x

Iklan

Zulfan Fauzi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:01 WIB

Penjakit Rahasia

Cerpen fiksi sejarah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di antara gigil dan demam yang menyergap Bagan, matanya seolah melihat sesuatu. Para leluhur, para nini datu berkunjung ke dalam mimpinya, di dalam mimpinya Bagan diangkat ke pucuk tertinggi pegunungan Meratus dan di atas puncak itu ia melihat kampungnya terbakar, mayat-mayat tergelatak di tanah seperti guguran daun lay yang sudah habis jatah hidupnya.

Rasa ngeri merayap di sekujur tubuh Bagan, api yang membakar perkampungan di kaki gunung tempat ia tinggal pun perlahan mulai merayap ke hutan pegunungan Meratus. Ia yang berada di pucuk tertinggi itu pun merasakan panas api mulai menjilati sekujur badannya. Seperti lidah lelaki tua rakus nan tambun yang tak pernah kenyang, Bagan melihat api menjilati hutan di pegunungan Meratus dan melahap habis gunung, pohon dan sungai.

**

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bandjarmasin, November 1918

Diyang berjalan sendirian di kota yang muram ini. Sebuah kota di tepian sungai Barito dan dibelah oleh sungai Tatas yang berhulu di pegunungan Meratus. Siang yang mendung di bulan penghujung tahun semakin menambah muram kota yang dahulu bernama Bandar Masih ini. Hilir mudik perahu di sungai Tatas yang menjadi ciri khas kota ini sampai sesiang ini bahkan belum terlihat, apalagi kapal-kapal besar yang datang dari Batavia, Singapore, dan juga Hong Kong.

Barisan rumah lanting yang berjejeran di tepian sungai Tatas pun terlihat sepi, tak terlihat sedikit pun ada kegiatan di sana. Kapal-kapal pencari ikan pun hanya ada beberapa, sekedar memberi sedikit degup napas bagi kota yang seakan nyawanya hanya tinggal berapa helaan saja.

“Bandjarmasin telah menjadi kota mati.” Dalam hati Diyang terus terngiang kata-kata Alung seorang pedagang cina kenalan sang suami, yaitu Bagan yang kini tengah terbaring sakit. Langkah kaki Diyang sesunyi kota yang mendadak muram ini, ia berjalan menuju barisan rumah lanting yang berjejeran rapi seperti barisan tentara Hindia Belanda siap berperang.

Di salah satu rumah lanting yang tertambat pada pancang kayu di tepian sungai, langkah kaki Diyang terhenti. Ia berjalan meniti dua batang kayu yang dijadikan satu dan berfungsi sebagai titian atau jembatan kecil menuju ke rumah lanting tersebut. Rumah lanting yang ia datangi ini adalah milik kenalan sang suami, mereka berdua sama-sama bekerja sebagai anak buah di sebuah kapal dagang milik Hindia Belanda.

“Masuklah!” Tiba-tiba saja terdengar ada suara dari arah dalam rumah tersebut. Sebuah kepala manusia berjenis kelamin laki-laki tiba-tiba saja menyeruak dari jendela kecil yang biasa disebut dengan lalungkang yang terdapat di kedua sisi rumah lanting tersebut.

Diyang mendorong pintu rumah lanting tersebut dan mendapati lelaki paruh baya dengan kulit sewarna tembaga duduk di dekat jendela. Aroma tembakau dan cengkeh yang terbakar memenuhi setiap jengkal rumah, lintingan rokok terselip di sela jemari lelaki yang sedari tadi menunggu kedatangan Diyang.

“Esok kita akan berangkat.” Tanpa basa-basi lelaki dengan lintingan rokok terselip di mulutnya itu berucap, sebentuk awan terbentuk dari asap terbakarnya campuran cengkeh dan tembakau itu.

“Harusnya Bagan menuruti nasihatku, lintingan rokok dari suhu A Cai ini bisa mencegah penyakit aneh itu,” ucap lelaki paruh baya itu sembari bibirnya yang tersumpal rokok itu tersenyum.

“Iya bang, terima kasih banyak. Besok pagi kami akan menemui abang lagi di sini,” ucap Diyang. Wajahnya yang keruh mendadak dihiasi senyuman, rasa hampir putus asa selama beberapa hari ini pun seakan mendapat secercah harapan. Semenjak kepulangan sang suami dari Hong Kong dan jatuh sakit karena penyakit misterius, Diyang seakan kehilangan harapan.

“Tak perlu, biar aku saja yang ke tempat kalian. Kau pasti tak ingin Bagan ditangkap tentara Hindia Belanda karena dianggap menyebarkan penyakit aneh itu,” ucap lelaki paruh baya itu dengan suara yang dipelankan. Matanya memandang jauh menembus jendela ke sosok dingin di kejauhan, benteng kokoh di tengah pulau. Fort Van Tatas.

***

Keesokan paginya dengan menaiki perahu berukuran sedang, Bagan, Diyang, dan juga lelaki paruh baya berkulit sewarna tembaga melintasi jalur-jalur sungai kecil menuju ke hulu sungai. Selama merebaknya penyakit yang melumpuhkan Bandjarmasin sebagai kota pelabuhan, aktifitas pelayaran pun menurun drastis. Kapal-kapal dari Singapore dan Hong Kong yang menurunkan penumpang Hindia Belanda pun diawasi dengan ketat.

Bagan dan Tuganal adalah anak buah kapal S. S Van Hoorn yang berlayar dari Hong Kong menuju Hindia Belanda dan sebaliknya. Garing panas itulah sebutan penyakit yang didapat oleh Bagan dari pelayarannya ke daerah jajahan Inggris tersebut. Demam tinggi dan batuk kering adalah ciri khas penyakit ini. Dan penyakit yang memiliki banyak nama ini telah mengakibatkan ribuan kematian di Bandjarmasin.

Bagan rebah di pangkuan sang istri, demam masih menjalari tubuhnya. Sementara Diyang meletakkan kain basah di dahi sang suami sekedar untuk meredakan rasa panas yang menggelegak di tubuh Bagan. Jemari Diyang lembut menyentuh air sungai dan dalam hati ia merapal doa, kepada para dewa, nini datu, roh-roh sungai dan hutan agar perjalanan mereka selamat dan sang suami diberi kesembuhan.

“Sudah sampaikah kita di Tanah Dusun?” ucap Bagan lemah. Sinar matanya meredup, panas yang membakar tubuhnya membuatnya sering berhalusinasi. Tangannya gemetar mencoba meraih tangan istrinya, tubuhnya menggigil kedinginan tapi badannya panas menyengat bagai bara.

“Belum, sebentar lagi,” sahut Diyang. Jemari Diyang merangkul genggaman tangan sang suami, mereka saling menguatkan. Sementara itu perahu yang mereka bertiga naiki melaju pelan.

“Tuganal, sudah sampaikah kita?” Lagi Bagan bertanya, di antara batuk dan gigil badannya. Demam membuat Bagan mulai sering berhalusinasi, kain basah yang berfungsi sebagai kompres di dahinya begitu lekas mengering. Dengan sigap Diyang membasahi kain yang mengering itu dengan air sungai Bahan yang berhulu di pegunungan Meratus, berharap kuasa para dewata mengalir bersama tiap tetes air yang membasuh sang suami.

“Sebentar lagi kita akan sampai, tidurlah dulu. Nanti ketika sampai di Tanah Dusun, di Balai Adat, para Balian akan batandik, mereka akan menari meminta para roh leluhur agar memberikan kesembuhan kepada dirimu saudaraku. Tidurlah, kenang ketika kau dipangku ibumu di Balai Adat dan angin bertiup lembut menerpa kulitmu,” ucap lelaki berkulit sewarna tembaga itu.

Perahu yang mereka naiki hanyut dengan pelan di Sungai Bahan yang berarus tenang. Sungai yang menjadi jembatan penghubung Bandjarmasin di hilir dan Banua Lawas di hulu. Penyakit yang merebak di hilir sungai mengakibatkan banyak aktifitas pelayaran menjadi terhenti, sungai Bahan pun sepi dari lalu lalang kapal-kapal uap yang mengangkut manusia dan hasil alam.

Tengah hari namun sinar matahari meredup, seakan restu para leluhur menjelma jadi awan yang memayungi. Diyang menyeka rambut yang menutupi dahi sang suami, panas tubuh Bagan yang tinggi membuat kain basah di dahinya cepat mengering. Pula, ia menjadi semakin sering meracau di antara sadar dan terjaga, di antara gigil dan bara tubuhnya.

“Apakah tak apa jika Bagan diantar pulang ke Tanah Dusun? Apakah sakitnya Bagan tak menular? tanya Diyang dengan resah. Tangan Diyang membelai rambut sang suami rebah di pangkuan.

“Tak apa kesaktian para leluhur akan melindungi para warga di kaki pegunungan Meratus,” jawab Tuganal. Ia terbatuk pelan, harum cengkeh dan tembakau menguar bersama asap rokok yang ia hembuskan.

“Aku takut kehadiran Bagan akan diusir. Apalagi ia bekerja di kapal milik Hindia Belanda.” Dada Diyang mengombak, ada rentetan emosi gulung menggulung di dalamnya.

“Bagaimana jika sakitnya Bagan adalah tulah karena bekerja dengan pemerintah kolonial?” Mata Diyang resah mencari jawaban dari Tuganal.

“Tak apa, para leluhur adalah orang-orang penuh kasih. Ketika ada anak cucu kesusahan tak mungkin mereka tak kasihan,” jawab Tuganal mencoba menenangkan. Ia isap lintingan rokoknya dalam-dalam, seakan dari terbakarnya cengkeh dan tembakau Tuganal dapat menemukan ketenangan.

Mendung menggantung, sungai Bahan mengalir tenang. Namun, di dalam dada Diyang ada ombak gulung menggulung, membadai, seperti yang ia bayangkan ketika sang suami bercerita tentang lautan yang ia arungi.

“Aku hanya mendengar selentingan kabar, bahwa para warga di Barito Timur juga banyak yang terkena garing panas. Ada begitu banyak kematian di sana, sehingga mereka yang tersisa memutuskan untuk membentuk desa-desa baru. Bahkan rumah panjang warisan leluhur pun sampai harus mereka tinggalkan,” ucap Diyang pelan. Jemarinya membelai rambut sang suami yang panjang, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan mengamuk di dada.

Tuganal terdiam, ucapan Diyang hanya berbalas batuk dari dirinya. Sepanjang jalan, sejauh arus sungai, sunyi yang menyayat hanya dipecah oleh batuknya Bagan berbalasan dengan batuknya Tuganal laiknya berbalas pantun. Seperti dulu saat mereka mengarungi samudera dengan kapal uap S. S Van Hoorn

Dan sepanjang sisa perjalanan itu pun berakhir seperti ini; Diyang menutupi keresahan hatinya dengan membelai rambut sang suami; Bagan rebah di pangkuan Diyang; Tuganal menatap kejauhan, di mana sungai Bahan berhulu.

**

Di antara gigil dan bara di sekujur tubuhnya. Bagan memegang obor dengan api yang nyalang, di tengah pedusunan tempat ia lahir, ia melihat Balai Adat dilalap api, ia melihat orang-orang melarikan diri, ia melihat mayat jatuh berserakan dibungkus api yang menari, Bagan menangis tanpa lelehan air mata, karena sebelum sempat jatuh air mata itu menguap karena api telah melalap tubuh Bagan.

*catatan

 Tepat satu abad silam, tahun 1918-1919, flu Spanyol yang mengguncang dunia, juga melanda wilayah yang termasuk dalam Karesidenan Borneo bagian selatan dan timur.

Flu yang oleh masyarakat Banjar dinamakan “Penjakit Aneh”, “Penjakit Rahasia” , dan “Pilek Spanje” dan “demam panas” ini telah menjadi pandemi yang menjangkiti ribuan warga di Banjarmasin.

Penyebaran Flu Spanyol di Hindia Belanda (Indonesia sekarang) terjadi dalam dua gelombang. Pertama, Juli 1918-September 1918, sekalipun di beberapa tempat, seperti Pangkatan (Sumatera Utara), virus ini sudah menyebar pada Juni 1918.

Diduga kuat penyakit itu ditularkan penumpang dari Singapura. Sementara, kawasan timur, seperti Borneo (Kalimantan), Sulawesi dan Maluku, terpapar Flu Spanyol selama gelombang kedua, November 1918.

Pada awal November 1918, Residen yang berkedudukan di Banjarmasin telah mengirimkan telegram darurat yang menyatakan bahwa daerahnya terserang wabah influenza. Pandemi flu spanyol diduga berasal dari Hongkong.

Dalam telegram tersebut, Residen Borneo Timur dan Selatan yang berkedudukan di Banjarmasin melaporkan sebanyak 1.424 orang di daerahnya telah tercatat menjadi korban penyakit flu

Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan terhadap kapal dari Hongkong yang merapat di pelabuhan wilayah Hindia Belanda seperti Pelabuhan Banjarmasin untuk menurunkan penupang.

Pengawasan terhadap kapal-kapal yang datang dari Hongkong dan telah transit di Singapura menuju Banjarmasin (sumber jejakrekam.Com)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Zulfan Fauzi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB