x

cover cerpen sampah

Iklan

Eko Hartono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Selasa, 30 November 2021 23:10 WIB

Sampah Kota

Mimpi seorang pemulung sampah menjadi orang kaya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Bersama datangnya malam lampu-lampu menyala terang, menyirami setiap sudut kota dengan cahaya. Tak ada lagi ruang tersisa untuk kegelapan. Bahkan di kolong fly over tempat tinggal para pengemis dan kaum tuna wisma. Entah, dari mana mereka mendapatkan aliran listrik sehingga gubuk reot mereka yang terbuat dari seng dan tripleks menjadi terang benderang.

            Tapi tak ada yang aneh dan ganjil selama uang berbicara. Ya, segala sesuatu bisa diatur bila ada uang. Semua hal di kota ukurannya adalah uang. Makan, minum, tidur, mandi, bahkan bertanya saja butuh uang. Tak percaya? Tengok saja pengalaman Rahmat. Saat pertama menginjak kaki di ibukota, Rahmat dihadapkan kebingungan mencari sebuah alamat.

            Dia bertanya pada setiap orang yang ditemuinya di jalan, tapi mereka selalu menjawab dengan gelengan kepala. Giliran ada yang tahu tempatnya, orang itu memberi isyarat dengan jemari tangannya. Maksudnya, mau bayar berapa jika sudah diberitahu? Rahmat menelan ludah, pahit. Dia baru tahu bila uang menguasai hidup orang kota. Kita tak bisa berbuat apa-apa tanpa uang. Siapa punya banyak uang, dialah yang jadi penguasa atau majikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Adalah uang yang menyebabkan Rahmat pergi ke kota. Kata orang-orang, mencari uang di kota lebih mudah. Pekerjaan apa saja tersedia, bahkan sekadar jadi pengemis atau pengamen. Tak butuh pendidikan tinggi, cukup mengandalkan keberanian dan tenaga. Tapi uang yang didapat tentu saja tak sebesar yang bekerja di balik meja. Dan ini yang kemudian memunculkan kelas sosial di kota.

            Ada kelas atas yang terdiri dari orang-orang kaya raya, kelas menengah yang terdiri dari para pegawai atau pekerja kantor, dan kelas bawah yang terdiri dari para pekerja kasar. Tempat tinggal dan lingkungan tiap kelas pun berbeda. Kelas atas tinggal di perumahan elite atau apartemen, kelas menengah tinggal di pemukiman setaraf perumnas, sementara kelas bawah tinggal di daerah pinggiran atau kawasan kumuh.

            Karena tak punya uang, Rahmat hanya bisa tinggal di gubuk reot. Gubuk yang mirip kandang kambing di kampungnya. Tak ada perabotan di dalamnya. Hanya ada selembar tikar di lantai sekadar alas tidur. Sebuah tas berisi pakaian teronggok di sudut. Tumpukan kardus dan beberapa barang rongsokan memenuhi kamar seluas dua kali tiga meter. Itulah harta berharga Rahmat.

            Hari-hari Rahmat bergelut dengan sampah, mencari barang-barang bekas atau rongsokan yang bisa ditukar dengan uang. Pekerjaan itu sudah lima tahun ini digelutinya. Dulu, sebelum jadi pemulung, dia pernah menjadi pekerja bangunan. Tapi hanya sebentar dijalaninya, karena merasa sangat berat. Sudah lelah bekerja masih diomeli mandor. Akhirnya, Rahmat banting setir menjadi pemulung.

***

            Siang itu seperti biasa Rahmat berjibaku di tengah gunungan sampah yang makin hari bertambah tinggi. Orang-orang kota seakan tak henti memproduksi sampah. Sementara lahan untuk pembuangan sampah tak mampu lagi menampung limpahan sampah. Usaha pembuatan kantong-kantong sampah baru selalu mendapat penentangan warga. Sebab, pembuatan TPA berdekatan dengan pemukiman warga. Mereka tak mau terkontaminasi dan terpolusi oleh sampah!

            Sementara bagi kaum pemulung, sampah adalah sumber kehidupan. Dari sampah mereka bisa menghidupi keluarga. Semakin banyak sampah, terutama sampah kertas dan plastik, maka makin besar uang didapatkan. Bau anyir sampah dan ancaman penyakit bukan momok bagi mereka. Hidung mereka sudah cukup kebal mencium aroma tak sedap, bahkan tubuh mereka imun dari serangan penyakit. Lalat dan aneka macam kuman tak mampu melumpuhkan mereka.

            Sudah setengah hari keranjang yang dipanggul Rahmat belum juga penuh. Laki-laki itu terus mengobrak-abrik tumpukan sampah dengan gancu. Mencari benda-benda yang punya nilai jual. Keringat berlelehan di dahinya. Padahal ia sudah memakai topi untuk melindungi kepalanya dari sengatan matahari. Sambil mengais sampah, pikiran Rahmat mengembara ke kampung halaman. Wajah istri dan dua orang anaknya terbayang di pelupuk mata.

            Kemarin Ratmi, istrinya, menelepon melalui handphone tetangga yang ditujukan ke nomer milik rekan Rahmat.

            “Kang, jika kita tidak segera membayar hutang sama juragan Danu, rumah kita bakal disita,” demikian katanya mengadu.

            “Bilang sama juragan Danu, sebulan lagi aku pasti kirimkan uangnya,” jawab Rahmat berjanji.

            “Sudah berapa kali sampeyan bilang begitu. Dari dulu sampeyan selalu bilang sebulan lagi, tapi mana buktinya?”

            “Usahaku lagi seret, Mi. Cari uang sekarang sulit!”

            “Aku tak mau mendengar banyak alasan, Kang. Yang penting cepat usahakan. Sampeyan tega melihat kami harus jadi gelandangan? Tak punya tempat berteduh lagi?”

            Rahmat tertegun. Hatinya kelu setiap kali diingatkan tentang hutangnya sama juragan Danu. Beberapa tahun lalu Rahmat meminjam uang kepada juragan Danu sebesar dua juta rupiah untuk biaya berobat anaknya yang terkena demam berdarah. Pinjaman dengan bunga sepuluh persen tiap bulannya. Karena miskin Rahmat tak mampu membayar, bahkan sekadar mencicil bunganya.

            Kini, pinjaman itu telah membengkak menjadi lima juta rupiah, karena bunga yang tak terbayar ditambahkan menjadi pokok pinjaman. Beginilah beratnya hidup dalam cengkeraman rentenir. Kenyataan ini pula yang mendorong Rahmat pergi ke Jakarta, berharap bisa mencari uang lebih banyak. Sebab, pekerjaan sebagai buruh tani di kampung tak menjanjikan apa-apa.

            Namun sudah berjalan lima tahun Rahmat tak juga mampu melunasi hutangnya. Penghasilannya sebagai pemulung hanya cukup untuk menghidupi anak istrinya di kampung. Bahkan tiga kali lebaran dia tidak pulang kampung karena tak punya uang.  

            “Pokoknya, kalau dalam minggu ini sampeyan tidak segera melunasi, kita akan menyusul sampeyan. Biar kita semua jadi gelandangan di Jakarta!” tandas Ratmi bernada mengancam.

            Rahmat jadi pusing bukan main. Ke mana mencari uang sebanyak itu? Ngerampok? Batinnya kelu.

            Sreek…! Ujung gancu Rahmat nyangkut pada bungkusan plastik berwarna hitam di sela tumpukan sampah. Rahmat penasaran melihat bungkusan tas kresek cukup besar itu. Tangannya terulur, mengangkat bungkusan yang cukup berat. Dibukanya temali pada ujung tas plastik, ingin tahu apa isinya. Biasanya bungkusan tas kresek begini berisi makanan sisa.

            Tapi yang ini berisi… astaga! Mata Rahmat terbelalak lebar. Rasanya dia tak percaya. Untuk beberapa saat dia termangu-mangu, tapi sejurus kemudian gugup dan tegang. Sejenak Rahmat tengok kanan kiri, memastikan tidak ada yang melihat. Dia kemudian melemparkan bungkusan itu ke dalam keranjang dan bergegas pergi dari tempat itu.

            Rahmat tak mau mengambil resiko. Dia membawa bungkusan itu ke dalam gubuknya. Setelah memastikan pintu dan jendela kamar terkunci rapat, Rahmat kembali membuka bungkusan itu. Dia bisa merasakan kedua tangannya gemetar dan degub jantungnya berdetak kencang. Seumur-umur baru kali ini dia melihat uang sebanyak ini.

            Ya, bungkusan itu berisi tumpukan uang kertas pecahan seratusribu rupiah yang sangat banyak! Rahmat bahkan memastikan jumlahnya ratusan juta rupiah! Wow!

            Tapi Rahmat masih sangsi dengan uang yang ditemukannya ini. Mungkin ini cuma uang palsu. Atau uang hasil rampokan. Tapi bagaimana bisa ada di tumpukan sampah? Mungkin tidak sengaja terbuang di bak sampah. Atau sengaja disembunyikan di tumpukan sampah untuk mengelabui orang. Apa pun alasannya, yang jelas pemilik uang ini tentu sekarang sedang kebingungan mencarinya.

            Tanpa pikir panjang Rahmat membawa uang itu pulang ke kampung halaman. Ia terus mendekap tasnya selama dalam perjalanan. Tak ada satu pun penumpang bus sadar bila salah seorang dari mereka membawa uang ratusan juta rupiah. Sesampai di rumah Rahmat segera memperlihatkan uang itu kepada istrinya. Perempuan itu langsung pingsan dibuatnya!

            Rahmat bukan saja mampu melunasi hutangnya pada juragan Danu, bahkan dia bisa membangun rumah, membeli mobil, perabotan mewah, sawah, dan membuka toko. Para tetangga menjadi takjub melihat perubahan yang terjadi pada keluarga Rahmat. Mereka bertanya-tanya, bagaimana Rahmat bisa kaya mendadak? Dari mana uang didapatkannya? Kerja apa dia di kota?

            Rahmat tak menggubris semua gunjingan itu. Dia sudah meminta istrinya untuk merahasiakan dari mana ia mendapatkan banyak uang. Jika ditanya orang, bilang saja di kota suaminya bekerja sebagai kontraktor dan menang tender. Toh, orang-orang di kampung tak ada yang tahu dirinya menjadi pemulung selama di kota. Rahmat berhasil menangkis semua kecurigaan orang.

            Kini Rahmat menasbihkan diri menjadi orang terkaya di kampungnya. Bahkan kekayaannya mengalahkan juragan Danu. Orang-orang pun menaruh rasa hormat dan segan padanya. Pameo bahwa uang bisa membuat seseorang menjadi raja terbukti benar. Dengan bermodal uang Rahmat bisa menguasai dan mempengaruhi orang lain.

            Di rumah Rahmat memiliki tiga orang pembantu, yang menyandang tugas berbeda-beda. Ada yang kebagian tugas mencuci, memasak, membersihkan rumah, dan melayani anggota keluarga. Sementara di toko Rahmat juga punya beberapa pegawai yang bekerja di bawah komandonya. Rahmat punya kuasa atas mereka semua. Ucapannya dipatuhi dan didengar mereka!

            Ah, betapa enaknya menjadi orang kaya, batinnya senang.

***

            “Hei, bangun! Bangun…!” Tiba-tiba terdengar suara lantang disertai dengan tendangan kaki yang amat keras.

            Rahmat yang masih enak-enakan tidur dan hanyut dalam mimpi langsung terjaga. Dia mengucek kedua matanya yang terasa lengket oleh belek. Dia mengangkat kepalanya, menatap laki-laki tinggi kekar dengan seragam Satpol PP yang berdiri di hadapannya. Nyali Rahmat langsung menciut. Rasanya belum begitu lama dia menikmati mimpi menjadi orang kaya.

            “Dasar, pemalas! Hari gini masih juga enak-enakan tidur dan ngimpi. Pantas saja kamu jadi gelandangan. Kerja dong, biar dapat duit dan punya rumah! Ayo, sekarang pergi dari sini! Gubuk ini mau dihancurkan!” hardik petugas berkumis tebal dan melintang sangar.

            Tanpa banyak protes Rahmat segera mengemasi barangnya dan pergi dari tempat itu. Dengan mata nanar dia hanya bisa memandang gubuknya dan beberapa gubuk lain yang ada di kawasan itu dilalap si jago merah. Asap hitam membumbung ke angkasa membawa sebagian mimpinya yang tertunda. Walau cuma mimpi Rahmat sangat menikmati menjadi orang kaya. Andai saja mimpi itu menjadi kenyataan? Andai saja aku benar-benar menemukan uang sangat banyak dalam tas kresek hitam di tengah tumpukan sampah? Andai…?

            Rahmat hanya bisa berandai-andai. Dengan langkah gontai dia kemudian menyusuri jalanan yang panas dan berdebu. Tak ada kamus andai dalam hidupnya. Yang ada hanyalah kenyataan yang harus dihadapi. Seperti kenyataan bahwa istri dan anak-anaknya sebentar lagi akan datang bergabung bersamanya. Menjadi gelandangan di kota. Memulung sampah sebagai sumber penghidupan mereka. Pahit memang dirasakan!

            Namun setidaknya keberadaan mereka membantu meringankan beban kota yang tiap hari dijejali sampah! (*)

 

Ikuti tulisan menarik Eko Hartono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu