x

cover cerpen bayi di dalam masjid

Iklan

Eko Hartono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Selasa, 30 November 2021 22:54 WIB

Bayi di Dalam Masjid

Bayi berjenis kelamin wanita itu dirawat di rumah Pak RT. Kaum ibu silih berganti menengok dan menggendong bayi yang tampak montok dan menggemaskan itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Rumah Pak RT yang tidak terlalu besar mendadak menjadi seperti bazaar. Orang-orang berjejalan ingin menyaksikan bayi mungil yang ditemukan warga di dalam masjid. Pak RT sudah melaporkan kepada polisi. Pihak kepolisian berjanji akan menindaklanjuti laporan ini dan mengusut siapa pelaku pembuangan bayi tak berdosa itu.

            Untuk sementara bayi berjenis kelamin wanita itu dirawat di rumah Pak RT. Kaum ibu silih berganti menengok dan menggendong bayi yang tampak montok dan menggemaskan itu. Usia si bayi diperkirakan belum genap satu bulan, tapi dia terlihat sehat. Berbagai komentar meluncur dari mulut mereka.  

            “Aduh, manisnya bayi ini. Teganya si ibu yang telah membuang bayi tak berdosa ini!” cetus seorang ibu-ibu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            “Mungkin dia lahir dari hasil hubungan gelap. Maklumlah, jaman sekarang banyak remaja suka bergaul bebas. Mereka tidak memikirkan akibatnya. Kalau sudah hamil, baru tahu rasa. Tapi jeleknya, kenapa si bayi tak berdosa ini yang harus jadi korban. Dia dibuang hanya untuk menyembunyikan aib orang tuanya!” sahut ibu-ibu yang lain.

            “Belum tentu bayi ini lahir dari seorang remaja putri yang hamil di luar nikah. Bisa saja dia anak pembantu yang dihamili majikannya atau anak haram dari wanita yang sudah bersuami dan berselingkuh dengan laki-laki lain!” tukas yang lain.

            “Semua itu baru kemungkinan. Tapi yang jadi pertanyaan, kira-kira siapa wanita yang telah membuang bayi ini? Apakah dia warga sini atau warga dari luar?”

            “Kayaknya bukan warga sini, deh. Apa kalian lihat ada warga kampung ini yang hamil…?”

            “Yaah, namanya juga aib. Siapa tahu ada warga di sini yang diam-diam menyembunyikan kehamilannya. Kemungkinan itu bukan mustahil!”

            “Tapi kayaknya tidak mungkin. Biasanya kasus yang terjadi, bayi hasil hubungan gelap dibuang jauh-jauh dari rumah si pelaku!”

            “Ah, sudahlah. Tidak perlu mendebatkan siapa pelaku pembuangan bayi ini, biar polisi yang mengusut. Yang penting kita pelihara dan rawat bayi ini dengan baik. Kasihan, bayi ini tidak punya siapa-siapa!”

            “Omong-omong aku ingin mengangkatnya sebagai anak!”

            “Eit, bukan cuma kamu, aku juga pengin mengangkatnya jadi anakku!”

            “E, e… kalian kan sudah punya anak. Aku belum punya anak, jadi kayaknya aku yang pantas memeliharanya!”

            “Sudah, sudah! Kenapa jadi pada berebut bayi. Soal adopsi itu ada aturannya. Nanti ikuti aturannya yang benar!” sergah seseorang menengahi ibu-ibu itu.

***

            Melihat perilaku para ibu terhadap bayi malang itu sungguh membuatku merasa terharu sekaligus ditikam rasa ngilu. Ah, tak pernah kubayangkan anak itu menjadi buah hati para wanita di kampung ini. Sikap mereka yang begitu menaruh perhatian dan kasih sayang kepada si bayi sedikit mengurangi rasa bersalah dan sesal dalam hatiku. Sungguh, tak pernah ada niatku menelantarkan anak itu, apalagi membuangnya. Aku bukan perempuan jahat seperti dugaan mereka.

            Andai mereka tahu apa yang terjadi padaku dan sebab kenapa aku meletakkan bayi itu di dalam masjid…?

            Perlu aku ceritakan disini, siapa diriku dan riwayat hidupku. Terlahir sebagai manusia yang tidak sempurna, kehadiranku ke dunia ini hanya menjadi pelengkap derita orang tuaku, khususnya ibuku. Sebenarnya secara fisik aku terbilang cantik. Wajahku manis dengan sepasang mata bulat bening dinaungi sepasang alis tebal, hidungku mbangir, bibirku merekah delima, rambutku hitam bergelombang. Hanya satu kekuranganku, tak bisa bicara. Aku gagu!

            Ayahku malu memiliki anak seperti aku, tapi ia tak menunjukkan perasaannya secara langsung. Hanya dari sikap dan caranya memperlakukanku, tampak jelas dia tidak menyukaiku. Dia melarang aku keluar rumah dan bergaul dengan anak-anak lain. Karena aku sering jadi bahan ejekan dan olok-olok mereka. Aku sebenarnya tak menghiraukan dan memasukkan dalam hati. Tapi kedua orangtuaku menganggap hal itu sebuah penghinaan. Ibu akan memukul dengan sapu lidi jika aku masih ketahuan bermain dengan mereka.

            Ibuku sebenarnya bukan wanita yang kejam. Dia memukulku sekadar melaksanakan perintah ayah. Laki-laki itu marah jika mengetahui aku masih berkeliaran di luar rumah. Jika dia marah, bukan aku yang jadi sasaran kemarahannya, tetapi ibu. Tak segan tangannya memukul ibu, kakinya menendang ibu, dan mulutnya mencaci maki ibu. Dikatakannya Ibu tak becus mengurus anak, wanita jalang, pembawa sial, dan seribu serapah yang menusuk perasaan. Ibu hanya bisa diam dan menangis.

            Ibu akan memelukku dan menangis penuh penyesalan usai menderaku. Kurasakan degub jantungnya yang hebat diguncang kegetiran. Sadar bahwa ulahku akan membuat ibu menjadi merana, aku pun meredam keinginan bermain keluar rumah. Aku menuruti kata ayah untuk mengurung diri di rumah, menyembunyikan kecacatanku. Bahkan aku rela tidak mengecap bangku sekolah agar nama baik ayah terjaga. Namun kepasrahanku itu tetap tak merubah perangai ayah, bahkan diam-diam dia menikah siri dengan wanita lain.

            Aku tumbuh menjadi gadis remaja yang tertutup dan terkucil. Hari-hari lebih banyak kujalani di dalam rumah. Menggantikan tugas ibu yang sering sakit-sakitan. Sejak ayah menikah lagi dan jarang pulang ke rumah, kesehatan Ibu memburuk. Mula-mula ia sering batuk-batuk, mengeluh sesak napas, dan sering kesemutan. Ketika diperiksakan ke dokter, ternyata Ibu menderita asma akut. Badannya menjadi kurus kering, pucat, dan lemah. Bahkan dia sudah tidak kuat lagi berjalan.

            Tiap hari aku mengurus Ibu; mulai dari memandikan, membuatkan makanan, bahkan membantunya ke belakang. Kulakukan semua itu dengan penuh rasa ikhlas dan tanpa mengeluh. Aku mencintai Ibu, karena hanya dia satu-satunya keluarga yang kumiliki. Ayah? Aku menganggap dia sudah tiada. Dia hanya datang sebulan sekali mengirim uang belanja, bahkan beberapa bulan ini dia tidak pernah lagi muncul dan hanya mentransfer lewat rekening bank.

            Selama ini aku jarang keluar rumah dan bergaul dengan teman sebaya. Aku tak mengenal indahnya dunia remaja. Duniaku hanya berkutat di dalam rumah dan sekitarnya. Makanya, aku jadi jengah dan malu ketika sedang melintas di jalan kampung tiba-tiba mendengar celetukan iseng dari beberapa pemuda yang nongkrong di pos ronda.

            “Wah, si Nur sekarang cantik sekali. Mau enggak jadi pacar abang?”

            “Abang kalau tidur malam kedinginan. Mau enggak Nur jadi selimut abang? Nanti abang kasih permen. He he he…!”

            “Jangan mau, Nur. Mendingan jadi pacarku saja. Nanti aku belikan baju-baju yang bagus. Mau, ya…?”

            Wajahku merah padam. Marah dan kesal. Mereka menganggapku seperti perempuan murahan. Tapi tak kupingkiri ada rasa bangga terselip dalam hati, karena mereka menyebutku cantik.

            Aku memang tak pernah menyadari dengan pertumbuhanku. Sosokku yang dulu kecil mungil kini berubah jadi tinggi besar. Aku bisa melihat bayangan tubuhku yang membentuk lekukan mirip badan gitar. Dua buah gunung kembar muncul di dada. Tak terpikir dalam benakku, wujudku telah menjelma sebagai perempuan dewasa. Ditunjang dengan wajah yang cantik –ini menurut penilaian ibu dan orang-orang di sekitarku—, tentu wajar kaum laki-laki tertarik kepadaku.

            Ibu pun sering mengingatkanku untuk menjaga diri dan hati-hati.

            “Kamu ibarat sekuntum bunga yang sedang mekar, Nak. Keharumanmu menarik perhatian kumbang-kumbang. Jangan biarkan seekor kumbang menghisap sari madumu. Tunggu nanti saatnya bila sudah tiba,” kata Ibu mengibaratkan diriku seperti sekuntum bunga.

            Aku belum mengerti apa yang dimaksud Ibu, karena aku masih polos dan lugu. Aku tak begitu paham dengan rawannya dunia. Aku masih hijau dengan liku-liku tipu daya manusia. Bukan maksudku untuk menarik perhatian kaum lelaki akan kesegaran dan keharumanku. Aku juga tak bisa membaca pikiran mereka dan tak tahu apa yang mereka inginkan. Bila kemudian mereka tertarik padaku, itu bukan salahku. Juga ketika mereka diam-diam menyimpan rencana busuk terhadapku.

            Suatu malam, di saat aku terlelap di kamar, tanpa kusadari sesosok bayangan menyelinap masuk. Aku terkejut dan terjaga karena sosok besar itu sudah menindih tubuhku. Kedua tanganku dicengkeram erat. Sayang, aku tak bisa bersuara. Aku tak bisa menjerit. Aku tak bisa memberitahu ibu yang sedang tidur di kamar sebelah. Aku hanya bisa menangis dan merintih perih. Sesuatu yang hangat tapi menyakitkan terasa menusukku. Setelah puas melampiaskan syahwatnya si jahanam itu kemudian melesat hilang dari balik jendela.

            Tinggal aku sendirian tersekap dalam kegetiran. Tangisku hanya bisa merayap di keheningan yang menyayat. Aku tak tahu, ke mana mesti membagi lukaku ini. Ingin kuadukan pada Ibu, tapi hatiku tak sampai. Aku tak ingin membuatnya semakin merana, menambah beban kepahitan hidupnya. Akhirnya, kepedihan ini hanya bisa kupendam dalam hati. Tak akan kulupakan wajah si jahanam yang malam itu mengoyak kehormatanku. Setiap kali lewat depan rumahnya, aku buru-buru lari. Aku takut bertemu dengannya lagi.

            Kupikir, malam itu adalah malam jahanam pertama dan terakhir. Tapi tidak, tiga malam kemudian si jahanam kembali menyatroni kamarku. Bahkan kali ini tidak sendirian, dia mengajak beberapa teman yang menunggu di depan jendela. Dan malam itu aku jadi bulan-bulanan nafsu kumpulan binatang jalang. Aku seperti seonggok kain lusuh yang dikoyak, diperas, dan dipilin hingga habis. Aku tak sadarkan diri karena tak kuat menanggung rasa sakit dan perih. Baru esok pagi aku terjaga dengan luka yang tak bisa terlukiskan.

            Hampir saja kucabut nyawa dalam badan dan kuakhiri riwayat yang hina ini, jika tak ingat siapa yang mengurus Ibu nanti. Hari-hari kujalani seperti kepompong yang lebih suka mengurung diri dalam ruang gelap dan sunyi. Aku tak sanggup lagi memandang dunia. Aku trauma dan ngeri jika bertemu orang-orang itu. Kesehariannya mereka memperlihatkan sosok alim, berwibawa, dan terhormat. Tapi di mataku, mereka tak ubahnya kotoran berjalan. Mereka kumpulan iblis laknat!

            Meski aku sudah berusaha menyembunyikan aib ini di hadapan Ibu, tapi mata tajam wanita malang itu seperti bisa membaca apa yang terjadi padaku. Apalagi melihat perubahan pada tubuhku. Sesuatu yang asing seperti mengisi perutku dan menimbulkan benjolan baru. Ibu mendesakku untuk mengemukakan apa yang terjadi. Dengan perasaan berat akhirnya kuceritakan apa yang kualami melalui bahasa isyarat. Ibu menangis dan tergugu pilu. Tapi wanita itu segera bisa menguasai diri. Beliau mencoba menghibur dan menguatkan jiwaku.

            Tak kuduga Ibu tidak memintaku menggugurkan kandungan. Beliau malah memintaku memelihara janin tak berdosa ini. Ibu melarangku keluar rumah, kecuali untuk keperluan amat penting. Dia juga memintaku memakai baju kurung untuk menyembunyikan kehamilanku. Ketika usia kandungan sudah mendekati sembilan bulan, ibu mengajakku mengungsi ke sebuah tempat yang jauh dan terpencil. Aku melahirkan dengan lancar dibantu seorang bidan desa.

            Rasa syukur bercampur lega menyelimuti hatiku saat bayi itu lahir. Tapi rasa pahit dan getir juga menyodok ulu hati tatkala sadar anak itu tak memiliki ayah. Bagaimana aku bisa menentukan siapa ayah kandungnya, karena aku tak tahu dari benih siapa. Ada enam lelaki yang menyetubuhiku. Tentu tak mungkin menyebut mereka semua bapak kandung anak ini. Maka, seperti saran Ibu, aku lalu membawa bayi itu pulang dan meletakkan di dalam masjid. Biar Tuhan yang berhak menentukan siapa ayah bayi malang ini.

            Aku sadar, jika aku masih memelihara bayi ini, cemoohan dan cacian sudah pasti akan berhamburan seperti peluru. Boleh jadi orang-orang di kampung ini akan mengusirku. Kalau pun aku bisa bicara dan menunjuk siapa orang-orang yang telah menghamiliku, mereka belum tentu akan percaya. Bagaimana mungkin orang-orang yang sangat mereka hormati dan alim itu tega berbuat serendah itu? Aku bisa dituduh memfitnah! Mencemarkan nama baik! Keadilan di negeri ini belum berlaku buat orang lemah dan teraniaya seperti diriku.

            Maka, satu-satunya jalan adalah meletakkannya di dalam masjid dengan harapan ada yang mau mengambilnya. Aku tak ingin anak malang itu mengalami nasib seperti diriku, tersia-sia dan terhina. Harapanku dikabulkan Tuhan, ibu-ibu itu begitu antusias ingin memelihara bayiku. Mereka mencintai bayiku. Hatiku senang sekaligus getir. Ingin sekali kukatakan pada mereka bahwa bayi itu adalah anak suami mereka. Tapi… ah, bagaimana cara menyampaikannya karena aku tak bisa bicara. Lagi pula, belum tentu mereka percaya! (*)

Ikuti tulisan menarik Eko Hartono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB