x

Bunga Senja

Iklan

Nasywa Nathania

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Rabu, 1 Desember 2021 21:46 WIB

JARKONI

Cerita Pendek

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jarkoni

Karya : Nasywa Nathania

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cepat sekali rasanya waktu berlalu. Tidak terasa kini aku sudah duduk di bangku SMA. Jujur saat awal masuk sekolah rasanya begitu malas, karena harus adaptasi dengan lingkungan baru. Mulai dari bertemu teman baru, guru baru, dan mengenal sekeliling yang masih terasa asing. Mau, tak mau semua hal itu harus aku lewati. Selalu seperti ini rasanya ketika aku menginjakkan kaki di tingkat sekolah yang lebih tinggi, malas dan pasti menangis. Orang tua ku sudah tidak kaget dengan hal itu, tetapi mereka selalu memberi semangat kepadaku. Menyadari bahwa kini aku sudah remaja, tentunya harus ada perubahan, dan aku mencoba untuk lebih cepat beradaptasi walaupun tak mudah dilakukan. 

Beberapa minggu kemudian aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan sebagai siswa SMA. Berangkat sekolah pagi hari, belajar, istirahat, salat zuhur, lalu pulang sore. Hari demi hari tetap ku nikmati, memperhatikan teman-teman untuk saling lebih mengerti. 

Sampai suatu ketika, aku mendapati beberapa teman kelasku saat istirahat kedua waktunya salat zuhur, mereka asik bercengkrama atau jajan ke kantin. Dalam hatiku bertanya-tanya, apakah mereka sedang tidak sholat atau sengaja tidak mengerjakannya? Tetapi aku masih positif thinking, mungkin saja mereka sedang berhalangan. Aneh rasanya hampir setiap hari melihat teman-teman pada saat waktunya salat zuhur malah asik santai-santai tidak salat. Tepat di koridor sekolah, searah menuju masjid, aku bertemu dengan teman kelas yang paling menjadi perhatianku yaitu Putri, Yuni, dan Ayu, tak ada salahnya jika aku menyapa dan mengajak untuk salat bersama. 

“ Hai guyss, lagi ngapain? Sholat dulu yuk, dah adzan.” ajakku kepada Putri, Yuni dan Ayu.

“ Hai, duluan aja.” jawab Putri padaku, diikuti senyuman dari Yuni dan Ayu. 

“ Oo ya udah deh, duluan yaa..” 

Seminggu kemudian aku masih mendapati perilaku yang sama dari mereka. Masih belum melaksanakan kewajibannya, membuatku merasa geram, apa si susahnya salat. Hampir setiap hari aku mengajak untuk beribadah, tapi tetap saja hasilnya masih sama, mereka hanya mengiyakan tetapi tidak mengerjakan kewajibannya sampai waktu pulang sekolah tiba. Hingga pada akhirnya aku mengetahui alasan mereka menunda salat sampai berani meninggalkannya yaitu karena asik bermain handphone dan chattingan bersama kekasihnya masing-masing.

Ya, wajar saja anak SMA pastinya tidak asing dengan hal percintaan, biasanya banyak cinta tumbuh pada saat SMA. Begitu pula dengan beberapa temanku yang sudah memiliki kekasih atau yang lebih dikenal dengan pacar. Aku mulai berpikir kembali, dalam Islam tidak ada pacaran dan tidak boleh melakukannya. Melihat tingkah teman-temanku yang seperti itu aku berinisiatif untuk menasehati dengan harapan agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik. 

Pada waktu istirahat pertama, ada beberapa temanku yang sedang bergerombol, asik berbicara dan fokus ke handphone masing-masing. Disana ada Putri, Ayu, Yuni, dan Aria, atau biasanya banyak yang menyebut dengan geng PAYA. 

“ Hai, lagi ngapain nih, asik amat ngobrol sama main hp nya.” Sapaku kepada teman teman.

“ Ya, gini deh lagi liatin foto cogan. Btw kamu tau ga sii?” jawab Ayu. 

“ Tau apa emangnya?” tanyaku penasaran.

“ Ih kamu kok kudet banget hahaha, ada yang baru jadian nih temen kita, keliatan banget kan yang mukanya bahagia gituu.” jelas Ayu padaku.

“ Wihh, bukannya kalian udah punya pacar semua ya?” 

“ Ya gini lah, jadi malu jawabnya. Tinggal kamu aja nih yang masih jomblo.” jawaban dari Aria membuat pipi ku merah, semua temanku tertawa.

“ Eh temen temen, bukannya pacaran tuh ga boleh ya? Lebih baik memperbaiki diri aja gituu.” aku mencoba mulai menasehati mereka.

“ Apaan si, iri tuh bilang aja,” jawab Aria dengan tatapan sinis. 

“ Ini kan suasanya lagi happy, please dong jangan bikin suasananya berubah jadi ruyam.  Kamu ngerti kan apa maksudku?” tanya Putri ketus. 

“ Iya aku tau kok, maaf yaa.” jawabku pelan. 

Mendengar jawaban Aria dan Putri yang kurang menyenangkan, aku memutuskan untuk mengakhiri percakapan. Setiap hari tiada bosannya aku mengajak agar tetap beribadah dan menjauhi pacaran. Tetap saja hasilnya masih sama. GAGAL! 

Beberapa bulan kemudian sekolahku mengadakan perkemahan tahunan. Di sana rasa kekeluargaan terjalin hangat, pagi, siang, sore hingga malam selalu bersama-sama. Sampai suatu ketika hal yang tak ku duga, yang sama sekali tak aku harapkan, pada saat malam api unggun ternyata ada yang menyukaiku, dan pada saat itu juga dia menyatakan perasaanya kepadaku. Aku bingung, apakah ini yang disebut dengan cinta bersemi di bumi perkemahan? Aku tak tahu harus berbuat apa, terlena, padahal rasaku padanya belum jelas, tetapi sulit bagiku untuk menolak. Hingga pada akhirnya aku dan dia menjalin kasih, menunjukkan perhatian satu sama lain dan itu terjadi didepan umum. Aku tak tau apa yang sedang terjadi pada diriku, sungguh keadaan berubah 180 derajat. 

 Hingga suatu ketika pada saat pelajaran agama, pas sekali materinya hari itu tentang zina. Tentu saja itu menjadi santapan hangat untuk teman-temanku. Sampai dititik paling menegangkan adalah ketika beberapa temanku melontarkan pertanyaan ke ibu guru. 

“ Bagaimana ya Bu, jika ada orang yang suka menasehati untuk tidak berpacaran, katanya dosa, ehh malah dirinya sendiri berpacaran?” tanya seorang teman kelasku.

“ Bagaimana dengan amalan yang dia lakukan selama ini Bu? Yang setiap hari mengajak sholat, tetapi berpacaran.” pertanyaan yang terus bergulir.

“ Orang yang seperti itu harusnya di kasih nasehat apa Bu? Orang yang jarkoni (bisa mengajar tapi tidak bisa melakukan). ”

Hari itu sungguh membuat pikiranku tak karuan. Aku tahu siapa yang mereka tuju. Ya diriku sendiri, mereka mencoba untuk menyindir di depan umum bahkan sampai bertanya ke ibu guru. Hujatan dan cacian mereka yang hari demi hari semakin menjadi-jadi dan banyak yang menyebutku dengan panggilan sok suci. Tak berhenti sampai disitu, hal yang tidak menyenangkan pun mengahampiri silih berganti, terlebih lagi saat dihampiri oleh geng PAYA ( Putri, Ayu, Yuni, dan Aria) yang membuatku tambah down. 

“ Gimana mbak rasanya pacaran?” tanya Putri saat bel pulang sekolah.

“ Enak ga tuh? Upss!” dilanjutkan dengan lontaran pertanyaan dari Aria.

“ Gue kira orang kaya lo itu baik, suci gitu ya, ternyata busuk!” kata Ayu.  

“ Asal kalian tau yaa, aku ga seburuk yang kalian pikir. Aku nasehatin kalian biar lebih  baik aja udah ga lebih.” jawabku membela diri. 

“ Udah deh, ga usah pake aku kamu, ga usah sok suci, ga usah ngeles, jelas-jelas lo itu emang ga tau diri!” ucapan Yuni yang begitu ketus. 

“ Lo di rumah punya kaca ga si? Pliss ngaca dong! Kalo diri lo belum baik, ga usah deh repot-repot nasehatin orang lain.” ucapan Putri yang tak kalah mengiris hati. 

“ Tapi kan aku….” Belum sempat aku selesai bicara satu tamparan keras sudah     mendarat di pipiku. 

PLAKKKK! 

“ Kok ga sopan gitu, sampe nampar segala, apa si maksud kalian?” 

“ Biar lo sadar, biar lo tau diri kalo semua omongan lo itu bullshit!” ucap Yuni dengan tatapan melotot. 

Terasa sekali bahwa kejadian itu membuatku down dan tentu saja semangat sekolahku turun terlebih lagi saat teman-teman menjauhiku. Tak tahu harus bercerita dengan siapa, rasanya ingin pergi jauh dan menghilang. Tetapi aku tidak bisa lari dari kenyataan. Berangkat sampai pulang sekolah yang dirasa hanya kesedihan dan malu. Bingung harus bagaimana, pikiranku sangat kacau. 

Beberapa hari kemudian, ketika aku baru pulang sekolah, sampai di rumah dikejutkan saat membuka handphone, teman sebangkuku mengirimkan gambar yaitu foto pacarku yang ternyata berpacaran dengan orang lain. Tak menyangka cobaan kali ini bertubi-tubi menghampiriku. Sudah dinilai jelek oleh teman sekelas, kini ditipu oleh cinta palsu. Rasanya hancur sekali. Aku memang salah seharusnya tak terlalu ikut campur dan peduli dengan urusan orang lain sehingga aku tak melupakan diriku sendiri. Aku tak perlu menasehati mereka jika aku juga melakukan hal yang sama. 

Saat itulah aku tahu bahwa urusan setiap hamba terhadap Tuhannya adalah urusan masing-masing. Mengajak kebaikan memang tidak di larang, tetapi jika hati belum terbuka untuk beribadah memang rasanya sulit. Aku sadar bahwa aku memang salah, pantas saja jika aku dijuluki sok suci dan jarkoni. Setelah itu, aku mulai berpikir bagaimana caranya memperbaiki diri. 

Hal pertama yang aku lakukan untuk memperbaiki diri adalah dengan cara memperbaiki sholatku, dari situlah aku mendapat petunjuk untuk meminta maaf. Keesokan harinya, aku bertemu dengan teman-teman yang biasa aku nasehati setiap harinya yaitu geng PAYA (Putri, Ayu, Yuni, dan Aria). 

“ Permisi, hai teman-teman, ” sapaku canggung kepada mereka. 

“ Eh sok suci, ada apa lagi? Mau nasehatin kita? ” jawaban dari Putri yang sangat tidak menyenangkan, tetapi aku mencoba untuk sabar. 

“ Aku kesini bukan mau menasehati kalian lagi, aku minta maaf ya, kalau selama ini aku banyak salah, terlalu ikut campur dalam urusan kalian, apalagi soal ibadah. Tolong maafin aku ya.” 

“ Oo jadi mau minta maaf, hemm gimana ya?” jawab Ayu.

“ Aku janji ga akan ganggu kalian lagi, jadi tolong maafin aku.”

“ Beneran ga akan ganggu kita lagi?” tanya Aria serius. 

“ Iya beneran, ga akan ganggu dan nasehatin kalian lagi.”

“ Oke kalo gitu bagus deh, kita maafin. Tapi lo ngga boleh kepo atau ngurusin kehidupan kita lagi, perbaiki diri sendiri sebelum ingin memperbaiki orang lain ya.” jawab Yuni dengan sedikit senyum. 

“ Iya, terima kasih yaa, sekali lagi aku minta maaf. ” 

“ Iyaa.” jawab mereka bersamaan. 

Akhirnya hatiku merasa lega, mungkin sekarang waktu yang tepat untuk lebih memperbaiki diri dan tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Semoga aku tak mengulangi lagi kejadian dan kesalahan yang sama. 

 

 

 

Jarkoni
Nasywa Nathania

Cepat sekali rasanya waktu berlalu. Tidak terasa kini aku sudah duduk di bangku SMA. Jujur saat awal masuk sekolah rasanya begitu malas, karena harus adaptasi dengan lingkungan baru. Mulai dari bertemu teman baru, guru baru, dan mengenal sekeliling yang masih terasa asing. Mau, tak mau semua hal itu harus aku lewati. Selalu seperti ini rasanya ketika aku menginjakkan kaki di tingkat sekolah yang lebih tinggi, malas dan pasti menangis. Orang tua ku sudah tidak kaget dengan hal itu, tetapi mereka selalu memberi semangat kepadaku. Menyadari bahwa kini aku sudah remaja, tentunya harus ada perubahan, dan aku mencoba untuk lebih cepat beradaptasi walaupun tak mudah dilakukan. 
Beberapa minggu kemudian aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan sebagai siswa SMA. Berangkat sekolah pagi hari, belajar, istirahat, salat zuhur, lalu pulang sore. Hari demi hari tetap ku nikmati, memperhatikan teman-teman untuk saling lebih mengerti. 
Sampai suatu ketika, aku mendapati beberapa teman kelasku saat istirahat kedua waktunya salat zuhur, mereka asik bercengkrama atau jajan ke kantin. Dalam hatiku bertanya-tanya, apakah mereka sedang tidak sholat atau sengaja tidak mengerjakannya? Tetapi aku masih positif thinking, mungkin saja mereka sedang berhalangan. Aneh rasanya hampir setiap hari melihat teman-teman pada saat waktunya salat zuhur malah asik santai-santai tidak salat. Tepat di koridor sekolah, searah menuju masjid, aku bertemu dengan teman kelas yang paling menjadi perhatianku yaitu Putri, Yuni, dan Ayu, tak ada salahnya jika aku menyapa dan mengajak untuk salat bersama. 
“ Hai guyss, lagi ngapain? Sholat dulu yuk, dah adzan.” ajakku kepada Putri, Yuni dan Ayu.
“ Hai, duluan aja.” jawab Putri padaku, diikuti senyuman dari Yuni dan Ayu. 
“ Oo ya udah deh, duluan yaa..” 
Seminggu kemudian aku masih mendapati perilaku yang sama dari mereka. Masih belum melaksanakan kewajibannya, membuatku merasa geram, apa si susahnya salat. Hampir setiap hari aku mengajak untuk beribadah, tapi tetap saja hasilnya masih sama, mereka hanya mengiyakan tetapi tidak mengerjakan kewajibannya sampai waktu pulang sekolah tiba. Hingga pada akhirnya aku mengetahui alasan mereka menunda salat sampai berani meninggalkannya yaitu karena asik bermain handphone dan chattingan bersama kekasihnya masing-masing.
Ya, wajar saja anak SMA pastinya tidak asing dengan hal percintaan, biasanya banyak cinta tumbuh pada saat SMA. Begitu pula dengan beberapa temanku yang sudah memiliki kekasih atau yang lebih dikenal dengan pacar. Aku mulai berpikir kembali, dalam Islam tidak ada pacaran dan tidak boleh melakukannya. Melihat tingkah teman-temanku yang seperti itu aku berinisiatif untuk menasehati dengan harapan agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik. 
Pada waktu istirahat pertama, ada beberapa temanku yang sedang bergerombol, asik berbicara dan fokus ke handphone masing-masing. Disana ada Putri, Ayu, Yuni, dan Aria, atau biasanya banyak yang menyebut dengan geng PAYA. 
“ Hai, lagi ngapain nih, asik amat ngobrol sama main hp nya.” Sapaku kepada teman teman.
“ Ya, gini deh lagi liatin foto cogan. Btw kamu tau ga sii?” jawab Ayu. 
“ Tau apa emangnya?” tanyaku penasaran.
“ Ih kamu kok kudet banget hahaha, ada yang baru jadian nih temen kita, keliatan banget kan yang mukanya bahagia gituu.” jelas Ayu padaku.
“ Wihh, bukannya kalian udah punya pacar semua ya?” 
“ Ya gini lah, jadi malu jawabnya. Tinggal kamu aja nih yang masih jomblo.” jawaban dari Aria membuat pipi ku merah, semua temanku tertawa.
“ Eh temen temen, bukannya pacaran tuh ga boleh ya? Lebih baik memperbaiki diri aja gituu.” aku mencoba mulai menasehati mereka.
“ Apaan si, iri tuh bilang aja,” jawab Aria dengan tatapan sinis. 
“ Ini kan suasanya lagi happy, please dong jangan bikin suasananya berubah jadi ruyam.  Kamu ngerti kan apa maksudku?” tanya Putri ketus. 
“ Iya aku tau kok, maaf yaa.” jawabku pelan. 
Mendengar jawaban Aria dan Putri yang kurang menyenangkan, aku memutuskan untuk mengakhiri percakapan. Setiap hari tiada bosannya aku mengajak agar tetap beribadah dan menjauhi pacaran. Tetap saja hasilnya masih sama. GAGAL! 
Beberapa bulan kemudian sekolahku mengadakan perkemahan tahunan. Di sana rasa kekeluargaan terjalin hangat, pagi, siang, sore hingga malam selalu bersama-sama. Sampai suatu ketika hal yang tak ku duga, yang sama sekali tak aku harapkan, pada saat malam api unggun ternyata ada yang menyukaiku, dan pada saat itu juga dia menyatakan perasaanya kepadaku. Aku bingung, apakah ini yang disebut dengan cinta bersemi di bumi perkemahan? Aku tak tahu harus berbuat apa, terlena, padahal rasaku padanya belum jelas, tetapi sulit bagiku untuk menolak. Hingga pada akhirnya aku dan dia menjalin kasih, menunjukkan perhatian satu sama lain dan itu terjadi didepan umum. Aku tak tau apa yang sedang terjadi pada diriku, sungguh keadaan berubah 180 derajat. 
 Hingga suatu ketika pada saat pelajaran agama, pas sekali materinya hari itu tentang zina. Tentu saja itu menjadi santapan hangat untuk teman-temanku. Sampai dititik paling menegangkan adalah ketika beberapa temanku melontarkan pertanyaan ke ibu guru. 
“ Bagaimana ya Bu, jika ada orang yang suka menasehati untuk tidak berpacaran, katanya dosa, ehh malah dirinya sendiri berpacaran?” tanya seorang teman kelasku.
“ Bagaimana dengan amalan yang dia lakukan selama ini Bu? Yang setiap hari mengajak sholat, tetapi berpacaran.” pertanyaan yang terus bergulir.
“ Orang yang seperti itu harusnya di kasih nasehat apa Bu? Orang yang jarkoni (bisa mengajar tapi tidak bisa melakukan). ”
Hari itu sungguh membuat pikiranku tak karuan. Aku tahu siapa yang mereka tuju. Ya diriku sendiri, mereka mencoba untuk menyindir di depan umum bahkan sampai bertanya ke ibu guru. Hujatan dan cacian mereka yang hari demi hari semakin menjadi-jadi dan banyak yang menyebutku dengan panggilan sok suci. Tak berhenti sampai disitu, hal yang tidak menyenangkan pun mengahampiri silih berganti, terlebih lagi saat dihampiri oleh geng PAYA ( Putri, Ayu, Yuni, dan Aria) yang membuatku tambah down. 
“ Gimana mbak rasanya pacaran?” tanya Putri saat bel pulang sekolah.
“ Enak ga tuh? Upss!” dilanjutkan dengan lontaran pertanyaan dari Aria.
“ Gue kira orang kaya lo itu baik, suci gitu ya, ternyata busuk!” kata Ayu.  
“ Asal kalian tau yaa, aku ga seburuk yang kalian pikir. Aku nasehatin kalian biar lebih  baik aja udah ga lebih.” jawabku membela diri. 
“ Udah deh, ga usah pake aku kamu, ga usah sok suci, ga usah ngeles, jelas-jelas lo itu emang ga tau diri!” ucapan Yuni yang begitu ketus. 
“ Lo di rumah punya kaca ga si? Pliss ngaca dong! Kalo diri lo belum baik, ga usah deh repot-repot nasehatin orang lain.” ucapan Putri yang tak kalah mengiris hati. 
“ Tapi kan aku….” Belum sempat aku selesai bicara satu tamparan keras sudah     mendarat di pipiku. 
PLAKKKK! 
“ Kok ga sopan gitu, sampe nampar segala, apa si maksud kalian?” 
“ Biar lo sadar, biar lo tau diri kalo semua omongan lo itu bullshit!” ucap Yuni dengan tatapan melotot. 
Terasa sekali bahwa kejadian itu membuatku down dan tentu saja semangat sekolahku turun terlebih lagi saat teman-teman menjauhiku. Tak tahu harus bercerita dengan siapa, rasanya ingin pergi jauh dan menghilang. Tetapi aku tidak bisa lari dari kenyataan. Berangkat sampai pulang sekolah yang dirasa hanya kesedihan dan malu. Bingung harus bagaimana, pikiranku sangat kacau. 
Beberapa hari kemudian, ketika aku baru pulang sekolah, sampai di rumah dikejutkan saat membuka handphone, teman sebangkuku mengirimkan gambar yaitu foto pacarku yang ternyata berpacaran dengan orang lain. Tak menyangka cobaan kali ini bertubi-tubi menghampiriku. Sudah dinilai jelek oleh teman sekelas, kini ditipu oleh cinta palsu. Rasanya hancur sekali. Aku memang salah seharusnya tak terlalu ikut campur dan peduli dengan urusan orang lain sehingga aku tak melupakan diriku sendiri. Aku tak perlu menasehati mereka jika aku juga melakukan hal yang sama. 
Saat itulah aku tahu bahwa urusan setiap hamba terhadap Tuhannya adalah urusan masing-masing. Mengajak kebaikan memang tidak di larang, tetapi jika hati belum terbuka untuk beribadah memang rasanya sulit. Aku sadar bahwa aku memang salah, pantas saja jika aku dijuluki sok suci dan jarkoni. Setelah itu, aku mulai berpikir bagaimana caranya memperbaiki diri. 
Hal pertama yang aku lakukan untuk memperbaiki diri adalah dengan cara memperbaiki sholatku, dari situlah aku mendapat petunjuk untuk meminta maaf. Keesokan harinya, aku bertemu dengan teman-teman yang biasa aku nasehati setiap harinya yaitu geng PAYA (Putri, Ayu, Yuni, dan Aria). 
“ Permisi, hai teman-teman, ” sapaku canggung kepada mereka. 
“ Eh sok suci, ada apa lagi? Mau nasehatin kita? ” jawaban dari Putri yang sangat tidak menyenangkan, tetapi aku mencoba untuk sabar. 
“ Aku kesini bukan mau menasehati kalian lagi, aku minta maaf ya, kalau selama ini aku banyak salah, terlalu ikut campur dalam urusan kalian, apalagi soal ibadah. Tolong maafin aku ya.” 
“ Oo jadi mau minta maaf, hemm gimana ya?” jawab Ayu.
“ Aku janji ga akan ganggu kalian lagi, jadi tolong maafin aku.”
“ Beneran ga akan ganggu kita lagi?” tanya Aria serius. 
“ Iya beneran, ga akan ganggu dan nasehatin kalian lagi.”
“ Oke kalo gitu bagus deh, kita maafin. Tapi lo ngga boleh kepo atau ngurusin kehidupan kita lagi, perbaiki diri sendiri sebelum ingin memperbaiki orang lain ya.” jawab Yuni dengan sedikit senyum. 
“ Iya, terima kasih yaa, sekali lagi aku minta maaf. ” 
“ Iyaa.” jawab mereka bersamaan. 
Akhirnya hatiku merasa lega, mungkin sekarang waktu yang tepat untuk lebih memperbaiki diri dan tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Semoga aku tak mengulangi lagi kejadian dan kesalahan yang sama. 


 

Ikuti tulisan menarik Nasywa Nathania lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB