x

Iklan

Suyatna, S.Pd

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:55 WIB

Surat dari Ibu


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bu Lastri, demikian orang sekampung memanggilnya. Sepeninggal suaminya, ia hidup sendiri di sebuah rumah yang dibangunnya 35 tahun lalu. Rumah itu tampak kusam tak terawat. Tidak ada polesan warna yang menghias dinding rumah tersebut. Lantainya yang belum sempat di keramik telah hancur dan berlubang-lubang. Tidak ada harta peninggalan suaminya yang dapat ia jadikan sebagai penopang kebutuhan hidupnya. Sebidang tanah yang merupakan satu-satunya harta warisan orang tuanya telah terjual untuk membiayai anaknya masuk kuliah. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari ia bekerja serabutan. Jika ada tetangga yang menyuruhnya bekerja maka ia akan melakukannya dengan senang hati. Harta dan harapan satu-satunya yang ia miliki sekarang adalah Maman. Anak semata wayangnya yang ia lahirkan dengan penuh perjuangan antara hidup dan mati. Maman yang dilahirkan premature harus mendapatkan perawatan yang prima. Sementara perekonomian Bu Lastri dan suaminya saat itu masih terbilang susah. Namun, beruntung ia masih menumpang di rumah orang tuanya.

Siang ini, ia rebahkan tubuhnya pada sebuah bale bambu. Semenjak suaminya meninggal dunia bale bambu itu ia letakan di ruang tamu. Bale bambu itu dibuat oleh suaminya, sebulan sebelum meninggal dunia. Di bale bambu itulah, Bu Lastri menghilangkan segala penatnya. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah figura berwarna coklat berukuran 40cm x 60cm. Figura itu tergantung tepat di sebelah jam dinding yang sudah tidak bergerak lagi. Di beberapa bagian tampak catnya mengelupas. Sebuah sarang laba-laba kecil menghias di salah satu pojoknya. Ia bangkit lalu diraihnya figura itu. Namun, tangannya tak dapat menjangkaunya. Diseretnya sebuah kursi kayu, ia letakan tepat di bawah figura itu. Ia tidak ingat sejak kapan figura itu tergantung di sana. Dengan sangat hati-hati, diturunkannya figura itu. Tampak mulutnya meniup-niup debu yang menempel pada kaca figura. Debu itu begitu kuat melekat, seolah tak ingin beranjak dari kaca figura. Dengan telapak tangan kanannya, akhirnya ia usap kaca figura itu. Di balik kaca figura itu, kini terlihat jelas wajah-wajah yang dicintainya. Wajah-wajah itu tersenyum penuh kebahagiaan. Poto itu adalah sebuah kenangan saat ia dan suaminya menghadiri acara wisuda anaknya.

"Maman...!" Ucapnya lirih tatkala matanya menatap sebuah wajah yang dirindukannya.Matanya sembab, Bu Lastri tak dapat menyembunyikan kesedihannya. Dadanya begitu sesak ia rasakan.  Maman harta dan harapan satu-satunya yang ia miliki, tak pernah pulang menjenguknya. Setelah menikah, Maman pindah ke Bekasi mengikuti keluarga istrinya dan menetap di sana hingga sekarang. Oleh mertuanya, Maman diberikan kepercayaan untuk memimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang logistik. Kesibukannya mengurus perusahaan, lambat laun melupakan ayah dan ibunya di kampung. Sepertinya waktu begitu sangat berharga bagi Maman untuk mengurus perusahaan milik mertuanya. Maman tidak ingin menyia-nyiakan kepercayaan ini. Ia pun yakin, suatu hari nanti perusahaan ini akan menjadi miliknya. Benar saja, beberapa tahun kemudian mertuanya sakit dan akhirnya meninggal dunia. Semakin hari perusahaannya semakin maju dan berkembang. Kini, Maman bukanlah Maman yang dulu lagi. Sebuah rumah mewah yang menjadi kebanggannya telah ia miliki. Beberapa mobil pun, tampak terparkir menghiasi garasi rumahnya. Menurutnya, ini adalah sebuah pencapaian atas kerja keras yang telah dilakukannya. Namun, tiba-tiba Maman mendapat kabar dari kampung bahwa ayahnya meninggal dunia. Maman sempat pulang tapi hanya beberapa hari saja. Semenjak itu, Maman tidak pernah pulang untuk menjenguknya. Namun demikian, Maman tetap mengirimkan sejumlah uang meskipun tidak rutin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di bale bambu yang telah usang, tampak Bu Lastri meneteskan airmatanya di hadapan seorang lelaki gagah perkasa. Lelaki itu mengenakan stelan baju mewah. Sebuah mobil pun terparkir di depan rumah Bu Lastri.

"Maafkan Ibu, Nak! Karena Ibu telah berbohong, sebenarnya Ibu tidak sakit. Akan tetapi, Ibu sudah rindu, Nak ... Ibu ingin kamu bisa menemani Ibu satu jam saja!" Ucap Bu Lastri seraya meneteskan airmata. Maman diam membisu, dadanya bergemuruh, giginya gemeretak, matanya merah menyala seolah hendak membakar benda-benda yang ada di hadapannya. Kemudian, tampak ia menghela napasnya dalam-dalam. Sepertinya ada sesuatu hal yang ingin ia katakan. Tentunya kalaulah tahu, bahwa  ibunya telah membohonginya sudah pasti  Maman tak 'kan datang menemuinya.

"Waktumu satu jam akan Ibu ganti, Nak! Asal rindu ini terobati ..." Sambung Bu Lastri seraya menyerahkan segepok uang. Maman tetap diam membisu, ia tak bergeming sedikitpun.

"Uang ini adalah kirimanmu setiap bulan, Nak! Ibu tidak menginginkan ini ... Ibu hanya ingin sisakan sedikit saja waktu untukku !" Ucap Bu Lastri sembari bangkit dari bale bambu itu. Kemudian ia berjalan mendekati figura yang diletakannya di atas meja beberapa hari yang lalu.  

“Jika kedatanganmu hari ini hanya membuat luka... sekarang kembalilah. Anak dan istrimu menunggumu di rumah. Biarkan Ibu di sini sendiri...” Suara Bu Lastri bergetar, ia tahu kalau Maman kecewa karena merasa dibohonginya. Beberapa hari yang lalu, Bu Lastri sengaja menulis surat kepada Maman. Dalam suratnya itu, ia mengabarkan bahwa dirinya sakit. Maksud dan tujuan Bu Lastri adalah agar Maman  pulang untuk menjenguknya.

“Mungkin hari ini kamu masih bisa melihat Ibu... Esok atau lusa jika maut menjemput Ibu... jangan menyesal jika kamu hanya akan melihat sebuah gundukan tanah di belakang rumah ini, Nak!” Mendengar perkataan ibunya, serasa tenggorokannya tercekik. Kini, Maman tak dapat membendung airmatanya. Dipeluknya, ibunya ...

"Ibu ... Maafkan aku!" hanya kalimat itu yang bisa Maman ucapkan. Akhirnya, ia pun jatuh tersungkur di pangkuan ibunya.

Ikuti tulisan menarik Suyatna, S.Pd lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler