x

Iklan

ziya idrus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:22 WIB

Halte


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

  Tampak seorang pria kurus terbalut pakaian lusuh, berjalan gontai di trotoar. Kakinya hitam legam penuh kapalan karena tidak beralas kaki. Napasnya terengah-engah. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di teras sebuah toko kelontong, yang pintunya telah tertutup rapat. Tangan kanannya memegang leher dan tampak berkali-kali menelan ludah. Sedangkan tangan kirinya memegang perut, yang sudah gaduh meminta makan.

  Sesaat kemudian dia bangkit, lalu berjalan dengan langkah sedikit terhuyung. Namun, baru saja beberapa langkah, ia kembali berhenti. Tampaklah di hadapannya sebuah gentong air besar, setinggi pinggang, ia bergegas dan membuka gentong air tersebut, tetapi nyatanya itu hanyalah sebuah tempat sampah yang sengaja di tutup sang pemilik agar tidak dikerubungi lalat dan menyebar bau busuk. Alhasil, ia pun mengaduk-ngaduk isi dalam gentong tersebut berharap ada sesuatu yang bisa ditenggak untuk melepas dahaga ataupun sebagai penyumpal perut yang lapar.

  Puas ia mengaduk-ngaduk isi di dalam gentong tersebut, tetapi satu pun tak ia temukan apa yang diharapkan. Pada akhirnya, dia kembali melanjutkan perjalanan, walau dengan langkah yang sedikit terhuyung. Tak lama berselang, tampaklah dari kejauhan, sebuah toko sembako dengan pintu yang masih menganga, agaknya akan tutup jika larut. Pasalnya di waktu matahari telah condong ke barat hanya toko tersebut yang masih buka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

  Pria kurus itu pun bergegas, paling tidak sang pemilik mau bermurah hati memberi secawan air minum dan sebungkus roti secara cuma-cuma.

  “Heh! Kenapa kau berdiri di situ? Pergi sana! Jangan kau menjadi penghalang para pelangganku yang akan ke sini!” hardik seorang pria paruh baya dengan kelopak mata yang sedikit turun layaknya seseorang yang sedang mengantuk dan pria kurus itu pun hanya berdiri mematung.

  “Belum pergi lagi!”

  Tiba-tiba saja pria baruh baya itu masuk dan untuk beberapa saat tidak keluar lagi. Namun,  tak lama berselang, byuuur... Tubuh pria kurus itu pun basah kuyup dari ujung rambut sampai kaki.

  “Cepat pergi sana!”

  Tanpa berkata, pria kurus itu pun membalikkan badan dan bergegas meninggalkan toko sembako itu. Dia kembali melangkahkan kakinya, menyusuri jalan hingga terdengar azan magrib yang berkumandang lantang. Ia pun berhenti sejenak di dekat pagar sebuah masjid besar di tepi jalan. Sebuah lemparan batu kerikil menghujam kepalanya. Sontak ia menoleh dan memandang lekat orang itu.

   “Heh! Pergi sana! Kamu itu kotor dan bau. Kehadiran kamu di sini bisa menganggu ketentraman oarang-orang yang ingin melaksanakan ibadah,” hardik salah seorang ibu paruh baya yang sedang berjalan bersama seorang temannya.

   Pria kurus itu hanya bisa diam dan tetap memandang lekat ke dua perempuan itu, sampai ke duanya masuk ke dalam beranda masjid.

  Pada saat semuah jamaah telah merapatkan shaff dan akan melaksanakan ibadah, pria kurus itu pun bergegas menghampiri tempat wudhu yang lokasinya berada tepat di samping kiri bangunan masjid. Tak butuh lama, ia pun bergegas membuka mulutnya tepat di bawah kran air lalu memutar kran tersebut hingga mengalirlah air yang begitu deras, berkali-kali ia menelan air tersebut sampai rasa dahaganya hilang.

  “Bang Hanif,” tegur salah seorang pemuda itu yang tampaknya ragu. Pemuda itu memandangnya lekat dari kepala hingga kaki, begitu pula sebaliknya.

  Sontak, si pria kurus itu pun menghentikan aktivitasnya, lalu pergi begitu saja dengan setengah berlari. Tanpa disuruh, pemuda itu pun mengejar, tetapi sayang pria itu telah jauh dihadapannya dan tak mungkin dikejar.

****

   “Heh! Tinggal di sini tidak ada yang gratis. Kau harus cari kerja dan pulang lagi setelah membawa uang banyak.”

   “Aku takut, Pak. Lagipula aku seharusnya ke sekolah. Sudah dua hari bapak melarangku untuk keluar rumah.”

   “Takut kenapa? Untuk apa ke sekolah? Kau belajar setinggi langit hanya menghabiskan uang saja. Kau mau jadi apa? Jadi presiden, belum tentu. Toh, otakmu itu pas-pasan.”

    “Justru itu, Pak. Aku ingin belajar biar bisa berguna buat orang lain.”

   “Berguna apanya? Justru kau tidak berguna! Makanya ibumu mengizinkan aku membawa kau ke sini biar tidak merepotkan.”

 “Tapi Ibu tidak pernah berkata seperti itu. Setelah aku pulang sekolah Bapak langsung menyeretku untuk ikut.”

  Plak ... Sebuah tamparan keras mendarat di pipi seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun bernama, Hanif. Ia hanya terdiam, sembari mengusap-usap pipinya yang merah menyala. Ia tak mampu lagi berucap. Hanya bisa sesenggukan di pojok ruang tamu.

  “Lancang kau berkata seperti itu pada Bapakmu sendiri. Jadi ini yang diajarkan di sekolahmu tentang sopan santun terhadap orang tua.”

  Hanif tetap membisu, tanpa mampu membalas perkataan dari bapaknya.

“Kalau kau tidak pergi mencari uang saat ini juga. Jangan harap kau akan pulang ke rumah ini lagi!”

Hanif masih sesenggukkan, sedikit pun dia tak beranjak. Sebetulnya di dalam benak ia takut harus keluar tanpa tujuan, apalagi mencari kerja. Ia tak tahu harus mencari kerja di mana. Siapa yang mau menerima anak seusianya untuk bekerja. Lagipula sewaktu bersama ibu, kegiatan Hanif hanya bersekolah saja. Sekalipun sang ibu keteteran mengerjakan pekerjaan rumah, dia tak mau meminta Hanif untuk membantu. Katanya, tugas kamu hanya belajar, belajar dan belajar, biar pintar dan jadi orang sukses biar tidak bodoh seperti ibu.

Lagi-lagi sang bapak memaksa Hanif untuk bekerja dan kembali lagi untuk memberinya uang. Tak tanggung-tanggung dia membawa sebuah kayu untuk mengancam kalau sampai Hanif tidak menuruti keinginannya. Dengan terpaksa Hanif pergi walau sebenarnya dia tak tahu harus pergi ke mana. Di kepalanya hanya terngiang perkataan bapak, bahwa ‘jangan pulang kalau belum membawa uang.

***

“Bu, maafkan Hasan. Ia sudah berlari jauh dan tak mampu Hasan kejar.”

“Tapi Ibu jangan khawatir, sebisa mungkin Hasan akan mencarinya lagi. Jika Allah sudah mempertemukan, kita pasti tidak akan terpisahkan.”

“Hanif, kemana kamu, Nak. Ibu rindu padamu. Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu.”

Wanita paruh baya itu pun membenturkan keningnya berkali-kali ke dinding. Hasan pun lekas memeluknya erat agar wanita yang merupakan ibunya itu tidak melakukan hal yang serupa. Sang ibu pun meraung dalam rangkulan Hasan.

“Ini salah Ibu, Nak. Kalau saja ia tak Ibu biarkan pergi bersama bapakmu tak mungkin dia menghilang hampir lima tahun. Ibu menyesal, San. Ibu menyesal.”

“Sudahlah, Bu. Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Hasan janji, besok Hasan akan mencari Bang Hanif lagi. Ibu berdoa saja agar Bang Hanif bisa ditemukan. Sejatinya, doa seorang ibu menembus arsy Allah.”

Tak lama berselang, pintu depan pun diketuk seseorang. Hasan pun bergegas menemui sang pengetuk. Rupanya orang itu adalah Deri sahabat Hasan. Ia mengabarkan bahwa Hanif yang ia cari sedang beristirahat di sebuah halte di dekat pasar rakyat. Menurut warga yang melintas, mereka sering melihat pria kurus itu beristirahat di situ baru-baru ini. Namun, tak seorang pun berani mendekati untuk menghalau pergi, pada akhirnya warga setempat membiarkan saja dia berdiam di situ sampai kapanpun. Tak ayal, Hasan pun bergegas mengajak Deri. Dia takut saudara kandungnya itu akan hilang lagi dan akan sulit untuk mencarinya. Tak lupa, Hasan pun menitip ibunya kepada tetangga yang rumahnya bertepatan di sebelah kanan.

Hasan dan Deri pun bergegas ke arah yang dituju menggunakan sepeda motor. Selama ini Hasan dan Deri nyatanya sibuk mencari keberadaan Hanif yang hilang selama sepuluh tahun. Berbagai usaha telah dilakukan dari melaporkannya ke polisi sampai memasang pamflet di tiap-tiap penjuru desa sampai perkotaan. Namun, tak membuahkan hasil. Hingga pertemuan pertama itulah Hasan bertemu Hanif di tempat wudhu sebuah masjid di pinggir jalan raya, yang kebetulan Hasan juga ingin salat di situ. Itu membuktikan bahwa Hanif masih hidup, walaupun dengan kondisi yang sangat menyedihkan.

Sesampainya mereka di tujuan, nampaklah seorang pria bertubuh kurus tengah tertidur pulas. Rambutnya panjang acak-acakkan. Pakaian yang ia kenakan telah robek. Tubuhnya menguar bau apek, terbukti dari baju yang ia kenakan telah menghitam dan berdebu. Kuku tangan serta kakinya panjang dan kotor. Terdapat luka menganga di tumit kakinya yang sudah lama mengering.

“Bang Hanif,” tegur Hasan pelan.

Sontak, pria kurus yang nyatanya bernama Hanif itu langsung terperanjat.

“Bang, yuk, kita pulang. Ibu sedang menunggumu di rumah.”

Hanif tak merespon dan menepis tangan Hasan yang mencoba memegangnya. Hasan lekas merangkul Hanif. Namun, ternyata tubuh Hasan didorong keras hingga jatuh terpental ke tanah. Merasa dirinya terancam, Hanif pun berlari sekuat tenaga, sembari membawa sebilah kayu di tangan kanannya, lalu lenyap di pekatnya malam.

 

****

 

 

 

Ikuti tulisan menarik ziya idrus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler