x

Iklan

Langit Hujan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:03 WIB

Ketika Hujan Datang

Tentang harapan-harapan yang selalu dilangitkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

  Hujan masih mengguyur membasahi halaman panti saat Wina melihat adiknya sudah bersiap menjejakkan kakinya di sana, yang mampu membuyarkan fokusnya yang sedari tadi tertuju pada rintik yang jatuh dari langit itu.
  "Ula, jangan hujan-hujanan! Nanti kamu sakit!" serunya yang sama sekali tak dihiraukan.
  "Ula, dengerin Kakak! Jangan buat Bu Ida repot." Baru setelah itu Ula memilih untuk kembali masuk ke dalam.
  Sejak Wina masih duduk di bangku kelas lima, pikirannya sudah jauh lebih dewasa dibanding teman-teman sebayanya. Saat teman-teman sekolahnya sibuk merangkai rencana bermain, dia tidak. Dia sibuk memikirkan cara agar pengasuh panti tidak merasa kerepotan mengurusi adiknya yang terkadang susah diatur. Ketika teman-temannya asyik bercerita tentang orang tua mereka, dia tidak. Dia malah sibuk merangkai jawaban yang harus dia berikan untuk adiknya yang tak jarang menanyakan tentang orang tua mereka.
  Semua akan menjadi mudah jika saja orang tua mereka sama seperti orang tua anak-anak panti yang lain. Anak-anak yang memang telah benar-benar kehilangan orang tua, atau anak-anak yang memang tak pernah mengetahui orang tua mereka. Bukan seperti dia dan adiknya yang masih memiliki orang tua utuh namun cacat dalam hubungan.
  Wina tidak tahu ibunya ada di mana karena sejak masih berusia lima tahun, dia hanya tinggal bersama ayah serta adiknya. Sama seperti Ula yang kerap menanyakan orang tua mereka, saat masih tinggal bersama ayah dia tak pernah berhenti menanyakan keberadaan ibu. Sesering dia bertanya tentang ibu, sesering itu pula hukuman dia dapat dari sang ayah.
  Ingatannya membawa dirinya pada hari-hari sebelum dia berakhir di panti bersama adiknya. Termasuk satu hari saat dia masih kelas dua SD. Saat teman-temannya dijemput oleh ibu masing-masing. Dia hanya menyimpan iri selama perjalanan pulang menuju rumah.
  "Ayah, tadi teman-temanku dijemput ibu mereka. Aku mau tahu ibu di mana, Ayah?"
  Saat ia bertanya demikian, bukan jawab yang diperoleh. Detik itu juga Ayah membawanya menuju kamar kosong dan mengunci dirinya di sana bersama sang adik.
  "Ayah sudah bilang, jangan pernah menanyakan ibu kalian!"
  Seruan Ayah tak pernah gagal membuatnya menangis. Jika sudah begitu, dia tak akan mendapat jatah makan malam.
  Meski begitu, setelah hari itu dia tak pernah kapok menanyakan tentang ibu. Meski berulang kali dia bertanya namun tak menuai jawab, meski berulang kali dia harus berakhir dikurung oleh sang ayah. Semua itu terus terulang sampai akhirnya ayah mengirim dia dan adiknya ke panti asuhan.
  Pikirannya selalu penuh oleh tanya yang tak pernah menemukan jawab. Bukan hanya tentang keberadaan ibu, namun juga perihal alasan ayah membawa mereka ke panti asuhan. Apa karena ayah tak mau lagi susah payah merawat mereka, atau sebab lain yang tak mau ia bayangkan kebenarannya. Dia ingat saat itu, sebelum Ayah benar-benar pergi dia sempat melempar tanya.
  "Ayah, kenapa Ayah ninggalin kami di sini?"
  Jawaban dari pertanyaan itu bukanlah sebuah alasan, melainkan janji Ayah untuk menjemput mereka lagi suatu hari nanti.
***
  "Kak, kenapa aku nggak punya ibu? Kenapa kita nggak tinggal sama ayah?"
  Pertanyaan yang selalu Ula lontarkan sejak anak itu paham siapa itu orang tua. Setiap tanya yang tak pernah gagal menyakiti Wina dengan hebatnya. Ia bingung jawaban seperti apa yang harus dia berikan ketika dirinya sendiri tak pernah tahu jawaban yang sesungguhnya.
  "Kamu punya ibu, Ula tapi berada sangat jauh. Tenang saja, nanti ayah pasti akan jemput kita lagi."
  Hanya kalimat itu yang bisa dia beri sementara adiknya belum mengerti lebih dari itu. Dia sudah tak tahu harus bagaimana lagi jika kemungkinan buruk itu betulan terjadi. Seperti jika ayahnya tak akan menepati janji, misalnya. Ia tak mau itu terjadi, namun kemungkinan buruk akan selalu ada. Karena kenyataannya sampai ia sudah duduk di bangku kelas delapan, sang ayah masih belum juga datang menjemput.
  Sebentar lagi mungkin Ula akan mengerti bahwa tak seharusnya mereka tinggal di panti. Dan dia belum menyiapkan jawab yang tak akan menyakiti perasaan Ula dan juga perasaannya sendiri. Dan sejujurnya dia memang tak pernah siap mendengar pertanyaan apapun dari Ula.
  Maka ketika hujan datang, ia selalu melangitkan doa untuk setiap harap yang semoga saja menjadi nyata. Sebab ia pernah mendengar sesorang berkata, doa yang dipanjatkan saat turun hujan akan lebih mudah dikabulkan.
  Apa yang selalu menjadi doanya? Sederhana saja, ia tak ingin terus-terusan merasa terluka, begitu pula dengan Ula. Entah itu dengan mereka yang tak berakhir di panti selamanya, atau dipertemukannya mereka dengan sang ibu, atau dengan sebuah penebusan atas luka yang mereka terima dari sang ayah.
  Harapan-harapan yang mencakup tentang keinginannya berada di antara orang tua mereka yang entah sebab apa hubungan keduanya tak lagi terajut sebagaimana mestinya. Atau jikalau pun tak bisa bersatu layaknya keluarga, dia dan Ula tetap diizinkan bertatap muka dengan orang yang telah membawa mereka lahir ke dunia. Karena meski tak lagi ada ikatan antara ayah dan ibunya, dia dan Ula tetap memiliki ikatan darah dengan sang ibu. Hanya begitu saja namun puluhan doa masih belum menjadi realita. Namun meski harus ribuan kali lagi dia berdoa kala hujan, ia akan tetap melakukannya tanpa lelah.
                                                                 TAMAT

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Langit Hujan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu