x

Iklan

AGUS SUPRIADI

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:25 WIB

Samudera Kasih Sayang

Tuhan, orang tua yang melahirkan, menyusui, merawat, dan mencari nafkah untuk anaknya itu mau dibuang. Seorang Ibu yang bertahun-tahun mencari nafkah, tidak peduli cucuran keringat, tidak peduli terik matahari memanggang, tidak peduli deras hujan mengguyur, tidak peduli kesehatan fisik, tidak peduli malu bekerja serabutan asal anaknya bisa sekolah, dan sekarang pejuang sejati itu mau dibuang ke tengah hutan. Adakah yang tega melihat kedhaliman itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Samudera Kasih Sayang

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibu

Oleh: Afif Hidayat

Email: yuskifauzialfaruq@gmail.com

WA: 081232880591

 

“Ibu tidak apa-apa?” Ais menatap lamat-lamat wajah yang terbujur kaku di hadapannya. Pucat dan tidak berdaya untuk bergerak sejengkel pun.

Orang tua itu menggeleng lantas tersenyum. Senyum tulus seorang ibu yang tidak akan pernah sirna oleh kondisi apa pun.

“Berangkatlah, Nak!” Ibu Nayla berusaha tersenyum.

Ais menggeleng. Ia tidak akan pergi meninggalkan orang tuanya yang sudah berjuang membiayai sekolahnya. Anak itu tidak akan pergi ke kampus untuk ujian skripsi. Sekali lagi ia tidak akan pergi meninggalkan ibunya yang berbaring sendiri di rumah reot itu.

“Anakku, pergilah! Ujian skripsi jauh lebih penting dari pada kamu hanya menunggui Ibu di sini. Tunaikan janjimu kepada Ibu, Nak bahwa kamu akan lulus kuliah dan menjadi anak yang bermanfaat.”

“Tidak, Ibu, aku akan di sini menunggui Ibu, menjaga dan merawat Ibu. Skripsi jika dibandingkan dengan Ibu tidak ada apa-apanya. Aku akan tetap di sini apapun risikonya. Sakit Ibu sangat parah.” Lihat ayo lihat apa yang dilakukan anak itu, ia sudah memeluk erat tubuh ibunya yang berbaring tak berdaya, menangis terisak, air matanya berjatuhan.

“Anakku, pergilah demi Ibu, Nak. Ibu mohon pergilah, Nak, tunaikan janjimu demi Ibu! Ibu mohon.” Ibu Nayla memeluk erat anaknya. Suaranya bergetar. Ia menahan kuat-kuat air matanya agar tidak keluar.

Denting waktu berlalu dibius senyap.

Maka Ais demi mendengar kalimat bergetar ibunya, demi mendengar perintah suci dari ibunya, ia langsung bergegas bangkit. Matanya menyala berbinar. Ia telah menemukan semangat baru. Pagi ini ia akan berangkat mengemban tugas mulia, membawa sabda sakral seorang Ibu. Ia akan berangkat ujian skripsi demi ibunya tercinta.

Namun sebelum berangkat, demi mendapat berkah, ia mencium telapak kaki ibunya, menangis terisak di bawah telapak kaki ibunya, berkata lembut meminta doa.

Ya Allah, hati ibu mana yang tidak bergetar ketika telapak kakinya dicium, menangis meminta restu dan doa di hadapannya?

“Berangkatlah, Nak! Ibu sudah ridho. Berangkatlah, kamu pasti sukses! Doa ibu menyertaimu.” Kali ini orang tua itu sudah tidak mampu lagi menahan air mata, tidak kuat lagi menahan isak tangis.

Pagi itu tangis-tangis yang diridoi Allah berderai meningkahi kicauan burung pagi. Tangis bakti seorang anak dan tangis haru seorang Ibu. Juga di pagi itu Ais berangkat dengan langkah semangat demi menunaikan janji sucinya kepada ibunya.

Dan andai kata Ais tahu, pagi itu, di atas ranjang rumah reot itu, orang tua itu berjuang mati-matian menahan sakit di sekujur tubuhnya. Sendirian. Iya, hanya sendirian.

***

Waktu terus berlalu. Ais sudah wisuda menggelar predikat Cum Laude di kampus. Ia tampil sebagai lulusan terbaik dan sempurna. Bahkan sekarang ia sukses dalam bidang usaha. Meskipun menjadi orang kaya raya Ais tetap setia terhadap istrinya. Di sinilah potongan cerita mengapa Ais setia kepada istrinya. Lima tahun silam di pantai Telaga Daya.

Semilir angin pantai begitu pelan menerpa wajah Yelza dengan lembut. Sesekali membelai rambutnya yang hitam legam sehingga rahasia cantik yang tersembunyi tersingkap dengan jelas. Sore yang indah bagi mereka. Ada Ais yang hatinya berdebar-debar. Ada Yelza yang hatinya berdesir hebat diselimuti rasa penasaran. Mereka duduk di tepi pantai, membiarkan sepasang kakinya dijilat-jilat debur ombak. Sepasang matanya menatap ke depan, menikmati berlarik-larik senja yang berwajah jingga.

“Kamu tahu kenapa aku mengajak kamu ke sini?”

Yelza menggeleng.

“Karena aku ingin keindahan pantai ini menjadi saksi bisu atas deklarasi hatiku. Bahwa hati ini telah jatuh cinta kepadamu, Za.”

Lihat ayo lihat bagaiamana ekpresi Yelza, gadis ‘penyihir’ itu hanya bisa diam, tersenyum malu-malu, menyeringai salah tingkah, kadang juga menggigit pelan merah bibirnya. Jangan tanya seperti apa situasi hatinya saat ini. Astaga, pipi Yelza sudah seperti buah yang masak. Merah ranum. Manisnya minta ampun. Yelza pelan mengangkat wajahnya. Kelopak matanya begitu teduh. Lentik alisnya menggoda. Matanya biru mengandung pesona.

“Bagaimana, Za?” Lirih Ais mengajukan sederet kalimat pertanyaan.

Lihatlah, air mata itu sudah mengalir. Apakah itu sebuah tetesan air mata permulaan. Bukan. Air mata itu sudah tadi bergelinding, saling kejar-mengejar. Yelza menggeleng. Terisak. Air matanya mengalir deras.

“Apakah hatimu sudah ada yang menemani?”

Yelza kembali menggeleng. Tertunduk dalam-dalam.

“Lalu...”

“Mama telah mengirim seseorang untuk menjaga dan menemani hatiku, Ais.” Maka sekarang, usai mengungkapkan kalimat terberat itu, Yelza sudah lelah menahan isak.

“Demi kamu, aku rela menunggu.” Lihat ekpresi Ais, tidak ada keraguan yang tergurat di wajahnya. Kalimat itu benar-benar bergetar.

“Tapi...”

“Karena aku ingin seperti pucuk daun yang merindukan embun tanpa kata.”

Selesai. Maka di ujung kalimat nekat itu, sudah tidak ada lagi bahan perbincangan. Topik itu sudah selesai. Pembahasan tentang getar-getar hati itu sudah berakhir. Mereka bergegas pulang. Membawa warna abu-abu. Sore itu, di Pantai Telaga Daya, mereka pulang membawa air mata.

***

Satu tahun kemudian. Di tempat yang sama. Pantai Telaga Daya.

“Ini apa?” Ais menyerahkan potongan kertas warna-warni kepada Yelza. Itu catatan hati Yelza untuk Ais.

Sontak mata indah itu membulat. Alis lentik itu tertaut. Kening itu berkerut. Dan hati itu berdegup kencang.

“Di.... dimana ka.... kamu dapat ke.... kertas i.... ini?” Terbata. Bergetar. Suara itu benar-benar terbata, putus-putus, dan terdengar bergetar.

“Kamu pandai menyembunyikan rasa itu. Menyiksa diri. Bahkan berusaha menjauh dariku. Kenapa, Yelza, kenapa? Ayo katakan kenapa kamu berbohong dengan dirimu sendiri?”

Yelza menahan kuat-kuat agar air matanya tidak mengalir. Tidak. Pada akhirnya gadis itu lelah juga menahan air mata. Bergegas Yelza berlari, menjauh dari Ais. Terhenti. Ais yang membuatnya terhenti. Reflek menarik tangan Yelza, bahkan sampai setengah terangkul.

 “Tolong dengarkan baik-baik, Za. Aku mencintaimu. Sungguh. Di dalam hati ini hanya ada satu gadis. Namanya Yelza Elyiana. Sebutannya Za.” Lihat mata Ais, ia menatap lamat-lamat mata Yelza, sebenarnya Yelza juga begitu, mereka seperti sedang mengintip warna hati masing-masing.

“Apakah kamu masih belum yakin? Kenapa kamu tidak mau mengakui perasaan itu? Atau apakah ada orang yang mengancam kamu?”

Yelza menggeleng.

“Lalu...”

“Za tidak pantas buat Kakak.” Terisak. “Kakak bintang, sementara Za hanya lumpur hitam....” Terhenti. Isak yang menyela.

“Astaga, hei, aku mencintaimu tulus, Za. Aku mencintaimu apa adanya. Aku mencintaimu tanpa alasan. Tapi kamu adalah alasan aku bahagia. Sungguh. Bahkan jiwa dan raga ini akan aku taruhkan untuk membuatmu bahagia. Demi Tuhan, Za.”

Maka Yelza, usai mendengar kalimat indah itu, yang dari getar-getar suaranya membuktikan bahwa kalimat itu keluar dari hati, gadis itu sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menolak.

Hanya saja Ais tidak tahu mengapa Yelza menjauh darinya. Anak genius itu benar-benar tidak tahu bahwa alasan tidak pantas bukanlah setangkai alasan inti. Esok-esok Ais akan tahu alasan yang sebenarnya. Penyesalan akan terbit di ujung kisah ini.

***

10 tahun kemudian. Ais sudah berkeluarga dengan Yelza. Ia telah sukses dan kaya.

“Aku gak bisa, Mas.” Yelza merajuk, menepis keras tangan suaminya.

Yelza tetap saja tidak mau, ia memberontak. Pokoknya, mau tidak mau keinginannya harus dipenuhi. Orang tua itu harus segera pergi dari rumahnya. Ya Allah, ibu yang bertahun-tahun memikirkan dan mendoakan anaknya itu diminta diusir oleh Yelza karena ia muak melihat wajah ibu Ais yang buruk rupa itu.

Ais bingung. Di ujung kalimat istrinya tadi tersirat kalimat ultimatum, antara memilih istri atau Ibu. Di sinilah kesalahan anak genius itu dalam memilih. Dia memilih istri dari pada Ibu dan bersedia mengikuti istrinya untuk membuang ibunya sendiri.

Maka saat pagi masih petang, Ais mengajak ibunya jalan-jalan. Ibu Nayla menggeleng pelan saat diajak jalan-jalan pagi. Ais terus membujuk dengan alasan bahwa hari ini adalah Hari Ibu. Maka Ibu Nayla, demi membuat anaknya bahagia, demi membuat anaknya tersenyum senang, akhirnya ia mengangguk tulus. Tidak peduli kakinya yang lumpuh. Tidak peduli badannya yang lemah. Tidak peduli kondisinya yang menghawatirkan. Dia dengan tulus dan lugu ikut dengan anaknya karena yang ada dipikiran orang tua renta itu adalah kebahagiaan anaknya. Demi Allah, hanya itu. Tidak pernah mengharap lebih.

Ibu Nayla dan Ais sudah berada di dalam mobil. Ais memacu mobil dengan kecepatan cepat. Ibu Nayla berucap lembut agar menurunkan kecepatannya. Orang tua itu benar-benar takut dengan laju mobil yang sangat cepat. Tapi lagi-lagi Ais berkata bahwa acara Hari Ibu akan segera dimulai. Orang tua renta itu hanya mengangguk polos lantas tersenyum tulus.

Akhirnya mereka telah sampai. Pelan-pelan Ais menggendong tubuh ibunya. Ibu Nayla sontak kaget saat menatap sekitar. Hutan lebat dan menakutkan.

“Ini dimana, Nak, Ibu takut.” Lembut suara orang tua itu terdengar.

“Maafkan aku, Ibu, aku harus membuang kamu ke tengah hutan. Aku sudah tidak betah lagi tinggal bersamamu.” Ais sudah membawa lari ibunya.

Tuhan, orang tua yang melahirkan, menyusui, merawat, dan mencari nafkah untuk anaknya itu mau dibuang. Seorang Ibu yang bertahun-tahun mencari nafkah, tidak peduli cucuran keringat, tidak peduli terik matahari memanggang, tidak peduli deras hujan mengguyur, tidak peduli kesehatan fisik, tidak peduli malu bekerja serabutan asal anaknya bisa sekolah, dan sekarang pejuang sejati itu mau dibuang ke tengah hutan. Adakah yang tega melihat kedhaliman itu?

Oh Tuhan, seluruh malaikatMu pasti menangis pilu menyaksikan kedurhakaan itu. 

Ya Allah, apakah Ibu itu marah, benci, bahkan dendam? Tidak. Ibu itu justru terisak pelan, tersenyum tulus, dan menerima apa pun yang diinginkan anaknya asal anaknya bahagia. Tidak peduli meski dirinya dibuang ke tengah hutan. Bahkan orang tua renta itu pelan-pelan meminta kepadaMu agar anaknya tidak dihukum sebab orang tua itu sudah rela dan ikhlas asal anaknya bahagia.

Ya Allah, betapa mulianya hati seorang Ibu.

Ais terseok-seok menggendong tubuh ibunya yang lumpuh. Beberapa menit kemudian akhirnya mereka telah sampai ke tempat pembuangan. Saat Ais bersiap membuang orang tuanya, saat Ais mengambil ancang-ancang melempar orang tuanya ke dalam jurang yang sangat dalam, saat itulah orang tua itu berkata serak dengan suara bergetar.

“Nak, kamu sudah terlalu jauh melangkah masuk ke dalam hutan. Dan Ibu yakin kamu pasti bingung dan tidak akan bisa keluar dari hutan ini. Tapi kamu tenang ya, Nak, Ibu telah menabur ranting-ranting pohon sepanjang perjalanan agar kamu tidak tersesat ketika pulang nanti.”

Ya Allah, kalimat itu tersampaikan dengan tulus, bergetar dan penuh dengan isak tangis. Orang tua itu memang lugu tapi jangan tanya kemuliaan hatinya. Bahkan malaikat penjaga surga sekalipun, dia tidak akan sanggup menandingi kemuliaan hati seorang Ibu.

Maka Ais, usai mendengar kalimat polos itu, kalimat yang keluar dari hati nurani tanpa dendam setitik pun, ia sudah bersungkur tak berdaya, berkali-kali memeluk kaki ibunya, berkali-kali mencium telapak kaki ibunya, dan berkali-kali meminta maaf kepada ibunya.

Rasa sesal itu datang seketika. Memutar ulang cerita silam bersama Yelza, menampilkan kembali kalimat yang disampaikan gadis idamannya.

Za tidak pantas buat Kakak. Kakak bintang sementara Za lumpur hitam.

Andai hati Ais tidak dibutakan oleh cinta, waktu itu, detik itu, di pantai itu Yelza sudah mengakui sisi gelap dunianya. Tapi pada saat itu cinta telah membuat buta hati Ais sehingga dia terkecoh penampilan fisik Yelza yang memukau nan menggoda.      

 Ais memeluk erat-erat tubuh ibunya. Pagi itu, hutan itu, ranting pohon itu, jurang itu adalah saksi bisu bahwa tak akan ada yang mampu menandingi kemuliaan hati seorang Ibu. Siapa pun itu.[]

 

Ikuti tulisan menarik AGUS SUPRIADI lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB