x

Iklan

Zizi Trijogo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 07:54 WIB

Antara Dua Muka

Reputasi feminis bak zirah ungu yang selalu dipakai oleh Maira di ruang publik. Ia berkiprah bak ksatria bagi kaumnya hingga saat menginjak usia 24 tahun baginya medan perjuangan tak selalu sama dan selayaknya zirah terlalu berat untuk digunakan setiap saat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semua perlengkapan telah dicek ulang. Para anggota telah diarahkan. Mobil-mobil itu tak hanya berisi manusia tetapi terisi juga oleh berbagai warna, jenis, dan brand sepatu perempuan dengan berbagai size. Semua telah siap berangkat ke tujuan. Hanya butuh lima belas menit untuk sampai. Gedung dengan desain unik ini jika dilihat dari atas akan menyerupai tempurung kura-kura ditambah warnanya yang hijau. Namun, secara filosofis berbeda dengan visualnya karena bangunan itu terinspirasi dari kepakan burung garuda dan warna hijaunya berlaku sebagai lambang kemakmuran dan kesuburan.

Dibatasi pagar menjulang tinggi, ratusan pasang heels hingga sepatu boots terjejer rapih sebagai representasi anggota luar Pulau Jawa yang tak dapat hadir pada demonstrasi hari ini, berdampingan dengan papan berpesan “PEREMPUAN BUKAN PAJANGAN” “PEREMPUAN BUKAN KELEMAHAN” “SAHKAN RUU SECEPATNYA!” serta ratusan ucapan lainnya telah tertulis dari lipstick berbagai warna bak simbol peralatan yang perempuan gunakan untuk mempercantik diri pun menjadi senjata untuk bersuara demi membela hak yang terdzolimi. Unjuk rasa kali ini memang bertujuan pokok untuk pengesahan RUU kekerasan perempuan, tetapi organisasi ini akan selalu terjun langsung pada setiap masalah yang berhubungan dengan perempuan karena seringkali perempuan diobjekan sebagai wani di toto[1], seakan telah memiliki template garis hidup serupa dan harus menjalani dengan sesuai sehingga ruang gerak terbatas.

Pada movement ini, juga yang sebelum-sebelumnya, Maira lah yang seringkali diamanatkan menjadi penanggung jawab. Tidak mengherankan karena ia memang sosok yang dapat diandalkan. Pengalamannya pun tak diragukan lagi. Di organisasi sebelumnya yang berfokus pada permasalahan anak muda beranggotakan mayoritas laki-laki, ia menjadi kandidat perempuan tunggal sebagai ketua. Syarat kemenangan pun bukan melalui voting tetapi berdasarkan projek masing-masing yang harus dilakukan. Dengan tekad bulatnya, Maira menggandeng LBH[2] untuk menuntaskan kasus femicide[3]. Setelahnya, nama Maira Majid mencuat di berbagai headline berita. Berdiri di sisinya dan menjadi temannya seakan keinginan dari banyak orang. Ia bak bintang ksatria untuk kaum kami.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sinilah kami berjuang menyuarakan hak sebagai rakyat Indonesia. Melakukan unjuk rasa bukanlah hal yang mudah, persiapan yang dibutuhkan tidak hanya meliputi fisik dan materi tetapi mental dan tekad yang kuat juga. Selalu ada hal yang terjadi di luar rencana, disitulah letak perjuangannya. Dalam komunikasi, komunikator[4] harus mampu mengomunikasikan pesan yang ingin disampaikan kepada komunikan[5]. Cara komunikasi pun berbeda menyesuaikan komunikannya. Maka, unjuk rasa adalah cara yang ditempuh untuk kasus ini. Bahkan, dengan cara inipun seringkali tak ada tanggapan atau tindakan berarti. Mungkin benar yang dibilang khalayak bahwa gedung itu telah terisi hampir semua tikus berdasi. Hanya saja keinginan atas perubahan yang sangat kuat ini mendorong dan meyakinkan diri bahwa disana masih ada yang bernurani.

Camera-ku terfokus pada Maira yang sedari tadi memimpin komando melalui toanya. Darinya dan organisasi ini aku telah belajar banyak hal. Aku akan membagikan sudut pandangku bahwa terlepas dari setiap citra yang kita punya, kita semua sama, hanya seorang manusia dengan tujuannya. Dinaungi organisasi yang memiliki tujuan bersama, tetapi tiap individunya punya urusannya masing-masing pada nyatanya. Aku telah melihat cukup banyak perjuangan Maira yang disanjung tinggi oleh para simpatisan, seringkali pula secara tak sengaja aku tersenyum dikulum saat melihat ia tampil di ruang publik. Berbeda 180 derajat saat menjadi Maira temanku. Bagai koin dua sisi.

“Dimana para penguasa yang berkedok Manusia Pancasila? Saat kampanye teriak akan mengamalkan seluruh sila, tidak ada buktinya! Kami menuntut sila kelima yang kalian janjikan, KESETARAAN ADALAH WUJUD KEADILAN! Pengesahan terus ditunda, kita dibungkam untuk tak bersuara. Ratusan kasus kekerasan pada perempuan terjadi setiap harinya. Perempuan juga Warga Negara Indonesia, kami berhak mendapatkan perlindungan, berhak merasa aman di negeri sendiri.” Di bawah teriknya matahari dan peluh yang mengucur dari dahinya, Maira menjalankan perannya mewakilkan segala kegelisahan yang para perempuan rasakan. Teriakan lantangnya seolah bertransformasi menjadi aliran energi memompa kobar semangat diikuti seruan anggota kami lainnya. Tak hanya Maira yang memberikan bahan bakar semangat, beberapa rekan sejawat ternama perjuangan dari organisasi lain pun juga berpartisipasi melalui orasi berapi.  

“Na, udah dokumentasiin semuanya kan?” Di tengah keramaian masih bisa kudengar sapaan Maira dengan suaranya yang hampir habis dan napas tersengalnya seperti sehabis menyanyi lima oktaf dalam satu tarikan napas.

“Udah hampir rampung semua sih Ra. Tinggal buat footagenya aja nih,” jawabku sembari menoleh ke Maira yang seperti sillhoutte[6] karena posisiku sedang duduk dan ia berdiri sehingga lebih tersengit oleh sinar matahari yang tak kalah panas dengan semangat kami hari ini.

“Mumpung lagi jeda orasi, gue mau lanjutin cerita kemarin nih. Lo bisa sambil dengerin kan?” Tanya Maira dengan nada yang sedikit memohon.

“Bisa kok. Ganggas lagi?”

“Iya, gue ngehubungin dia semalem, di-read doang, telepon juga ga diangkat. Gue bingung, jadi gue ke rumahnya.”

“Hah? Lo nyamper langsung?”

“Iya dan gue kecewa banget sih, tengah malem gue ke rumahnya untuk minta maaf, setengah jam dia gamau keluar. Buka pintu cuma buat ngusir gue.” Terdengar helaan napas dari suara Maira yang mengecilkan volume bicaranya.

“Ra, udah berapa kali sih kayak gini? Setiap ada masalah, lo yang minta maaf, lo yang ngejar. Kemarin lo dikata-katain. Sekarang lo diusir. Nunggu dia ngapain lagi Ra?” Intonasi suaraku meninggi, tak dapat menahan emosi mendengar cerita Maira. Bisa-bisanya seorang pacar berlaku seperti itu.

“Nanti juga dia akan minta maaf kalau dia udah enakan. Gue yakin dia bisa berubah kok. Dia cuma butuh waktu.”

Rasanya percuma kuberi tahu Maira saat ini karena ia hanya akan terus menyanggah, tutup mata tutup telinga, semboyan orang yang sedang jatuh cinta.

“Ra, mungkin lo ga akan mudeng sekarang ya, tapi as a friend, I have to remind you. Kalau lo kasih dia kesempatan terus, bukan dia yang berubah Ra. Pada akhirnya, lo yang akan terbiasa dengan kelakuan toxicnya.”

Maira hendak membuka suara, biasanya ia akan jawab dengan kata ‘iya sih, tapi….’, selalu ada kata tapi. Namun, belum sempat menjawab, Mba Vati melambaikan tangan agar di-notice oleh Maira yang segera menghampiri. Sebenarnya, telingaku sudah lelah mendengarkan cerita Ganggas. Tak habis pikir aku di tengah-tengah kesibukan ini, sempat-sempatnya Maira memikirkan pacarnya yang toxic itu.

            Unggahan dari unjuk rasa kemarin mendapat feedback yang sangat baik dari netizen. Rasanya aku sangat senang jika pesan yang ingin kusampaikan dari setiap movement kami dapat diterima bahkan hanya melalui video yang berdurasi satu menit. Digitalisasi ini jugalah yang membantu organisasi kami mengepakkan sayapnya. Maira memasuki ruangan dengan dokumen riset di dekapannya. Matanya bengkak seperti habis dikeroyok atau habis dioperasi. Cuping hidungnya seakan lebih merah dari tulisan lipstick demonstrasi kemarin. Langsung kutanyakan apa yang terjadi walaupun aku yakin ini pasti ulah Ganggas yang kelakuannya bikin gengges[7] itu. Memang kuakui Maira professional karena tidak pernah sekalipun mengambil cuti dari segala kegiatan seberapa sedihnya dia. Ia duduk di sampingku.

“Gue harus ngomong lagi sama Ganggas. Ini harus diselesain.”

“Apanya yang diselesain Ra?”

“Kemarin dia kan gamau ngomong sama gue. Gue gabisa udahan gitu aja tanpa dapet jawaban Na.”

“Perilaku dia ga cukup buat jadi jawaban untuk lo?”

“Ya mungkin ada andil gue juga dia kayak gitu karena gue salah, bikin dia jadi emosi. Bukan membenarkan perilaku dia, tapi manusia emang pasti ada kurangnya kan Na.”

“Dokumen yang lo pegang apa Ra?”

“Kenapa lo tiba-tiba bahas dokumen?”

“Jawab dulu.”

“Dokumen hasil riset.”

“Riset apa?”

 “Korban yang bertahan dengan pasangan abusive dan manipulative buat next campaign kita di social media. Kenapa? Lo udah buat desain grafisnya?”

“Gue nanya bukan untuk bahas kerjaan. Tapi gue nanya untuk mastiin aja pas ngerjain riset lo baca pengalaman mereka dan berkaca.”

“Maksud lo?”

“Kita dimana sih Ra? Apa sih yang sekarang kita perjuangin? Lo sadar ga sih?”

“Masalah pribadi gue gaada hubungannya ya sama kerjaan kita.”

“Gaada hubungannya lo bilang? Berapa banyak orang yang kenal lo karena reputasi lo sang feminis? Berapa banyak orang yang kesini untuk cari lo minta saran, berapa banyak yang tersentuh dengan kata-kata bijak lo selama ini, yang mau jadi kayak lo hah? You are famous for that Ra, jangan lupa. Belum lagi korban-korban pelecehan, pemerkosaan, kekerasan di luar sana yang udah menyerah sama hidup dan akhirnya get up lagi karena mau berjuang bareng lo Ra. Melalui lo mereka punya harapan lagi. You are the figure.

Maira masih di posisinya tadi. Tak bergeming.

“Saran-saran lo ke mereka apa Ra? Kita perempuan kuat blablabla. Fokus ke diri kita sendiri? Kita harus hindarin bahkan singkirin ke-toxic-an? Itu kan kata lo? You better say it to yourself. Look at the mirror. Say it Ra!” Aku tak kuat menahan campur aduk emosi yang kurasakan, segalanya kutumpahkan.

Air matanya tumpah sejadinya, entah akan bertambah sebesar apa mata yang sudah bengkak itu nantinya. Aku memeluknya, meminta maaf. Bukan karena apa yang kuucapkan, hanya saja aku ingin minta maaf. Yang jelas aku lega mengucapkan itu semua, karena bagiku selama ini adalah beban melihat banyaknya sesama puan yang melihat Maira sebagai panutan, simbol harapan dengan kekuatan, tetapi pada realitanya ia membiarkan dirinya terjerembab dalam romansa fana, korban perasaan.

            Sudah tiga hari ini aku melihat Maira seperti mayat hidup. Kami sudah berusaha untuk berinteraksi seperti biasa. Bukannya tak berempati, tapi bagiku cinta bukan seperti ini. Lebih baik merana sendiri daripada memiliki pasangan yang hanya bisa menyakiti. Toh, aku pun masuk organisasi ini karena aku ingin berkontribusi untuk menguati kaumku, aku ingin mereka tahu bahwa diri kita sendiri bisa utuh. Ternyata tak hanya mereka di luar sana yang harus diselamatkan, tantangan terbesarku justru adalah orang terdekatku karena ia yang lebih lama di bidang ini, ia lebih paham, sepak terjangnya lebih banyak daripada diriku. Namun ia hanya mampu mengajarkan dan menyebarkan tanpa menerapkan. Gagal pada dirinya sendiri. Aku akan berusaha untuk mendampinginya mendapatkan jalan keluar. Kulihat saat sedang tidak mengerjakan sesuatu, Maira hanya melamun. Hari ini aku hendak mengajaknya ngopi sebelum pulang.

            Kulihat sosok yang tingginya hampir sama denganku, menggunakan kacamata dan pouch yang ditentengnya, sangatlah familiar. Ganggas telah menunggu Maira di luar pintu. Aku parkir lagi mobilku yang hendak keluar. Mataku menyibak sekeliling ruangan. Maira baru saja selesai sholat. Di saat-saat seperti inilah ia sangat rajin beribadah karena ia merasa sholat selalu menenangkan hatinya. Langsung aku hampiri Maira. Ia menoleh tak percaya saat kuberitahu bahwa Ganggas datang. Mukanya yang muram tetiba berbinar.

Apa ini jawaban doa gue ya? Gue udah ngehindarin dia loh.”

“Bukannya patternnya selalu gini Ra? Kalau lo ga ngejar dia, dia akan nyari lo.”

“Gue udah ikutin saran lo untuk kasih space. Gue manusia juga, Kenna. Gue punya perasaan yang gabisa gue kontrol. Semua ini juga susah buat gue. Apa menurut lo gue gak ngerasa takut orang-orang bakal tau the othe side Maira dan akan ngecap gue munafik? Gue gak pernah mau ada di posisi ini. Gue cuma mau kasih dia kesempatan kedua.”

“Kedua Ra?” Aku tak tahu lagi bagaimana kesempatan puluhan kali itu stuck hanya terhitung sebagai kesempatan yang kedua.

“Yaudah lo temuin aja kalau emang lo udah siap untuk ke depannya lagi.” Aku menambahkan, teringat akan percuma menasihatinya hanya untuk disanggah lagi.

***

Selama sepekan kami ngebut untuk campaign selanjutnya, malam ini Zoom meeting gladi bersih. Tidak sampai lima detik selesai, sudah ada video call dari Maira. Semenjak pertemuan yang lalu dengan Ganggas, Maira bilang mereka baik-baik saja. Tapi terlihat jelas di layar sekarang ia sedang menangis. Pasti ada masalah lagi pikirku. Setelah tangisnya mereda, ia mulai bercerita kemarin saat Ganggas ke toilet dan meninggalkan hpnya, tiba-tiba berbunyi, ada chat dari perempuan yang menanyakan mengapa seharian Ganggas tidak ada kabar. Kriteria lengkap sudah pada diri Ganggas. Telepon hampir dua jam itu akhirnya kututup, Maira kusuruh istirahat karena kami harus prima untuk kegiatan esok hari.

Hari ini kegiatan kami outdoor, dari kejauhan  kulihat Maira memakai kacamata hitamnya, untung saja tidak di indoorsehingga tidak mengherankan. Tunggu. Ia datang bersama dengan Ganggas. Tak habis pikir aku terhadap mereka berdua. Ganggas memeluknya sebelum Maira mempersiapkan speechnya pada campaign ini. Masih dari tempatku berdiri tadi, aku melihat antusias dari banyaknya pasang mata yang telah membuka lebar telinganya. Seperti biasa, reflek mulutku menyunggingkan bibir dengan senyum tersirat. Miris.

 

[1] Kata dalam bahasa Jawa yang memiliki arti berani di tata/atur

[2] Lembaga Bantuan Hukum

[3] Pembunuhan yang didasarkan korban berjenis kelamin perempuan

[4] Orang yang menyampaikan pesan

[5] Orang yang menerima pesan

[6] Bayangan hitam

[7] Mengesalkan, menyebalkan

Ikuti tulisan menarik Zizi Trijogo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB