x

Iklan

ari gita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Sabtu, 4 Desember 2021 06:07 WIB

Kutukan Rimba Apo Luan

Jika engkau meneruskan perjalanan ke hulu, rimba Apo Luan menantimu dalam senyap. Sudah beberapa penjelajah lenyap.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mentari senja membiaskan berkas sinar pamungkasnya. Menghias bumantara dengan semburat jingga. Ketinting yang aku tumpangi melawan arus Sungai Kepuyan. Motoris susah payah mengarahkan laju perahu agar tak menghantam batu dan kayu.

Dengan susah payah, tibalah kami di dermaga kampung Long Serun. Kampung terakhir di daerah aliran Kepuyan. Tepat di tepi rimba Apo Luan. Enam jam berperahu dari puskesmas di hilir sana.

Jika engkau meneruskan perjalanan ke hulu, rimba Apo Luan menantimu dalam senyap. Sudah beberapa penjelajah lenyap. Demikian kisah tentang betapa keramatnya hutan Apo Luan yang kudengar dari beberapa motoris dan orang Long Serun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini bukan perjalanan perdanaku ke Long Serun. Dua bulan lalu, aku telah menjejakkan kakiku di kampung di pelosok Kalimantan Utara ini. Hanya saja, waktu itu aku tak sempat menginap. Sekadar observasi awal saja dari kampung ke kampung. Kali ini aku putuskan untuk bermalam.

“Pak Dokter, naiklah ke dermaga. Hati-hati. Licin jembatannya,” kata sang motoris perahu.

Aku mengangguk. Perlahan aku titi apa yang dia sebut sebagai jembatan itu. Sebatang kayu kelapa lapuk. Orang kampung sangat cepat menitinya, sedangkan aku lambat. Gemetaran pula!

Untunglah, aku berhasil melewati uji nyali itu. Tak berselang lama, datang sejumlah orang menyambutku di dermaga kampung.

“Selamat datang, Pak Dokter. Kita jumpa lagi,” sambut Uku Ubung, sang kepala kampung. Senyum mengembang di wajahnya. Ia mungkin mengira, aku kapok datang lagi setelah sakit perut gegara meminum pengasih pada kunjungan perdanaku.

Menurut adat Dayak di Long Serun, tetamu terhormat wajib meminum pengasih. Aku pun waktu itu minum. Tanpa pikir panjang bahwa ternyata pengasih itu tuak beras yang lumayan keras.

Uku Ubung belum tahu betapa dalamnya cintaku pada Borneo. Kutinggalkan Solo untuk mengabdi di Borneo sebagai dokter muda. Keputusan yang membuat papa dan mamaku geleng-geleng kepala. Toh, akhirnya mereka menerima juga.

Menjadi dokter di pedalaman adalah impianku sejak belia. Karena itu, aku mengiyakan tawaran untuk membantu Puskesmas di pedalaman Sungai Kepuyan setelah sempat setahun tugas di Tarakan.

Setiap dua minggu, aku susuri Sungai Kepuyan. Menjelajah kampung-kampung Dayak di kedua sisinya. Melayani pengobatan pada insan bersahaja yang terlupakan. Sungguh menantang sekaligus mengasyikkan!

Suatu hari, aku mengobati seorang pria di Long Baruan. Lelaki itu bilang, air keluar terus dari hidungnya. Ternyata, maksudnya ia sakit flu. Ketika aku beri obat pil, dia menolak.

“Pak Dokter, aku hanya mau disuntik. Pokoknya harus disuntik di pantat,” desaknya. Sambil menahan tawa, aku jelaskan bahwa suntikan bukan satu-satunya cara untuk sembuh.

*

Dua anak remaja ikut menyambut kami. Mereka membawakan tas berisi pakaian, makanan, dan obat-obatan yang aku bawa di perahu.

Kami menginap di rumah sang kepala kampung. Rumah lamin panjang yang kini telah disekat jadi tiga. Bagian hilir dihuni putri Uku Ubung. Bagian tengah Uku Ubung. Paling ujung untuk tetamu.

“Nanti kita makan sayur pakis buatan putri saya. Lauknya sen patin. Hanya itu yang bisa keluarga kami siapkan untuk Pak Dokter,” kata pria renta yang telah lama menduda itu.

“Tidak apa-apa, Uku Ubung. Yang penting jangan tawari saya pengasih lagi, ya,” candaku. Ia tergelak-gelak.

Sejurus kemudian, putri Uku Ubung datang membawa hidangan. Berteman cahaya lentera dan lilin, kami bersantap malam. Nikmat nian. Semacam candle light dinner ala pedalaman.

Selama makan, diam-diam aku mencuri pandang. Pada Inya, putri sang kepala kampung. Dia tampak malu-malu di hadapanku.

Setelah makan, karena kecapekan, aku segera pamit tidur. Suara jengkerik mengantarku tidur lelap.

*

“Tolong…tolong…Sapin mengamuk!” Aku terbangun kala mendengar teriakan warga kampung di pagi buta. Segera aku bangkit berdiri. Lewat sela-sela dinding kayu, aku mencoba melihat apa yang sedang terjadi.

Seorang pemuda membawa sebatang kayu. Matanya merah. Rambutnya tak terurus. Ia memukul-mukulkan kayu ke tangga rumah-rumah yang ia lewati.

Ia berhenti di depan tangga rumah. Tepat di depan bagian rumah yang ditinggali Uku Ubung. Ia meracau dalam bahasa daerah.

Uku Ubung membuka pintu. Dengan berani ia hadapi pemuda itu. Jantungku berdegup kencang. Apa jadinya jika pemuda itu menghantam Uku Ubung dengan kayu?

Uku Ubung komat-kamit merapal kata-kata yang tak kupahami maknanya. Sang kepala kampung merapal sembari memegang sebuah kalung yang ia keluarkan dari balik bajunya.

Anehnya, setelah mendengar rapal Uku Ubung, pemuda beringasi itu sontak terdiam.

Dua pria tetangga rumah mengendap-endap, mendekati si pemuda dari belakang. Mereka lantas meringkusnya. Pemuda itu meronta.

“Cepat ambil tali sebelum dia mengamuk lagi! Kita bawa dia kembali ke pondok pasungan!” seru salah satu dari dua lelaki itu pada orang-orang yang berdatangan.

“Tenang, Pak Dokter. Begitulah tabiat Sapin. Kalau mengamuk, hanya pada Uku saja ia tunduk,” tutur Uku Ubung setelah para pria berhasil mengikat Sapin dan membawanya ke pondok di ujung kampung.

“Kenapa bisa begitu, Uku?” selidikku.

“Karena…karena dia anak saya,” jawab Uku dengan suara parau.

Inya datang mendekati ayahnya. Ia memeluk Uku Ubung yang tertunduk sedih.

Inya yang selama ini irit bicara tetiba membuka pembicaraan. “Pak Dokter, Sapin kena kutukan. Seperti adik laki-lakiku yang meninggal dua tahun lalu.”

Aku terkejut. Aku baru tahu, Uku Ubung punya dua anak laki-laki. Aku pikir, Inya putri tunggalnya.

“Apa yang terjadi dengan adikmu, Inya?”

“Dulu dia dipasung di seberang sungai karena suka bikin onar. Suatu hari ia lepas dan ingin kembali ke kampung. Ia tewas tenggelam waktu menyeberangi sungai,” kenang Inya.

“Oh, lalu kenapa kamu katakan dua adikmu kena kutukan?”

Inya menghela nafas panjang.

“Orang-orang kampung bilang, keluarga kami kena kutukan hutan Apo Luan. Dulu kakek kami pernah tersesat di Apo Luan berbulan-bulan. Dia nekat mencari gaharu di dalamnya. Ketika pulang kampung, dia jadi linglung. Kelakuannya berubah. Suka mengamuk dan melukai orang. Akhirnya orang kampung memasung dia di seberang sungai sampai ia meninggal. Di pondok yang sama, adik kami dipasung,” kisahnya.

Aku tercenung. Mencoba mencerna apa yang terjadi.

“Inya, coba engkau pikir. Kalau benar itu kutukan, mengapa kamu dan ayahmu sehat-sehat saja?”

“Karena aku perempuan. Konon, kutukan hutan Apo Luan itu hanya untuk laki-laki saja yang nekat masuk hutan keramat itu. Ayahku luput mungkin karena dia nikah dengan bundaku yang punya kalung pusaka adat,” tutur gadis berpipi lesung itu.

“Inya, bukannya aku tak hormati kepercayaan di kampung ini. Menurutku, apa yang dialami kakek dan dua adikmu bukan karena kutukan. Aku kasihan pada Sapin. Tolong antar aku ke pondoknya,” pintaku.

*

Setelah mengantar ayahnya untuk beristirahat di kamar, Inya meluluskan permohonanku. Kami berjalan menuju pondok di bagian hilir kampung.  

Begitu melihatku tiba di pintu pondok, Sapin menatapku tajam. Kubalas dengan pandangan penuh welas.

Kakinya dipasung sehingga ia tak bisa bebas bergerak. Hanya tangan saja yang bebas ia gerakkan untuk makan dan minum.

“Inya, tolong terjemahkan pesanku. Bilang ke adikmu bahwa aku tidak ingin mengganggu. Cuma ingin mengobati luka-luka di tubuhnya,” bisikku pada Inya.

Sapin mengangguk setelah mendengar kata-kata Inya. Meski aroma tinja menguar di pondok itu, aku nekat mendekat untuk mengobatinya. Malang nian.

“Luhat…Luhat...ooo Luhat…” Sapin berbisik lirih. Aku tak paham maksudnya. Kubalikkan badanku. Meminta penjelasan pada Inya.

“Luhat itu adik kami yang meninggal,” kata Inya.

Mungkin karena sedih mendalam setelah kepergian Luhat, Sapin tenggelam dalam depresi akut. Begitu pikirku.

“Sapin orangnya pendiam, Pak Dokter. Setelah Luhat tenggelam, Sapin tidak mau bicara lagi,” kisah Inya.

Kulihat nasi dan sayur basi yang tak habis ia makan di dekat Sapin duduk meringkuk. Juga sebuah tempayan berisi air yang kuragukan kebersihannya. Setelah membebat luka-luka di kaki dan tangan Sapin, aku meninggalkan biskuit dan air botol bekalku.

“Inya, kita tidak bisa biarkan adikmu Sapin dipasung begini. Justru akan semakin parah kesedihannya. Kita harus bicara dengan ayahmu. Sapin perlu perawatan di Tarakan,” jelasku.

Inya mengangguk. Kami beranjak pulang ke rumah lamin. Ketika aku menuruni tangga pondok pasungan, datang sesosok pria renta.

“Uku Ubung, sudah baikan? Kenapa menyusul kami?” tanyaku.

Ia tak segera menjawab. Air matanya menetes.

“Pak Dokter, ini semua salah Uku. Uku dulu suka pukul Sapin dan Luhat. Mereka nekat main ke hutan Apo Luan,” tuturnya penuh sesal.

“Sudahlah, Uku. Maksud Uku tentu baik waktu itu. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang kita upayakan perawatan untuk Sapin di Tarakan,” hiburku.

Uku Ubung mangggut-manggut, lantas melirik pada putrinya.

“Inya setuju. Oh iya…bolehkah Inya ikut Pak Dokter ke Tarakan, menemani Sapin?” pinta sang dara paramarta itu.

“Boleh, Inya. Aku punya satu permintaan untukmu dan Uku. Jangan panggil aku Pak Dokter. Panggil saja Anto.”

“Terima kasih, Kak Anto,” kata Inya sambil tersipu.

Angin segar tetiba bertiup dari hulu, dari rimba Apo Luan. Sepasang burung enggang berkaok riang di ketinggian. Berdendang untuk mentari pagi yang bersinar cerah di atas Long Serun.

***

Ari Gita, praktisi psikologi dan perangkai aksara

Berdasarkan kisah nyata. Tokoh dan nama tempat rekaan belaka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik ari gita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB