?” tanyaku pada satpam yang berdiri tepat di samping pintu masuk.

“Kelihatannya?” kata satpam itu sambil menunjuk ke sebuah tulisan besar bertuliskan EcoFoundation di atasnya.

“Ah Bapak bisa saja,” kataku nyengir, “kalau untuk wawancara kuliah di luar negeri di mana ya, Pak?”

“Oh, kamu tinggal masuk lewat lobi. Nanti lurus sampai ujung di sebelah kanan ada lorong, nah di situ.”

“Oh, terima kasih ya, Pak, saya masuk dulu.”

“Iya."

Aku langsung memasuki gedung dan mengikuti arahan satpam tadi.

“Fauzan Aryeswara.” Tiba-tiba terdengar suara dari lorong sebelah kananku. Seorang wanita muda berdiri di sebuah pintu sambil memegang papan di tangan kanannya, sementara ada beberapa anak yang sebaya denganku duduk di kursi tunggu di depannya, menunggu untuk dipanggil. “Fauzan Aryeswara tidak ada?”

“Saya, Kak,” sahutku cepat sambil berlari mendekat.

“Oh, kamu langsung ke dalam ya!”

“Siap, Kak.” Jantungku makin berdebar kencang.

***

Akhirnya wawancara selesai juga. Sekarang aku tinggal pulang ke rumah dan bisa tidur santai. Eh, tapi uangku tinggal sisa lima ribu saja. “Kira-kira cukup tidak ya untuk sampai rumah? kartu keretaku juga masih ada di dompet." Dengan pasrah, aku berjalan menuju stasiun terdekat.

DUK!

Seseorang kembali menabrakku. Aku terjatuh karena benturan keras.

"Aduh, kalau jalan lihat-lihat dong!" kataku kesal.

"Lu tuh yang liat-liat! Lu kira nih jalan punya nenek lu apa!" jawab orang itu dengan ngegas.

Aku pun mulai naik darah, "Heh, harusnya lu tuh yang...."-perkataanku terhenti seketika melihat orang yang menabrakku-"oh, lu kan yang nyopet gua di depan stasiun?"

Orang itu langsung nampak kaget dan kebingungan. Ia langsung bangkit dan berlari menjauh dariku.

"Hei, jangan kabur! Balikin dompet gue! Gua mau pulang!"

Aksi kejar-kejaran pun kembali berlangsung.

Ikuti tulisan menarik Yoga Alfauzan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu