x

Sumber : freepik/rawpixel.com

Iklan

Sion Geva

Penginisiasi Fiksi Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:28 WIB

Aspirasi Menjadi Manusia


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lagi aku melihat dengan mata kepalaku, keluargaku ditembak mati. Kali ini apalagi kesalahan yang dituduhkan padanya? Merusak kebun? Mencuri makanan? Bahkan mengagetkan seorang anak manusia pun bisa menyebabkan nyawa kami melayang.

Lima belas menit sebelum kerusuhan itu terjadi, aku sudah mengingatkannya untuk jangan pergi. Aku tahu rasa laparnya tidak tertahankan. Aku mengerti kalau rasa hausnya menyiksa tenggorokan. Tapi harusnya ia tahu sendiri, bagi manusia, kepentingannya lebih berharga dari nyawa kami!

Saat itu, tubuh keluargaku yang telah terkapar diseret oleh dua lelaki besar. Dengan kasar seorang dari mereka menjambak tengkuk penuh rambut dirinya sambil tertawa. Sementara rekannya mengomel supaya orang-orang yang berkerumun segera bubar. Kupandangi dua puluh jari kakinya yang biasanya ia pakai untuk memetik buah tarap, kadang kala membaginya denganku atau betina pasangannya, atau untuk menggaruk mencari kutu, ikut terseret di tanah kering membentuk jalur bergaris panjang. Seolah-olah meninggalkan jejak agar aku mengejarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dua manusia itu berseru sangat keras. Sepertinya sedang berdebat. Mereka tidak peduli sekalipun orang-orang yang tadi sudah capek-capek mereka bubarkan melirik mereka lagi akibat rasa penasaran. Nah, aku yang hanya seekor Kera tidak mengerti bahasa manusia. Yang bisa kuterjemahkan lewat bahasa tubuh sebelum mereka hilang ke sebuah besi beroda empat adalah mereka ingin melakukan sesuatu terhadap bangkai keluargaku. Ah, aku bisa menebak sekarang. Dari cara mereka melemparkan tubuhnya ke bak terbuka benda besi beroda empat itu. Mereka pasti sedang tuding-tudingan siapa yang bertugas membuang tubuh hewan tak bernyawa itu.

Sebelum sakit hatiku semakin mendalam, aku memutuskan untuk pergi. Sebelum ada manusia lain menyadari kehadiranku kemudian aku akan bernasib sepertinya. Lagipula, tak ada gunanya bersembunyi lebih lama, karena semua sudah terlambat. Kalau awalnya aku mengejar dengan sekuat tenaga ke pemukiman manusia ini demi menariknya pulang, kusadari belakangan kalau tidak ada yang perlu kubawa pulang lagi.

 

Aku bertengger di sebuah pohon Kapul. Belum ada satu hari lamanya aku masih saling berbagi buah di sini. Dulu kala, sebelum hutan ini dibabat, keluargaku itu bersama dengan betina pasangannya dan anak-anaknya sibuk bergelantungan dan berteriak-teriak. Tak jarang anak-anaknya yang baru lepas dari disusui induknya jahil merenggut ekor Lemur, Trenggiling, bahkan Kucing hutan. Biarpun ia suka mengomeli anak-anaknya sambil tak jarang mementung kepala mereka dengan kepalan kaki atasnya, masih saja mereka tidak kapok. Pernah suatu kali mereka sengaja bermain sangat jauh dan pulang ketika hari sudah gelap. Bukannya minta maaf, mereka malah mengejutkan keluargaku itu dengan seekor Landak berbulu.

“Mereka sengaja melemparkan Landak berbulu itu ke mukanya!” Aku cekikikan mengingat momen tersebut.

Yah, kalau kurenungkan lagi semuanya tinggal kenangan. Sejauh mataku memandang, pepohonan yang termasuk dalam wilayah kawanan kami sudah rata dengan tanah. Tanah yang ternoda dengan darah mereka semua. Tapi sekiranya itu masih lebih baik. Aku mendengar dari para burung yang bermigrasi kalau hutan asal mereka dilahap api. Menyisakan siapa pun yang terjebak dalam lautan api tersebut mati dalam siksaan. Paling tidak, mereka yang pernah hidup berdampingan denganku mati secara instan.

Aku menggapai beberapa buah kapul yang tersisa. Mempersiapkan bekal untuk perjalanan panjang. Mencari tempat tinggal baru, berharap untuk kehidupan yang lebih layak.

“Selamat tinggal, Kawan,” bisikku. Aku menggarukkan cakarku ke batang pohon Kapul. Menyisakan jejak kalau dahulu kawanan Kera pernah berkuasa di sini.

 

Yang kutahu hanyalah pindah sejauh-jauhnya dari tempat lamaku. Kemana pun itu. Hewan-hewan lain sebelum ikut bermigrasi memperingatkan aku yang bersikeras untuk tinggal. Sekali manusia sudah datang lalu mengambil alih, mereka tidak segan untuk terus meratakan bagian hutan yang lain ke tanah. Mereka bilang kalau manusia menyebutnya dengan “pembukaan lahan”. Memapas habis pohon, sarang, semuanya yang tidak menguntungkan mereka. Para hewan yang melawan, apa pun itu, ditembak tak terkecuali.

Selama perjalanan panjang sekali dua kali aku melihat pemukiman manusia. Begitu sadar aku terlalu dekat dengan mereka, aku buru-buru berbelok kembali ke dalam hutan. Takkan kulupakan masa dimana keluargaku itu menangis meraung-raung. Ia kehilangan betina pasangannya ketika ia sedang mencoba mengambil makanan dari kebun milik manusia. Saat itu kami semua sangat kekurangan makanan karena pohon-pohon yang menghasilkan buah sudah ditebangi. Ia cuma bermaksud menyediakan makanan untuk anak-anaknya, malahan bernasib naas. Aku marah. Aku ingin sekali membalaskannya pada mereka. Tapi lihat, anak-anaknya yang tidak terima menghambur pada sekumpulan manusia dan berakhir ikut terbujur kaku di samping induknya. Sejak itu kami berdua saja untuk waktu yang lama.

Sebenarnya aku menyesal. Andai aku bisa memutar ulang waktu. Aku akan menyeretnya keluar dari hutan tanpa pengharapan itu. Betapa bodohnya kami rela kelaparan demi mempertahankan wilayah yang sepantasnya kami tinggalkan!

 

Yang menandakan hari telah berganti adalah nyanyian sajak pagi para burung. Mendengar mereka, sekaligus mengingatkanku kalau aku sudah tiba di hutan yang berkehidupan. Tidak seperti yang katanya hutan yang kulalui selama berhari-hari. Dari matahari terbit hingga langit menjadi gelap lalu terang lagi. Seekor rakun atau tikus pun tak bisa kutemukan.

“Akhirnya kau memutuskan untuk hengkang, Kera?” sapa suara yang familiar.

Sambil memanjat ke ranting teratas pohon Kasturi pertama yang kulihat, aku mendongak. Rupanya kawan lama kawanan kami, Kelasi tua. Warna rambutnya yang menyala merah seperti langit sore takkan mungkin kulupakan.

“Dan kemana tuan Kera yang selalu bersamamu?”

Aku tidak memedulikan pertanyaan si Kelasi. Lebih baik aku memuaskan rasa laparku dengan buah-buah kasturi.

“Dulu ia mengomeliku balik waktu mengajak kalian cepat-cepat pergi.”

“Baiklah, Kelasi tua. Berhentilah mengoceh. Aku menyesal tidak ikut mengomelinya bersamamu.”

Kelasi tua terdiam. Melihatku merengut sambil terburu-buru makan menyadarkannya pada sesuatu. Amarah yang tidak tersampaikan. Ia pun memilih untuk pergi meninggalkanku sendiri.

Begitu perutku penuh, aku duduk bersantai di ranting pohon yang lebih besar. Demi berjuang melawan rasa kantuk, aku menerawang hutan yang baru. Tidak ada satu pun yang kukenal. Semua asing. Terlebih lagi, aku sendirian di sini. Tapi, apa gunanya mengeluh? Bukannya dari awal itu harapanku? Mencari kehidupan yang layak daripada hutan yang sudah dibuang. Sekalipun aku kesepian, asal kehidupanku lebih baik. Memikirkannya membuatku mengantuk.

 

Benar-benar tidak ada seekor Kera pun di hutan yang baru ini. Aku sudah mengelilingi beberapa bagian dan tidak menemukan kawanan yang baru. Aku tidak menggerutu karena tidak bisa kawin dan memiliki anak-anak sebagaimana yang keluargaku lakukan. Aku hanya sedih karena tidak ada yang bisa kuajak berbagi. Setiap hari semenjak kepindahanku kemari, aku hanya memetiki buah-buah untuk diriku sendiri.

Mungkin ini akan berlalu sampai aku mati. Mati karena kesepian dan primata lain akan tertawa saat melihat bangkaiku. Yah, itu yang kutafsirkan pada kehidupan baru yang menjengahkan ini. Tapi ternyata roda nasib berputar kembali. Rupanya aku ditakdirkan terus berurusan dengan para pembantai keluargaku.

Suatu pagi yang seharusnya disambut burung dengan kicauan ceria, timbul kegemparan. Tanah bergetar hebat. Tiba-tiba pohon dari segala arah tumbang. Terdengar bunyi berbagai desingan yang memekakan telinga. Benda besi dengan ujung-ujung setajam taring macan juga benda besi raksasa yang berjalan mendekat meratakan apa pun yang menghadangnya ke tanah. Dan satu suara paling kejam yang tidak asing lagi; peluru.

Aku ingin menyerah. Untuk apa aku lari sejauh itu kalau ternyata akan bertemu mereka lagi? Bahkan aku harus sekali lagi melihat dari jauh dua orang yang meringkus bangkai keluargaku. Kesempatan itu, mereka menodongkan benda besi di tangan mereka lagi. Badanku gemetar ketakukan waktu kutahu mereka mengangkat benda itu ke depan muka Kelasi tua.

“Apa yang kau lakukan, Kelasi tua!? Pergi dari sana!!” seruku sekuat tenaga. Suaraku menggema, bersaing dengan bunyi desingan besi-besi tersebut.

Kelasi tua menoleh. “Tidak. Kali ini kau pergilah!”

Kata-kata terakhir yang Kelasi tua ucapkan. Para manusia mengira Kelasi tua melawan dengan ngotot tidak berpindah dari area yang mau mereka gilas. Mereka menembak Kelasi tua yang aku kenal selama bertahun-tahun tepat di keningnya. Badannya ambruk begitu saja. Dua manusia yang sama mendecakkan lidah. Lelaki yang sama menyeret tubuh Kelasi tua yang sudah tak bernyawa ke bak terbuka benda besi yang dulu menjadi tandu pembawa mayat keluargaku.

“Ikut kami!”

Kawanan kelasi yang Kelasi tua lindungi merebut kakiku. Aku meronta-ronta. Rasa syok membakar amarah yang dari dulu kupendam. Aku ingin menyongsong para manusia itu. Ingin mencakar-cakar mereka yang sudah merebut keluargaku. Ingin melakukan apapun untuk menunjukkan pada mereka kalau aku berang.

Aku menepis cengkraman para kelasi. Nyaris melepaskan diri dan siap untuk berkelahi. Sampai muncul Kelasi berbadan paling besar yang tak pernah kutemui sebelumnya. Tanpa banyak bicara ia menjambak rambut di tengkukku. Rasanya leherku bisa botak kalau ia tidak segera melepaskanku. Nyatanya ia tidak peduli. Ia tetap menarikku, menjauhkanku dari sumber huru-hara bersama kawanannya.

Dengan ini aku terseok-seok berbaur dengan kawanan kelasi yang dalam kepanikan mengungsi. Oleh karena si Kelasi kekar tidak melepaskan cengkramannya, aku hanya bisa sekali menoleh ke belakang. Sungguhan pun yang terakhir kalinya. Kerabat yang terakhir sudah ditangkap juga. Inilah saat untuk mengucapkan selamat tinggal lagi pada rumahku yang siap berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Bertahun-tahun aku sudah melihat, cara hidup mereka yang boleh merugikan kami para hewan. Aku hanya berkeinginan kalau suatu hari nanti ada keadilan yang boleh mengijikan kami merugikan mereka.

Itu hanyalah keinginan yang takkan mungkin terkabulkan. Keinginan yang lahir dari dendam. Aku menelan semuanya dalam diam. Semoga saja keinginan nan niskala ini tercerna dan terbuang begitu kami sampai di hutan yang baru.

Ikuti tulisan menarik Sion Geva lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu