x

Iklan

Ria Amelia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 November 2021

Sabtu, 4 Desember 2021 19:33 WIB

Jaga Lingkungan dan Lingkungan akan Menjagamu

Menjaga lingkungan dimulai dari kepedulian, dari diri sendiri, dan dimulai dari sekarang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Klik...
Kubuka pintu menuju beranda memastikan suara yang kudengar di dalam kamar.  Ternyata benar, arus air sungai di seberang hotel sumbernya. Kudekap tubuhku dengan kedua tangan menikmati udara pagi yang sejuknya menembus tulang. Tubuhku yang lelah sebab rutinitas pekerjaan yang padat menggerus daya tahanku. Cuti adalah pilihan yang tepat melepas penat dan mengembalikan semangat.
Sebuah tisu tiba-tiba terbang melintas di hadapanku. Kucari sosok tak bertanggung jawab yang bisa-bisanya membuang sampah sembarangan.
Sosok itu tepat di atas sebelah kanan kamarku. Wajahnya tengah menengok ke arahku.
"Hei, si pembuang sampah sembarangan!" teriakku. Meskipun bukan aktivis lingkungan, video seorang teman tentang seekor paus yang mati sebab menelan sejumlah besar sampah plastik menggugah emosiku.
Laki-laki itu nampak tak senang. Aku tak peduli. Aku bergegas masuk kamar, tak hendak mendengarkan ocehan yang pasti tidak bermanfaat dari seorang tukang buang sampah sembarangan.
_
Baru saja hendak membuka pintu kamar untuk sarapan, suara ketukan mengagetkanku. 
Aku mengintip dari lubang kaca, wajah laki-laki tak kukenal memenuhi netra.
Klik…
“Ada yang bisa dibantu?” tanyaku penasaran. Aku seperti pernah melihat orang ini.
“Apa maksud perkataanmu tadi?” laki-laki itu menghardikku berpikir aku akan ketakutan.
“Oh, kau si pembuang sampah sembarangan,” ujarku menyunggingkan senyum sembari mengunci pintu kamar. 
Kutinggalkan laki-laki itu di belakang. Langkahku tertuju ke arah lift menuju lantai lima belas. Perut sudah keroncongan menunggu diisi.
Sepanjang jalan, aku teringat pada video paus yang menelan sampah dengan jumlah mengerikan. Sampah-sampah plastik itu telah mengganggu pencernaan paus dan berdampak pada kematian. Apa yang bisa kulakukan?
Kuhempaskan tubuhku di kursi. Segelas jus jambu telah berada di tangan. Setelah membaca doa, kusesap perlahan dan merasakan nikmat manisnya mengalir di dalam tenggorokanku. Baru saja hendak bangkit mengambil sarapan, laki-laki itu menarik kursi di hadapanku dan duduk di sana.
“Kita perlu bicara,” ujarnya singkat. Ucapannya tak kugubris, aku memilih berlalu menuju meja yang menyajikan bubur ayam.
Sekembali ke meja, laki-laki itu masih di sana. Dengan santainya ia menyantap nasi uduk di mejaku. Aku menghembuskan napas panjang.
Kami makan dalam diam. Suasana riuh ramah sekitar tidak berhasil menulari.
“Kamu jangan salah duga.” Pembicaraan serius kami bermula.
“Aku tak bermaksud membuang tisu itu,” jelasnya.
Tak kugubris. Penjara penuh apabila semua maling mengakui kesalahannya.
Laki-laki yang tak kukenal namanya itu bangkit sembari membawa botol reusable yang sedari tadi dibawanya. Kuperhatikan apa yang dilakukan laki-laki itu dari tempat dudukku. Ternyata ia sedang mengisi ulang air putih. Tak berapa laki-laki itu kembali dengan membawa sepiring buah potong.
“Buah?” tawarnya padaku.
Kulihat dua buat garpu telah disiapkannya. Keraguan menelusup. Haruskah kuterima tawarannya?
“Itu bukan tisuku.” Laki-laki itu kemudian mengambil salah satu garpu dan menusukkannya pada potongan semangka. Buah kesukaanku.
Mataku melotot padanya. Seulas senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Yah, kalau benar laki-laki itu jujur berarti dia telah menang. Dan aku kalah.
Aku mengikutinya mengambil garpu dan menusukkannya pada potongan melon. Malu untuk mengambil semangka.
“Aku mana tau kau jujur atau berdusta,” responku. “Apa peduliku pula,” kemudian mengunyah melon.
Laki-laki itu tertawa. Tawa yang gurih. Aku berpura-pura tak memedulikannya.
“Kita bisa berdiskusi lebih lanjut tentang program cinta lingkungan,” ujarnya meyakinkanku.
Aku menoleh sekali lagi pada laki-laki itu. Kali ini merasa seranganku padanya malah berbalik menyudutkanku.
“Oke. Aku mau tau sejauh mana kau paham tentang apa yang baru saja kau katakan,” aku tak mau kalah.
Sejujurnya aku juga tak terlalu mengerti seluk beluk sampah dan dampaknya terhadap lingkungan. Responku terhadap tisu yang jatuh tadi hanya spontan kulakukan sebab rasa dongkol terhadap oknum pencemar lingkungan.
"Berapa nomor ponselmu?" laki-laki itu bersiap mengetik.
Aku mulai gusar, khawatir tepatnya. Keisenganku menghardik seseorang ternyata berdampak panjang. Haruskah kuteruskan cerita ini?
Dengan cepat kuucap nomor ponselku. Hanya sekali. Berharap ada nomor yang terlewat olehnya. 
Tak lama berselang, laki-laki itu bangkit dan pamit. Seseorang sepertinya sedang menunggu di ujung telepon.
Aku menikmati kesendirianku. Kubuka ponsel dan mencari informasi terkait isu lingkungan yang berhubungan dengan pengolahan sampah plastik. Terbesit di benakku tidak lama lagi aku akan disidang terkait hal ini. Tidak ada salahnya berjaga-jaga.
Selepas sarapan, aku memutuskan menikmati panas pagi sembari berjalan santai di sekitaran hotel. Tepat di seberang hotel terdapat lokasi persawahan lengkap dengan sungai kecil dan taman bunga yang sudah dipersiapkan untuk dinikmati para pengunjung hotel. Beberapa pengunjung nampak mengabadikan momen di sana. Bahagia melihat semua orang berkumpul dan tertawa bersama, sedangkan aku memilih datang ke sini seorang diri. 
Sedang mengistirahatkan kaki sembari duduk di ayunan yang disediakan di sana, ada panggilan masuk di ponselku. Nomor tak kukenal membuat aku waswas menerimanya. 
Tak berapa lama, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.
Ternyata laki-laki si pembuang sampah yang tidak mengaku tadi. Ia berencana menyusul kemari. 
Huft…
Entah apakah aku harus senang atau terganggu. Selama ini terlalu nyaman dengan kesendirian membuat kehadiran orang lain saat ingin menutup diri terlalu mengganggu. Tetapi sosok yang kuhadapi ini sepertinya tak akan gampang menyerah. Kuputuskan menerima kehadirannya kali ini dan akan kusampaikan concern-ku untuk tak rela lagi liburanku diganggu.
Laki-laki itu tiba-tiba saja sudah berada di sebelahku, entah muncul dari mana. Aku terlalu sibuk membaca artikel terkait upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi sampah plastik. Segera kututup layar ponsel, malu terlihat olehnya.
“Sedang apa di sini?” pertanyaan basa-basi menurutku tetapi menunggu jawaban.
“Berjemur,” jawabku singkat.
Kuperhatikan dahinya berkerut. Tangan kanannya memasukkan ponsel ke dalam saku celana dan botol minum reusable berada di tangan kirinya. Laki-laki itu kini duduk di ayunan kosong sebelahku. Aku menduga pembicaraan kami akan membutuhkan waktu lama. 
“Namaku Ryan,” laki-laki itu memperkenalkan diri tanpa diminta. Tangan kanannya kini merogoh saku celana dan mengeluarkan sapu tangan. Warna kesukaanku. Disapukannya selembar kain berwarna biru tua itu ke dahinya yang baru kusadari nampak basah oleh keringat. Panas pagi ini memang begitu terik.
Lama Ryan terdiam, sepertinya menunggu responku. 
“Aku Sarah,” ujarku tanpa ditanya. Seolah yakin apa yang diharapkannya untuk kusampaikan.
“Oke, Sarah. Ada beberapa hal yang ingin kuperjelas.” Ryan memperbaiki duduknya. Seandainya ada popcorn, aku mungkin tak sungkan mengunyahnya. Sepertinya kuliah umum ini akan berlangsung tiga satuan kredit semester.
“Silakan, waktu dan tempat dipersilakan,” responku.”
“Seperti sudah kubilang sebelumnya, tisu itu bukan milikku. Bisa kau lihat, aku bahkan menggunakan sapu tangan.” Sebuah pembukaan yang meyakinkan.
“Lingkungan hidup juga menjadi concern-ku terutama masalah sampah plastik. Sebagaimana kita tau, sampah plastik merupakan jenis sampah anorganik yang butuh waktu bertahun-tahun untuk kemudian bisa hancur dan terurai sendiri.” Ryan tampak menggebu bercerita. Aku pun mulai tertarik menyimak kelanjutannya.
Kuhadapkan wajahku padanya. Laki-laki itu diam sejenak. Membuka tutup botol dan meneguk isinya.
"Salah satu hal sederhana yang bisa dilakukan untuk mengurangi sampah plastik adalah membawa botol minum sendiri," Ryan mengangkat botolnya seolah itu merupakan mahkota kebanggaannya.
Aku menciut, teringat teh botol yang kusimpan di dalam kamar. Bahkan sekadar air putih, aku merasa lebih praktis membeli air mineral ketimbang menenteng botol sendiri kemana-mana. Dulu kupikir harus mengisi botol minum dan mencucinya setiap hari hanya membuang waktu dan tenaga. Aku yang awalnya hendak mempermalukan laki-laki di hadapanku ini sekarang malah dibuat tak berkutik.
Keringat mengalir di pelipisnya. Ryan kembali merogoh saku.
"Alih-alih menggunakan tisu, kamu bisa menyiapkan sapu tangan apabila hanya sekadar untuk menghapus keringat," tambahnya.
Sadarkah Ryan apabila ucapannya kembali menohokku. Kuraba saku rokku dan menekan ke dalam beberapa lembar tisu yang tadi kuambil dari restoran hotel. Niatku menggunakannya untuk menyeka keringat.
"Menurutmu apalagi yang bisa kita lakukan untuk mengurangi penggunaan plastik?" Tak disangka kali ini giliranku menjelaskan. Aku merasa seperti di sidang olehnya.
Kupejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa yang kubaca tadi.
"Menggunakan sedotan besi, lebih memilih membungkus makanan dengan kotak kardus ketimbang mika," teriakku kegirangan. Aku bertingkah layaknya anak kecil yang berhasil menjawab pertanyaan guru dengan iming-iming sepotong cokelat.
Ryan tersenyum. Laki-laki itu ternyata berparas lumayan. Lesung di kedua pipinya membuatku sulit memalingkan muka.
"Begitulah hai kamu. Jadi jangan sekali-kali berpikir aku si pembuang sampah sembarangan," tutupnya.
Laki-laki itu bangkit. Melambaikan tangan padaku pertanda pamit. Tegas langkahnya terayun ke sebuah sudut. Ternyata sedari tadi seorang perempuan dengan sabar menanti di sana.

Ikuti tulisan menarik Ria Amelia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB