x

Iklan

Res!

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:45 WIB

Batik Kenangan

Didiagnosis kanker bukanlah perkara yang sepele. Apalagi jika tanggungan hidup masih banyak. Ketika seseorang berada di suatu titik kritis dalam kehidupan, bagaimana ia mencari ketenangan? Cerpen ini mengajak kita, manusia modern hari ini, untuk kembali ke kearifan lokal, menggali dan mencari nasehat hidup dari keseharian dan kebersahajaan yang sudah ada dalam kepribadian masyarakat kita sejak dulu...sebelum memori baru mengubur jati diri kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Urip iku urup. Hidup itu nyala…” kata bapak disela hirupan rokok kreteknya. Setiap sore bapak biasanya duduk di beranda, memberiku wejangan, ditemani secangkir kopi. Cuaca hari ini muram setelah hujan seharian. 

Aku termasuk pencinta petrikor, tapi tiba-tiba aroma hujan yang jatuh di tanah kering kotaku hari ini tak seharum aroma rokok kretek bapakku. Walaupun tidak suka merokok, aku suka aroma rempah berpadu tembakau dalam rokok kretek. Selain bunga cengkeh, terkadang pala, kayu manis dan jintan juga ditambahkan di dalam rajangan tembakau, sebelum dilinting di dalam kertas sigaret. Bagiku, efeknya menenangkan. Entahlah, apakah mungkin ini karena bapak.

Tak ada yang lebih memorabel daripada aroma. “Kau tahu kan? Hidung kita ini adalah sisa yang penting dari evolusi manusia. Semacam peninggalan sejak zaman purba yang membantu kita untuk bertahan hidup. Alat penghidu kita ini adalah jalan pintas tercepat yang terhubung dengan hippocampus, di mana memori kita tersimpan. Walaupun memori purba kita terkubur tumpukan memori yang baru, jika saraf olfaktorius di otak kita menerima sensasi aroma tertentu, data memori yang terasosiasi dengan aroma itu bisa dihadirkan lagi dengan cepat,” begitu kata bapak. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bapakku seorang pensiunan kepala sekolah yang rajin membaca dan sangat mencintai pekerjaannya. Padahal gajinya kecil, sementara tanggung jawabnya banyak. Seringkali orang tua murid datang minta bantuan ini-itu kepada bapak, termasuk minta keringanan uang bayaran, yang harus bapak teruskan lagi kepada yayasan. Bapak juga tak pernah mengeluh harus membesarkan kami berempat tanpa ibu yang meninggal saat melahirkan adikku yang terakhir. 

Ya, bapakku selalu mengajarkan, bahwa hidup itu soal kebermanfaatan diri kita. Bahwa hidup manusia itu seyogyanya lilin yang menyala. 

“Kalau seperti lilin, cuma menerangi yang lain, nanti kita sendiri habis terbakar, Pak,” komentarku. 

“Lho…ya, fungsinya lilin memang itu. Kalau bukan untuk itu, untuk apa lilin dibuat? Toh, pada saat memberi manfaat cahaya kepada yang lain, kita sendiri ikut terang. Apa ruginya? Apa-apa yang kita lakukan dengan cinta, ringan rasanya dan manis hasilnya. Coba belajar dari lebah. Fokus kepada yang indah-indah, menghasilkan madu manis yang banyak manfaatnya. Apa pernah lebah atau semut mengeluh kenapa nasibnya begitu dan harus kerja-keras? Apa pernah juga lebah menghitung-hitung pahala? Yang banyak mengeluh dan berhitung-hitung itu manusia. Hidup ini jadi tak ubahnya perdagangan saja. Sibuk dengan perhitungan balans untung-rugi. Jangan begitulah. Semakin kita sadar kita diberi akal-budi, semakin kita seharusnya memahami bahwa gunanya pikiran itu untuk membangkitkan kesadaran.”

Bapak menghisap lagi rokok kreteknya dalam-dalam, hingga bara rokoknya berpendar-pendar. Konon kata kretek ini semacam onomatope, berasal dari bunyi ‘kretek-kretek’ bara api yang membakar tembakau dan cengkeh di dalamnya. 

Bara dari percikan abu rokok bapak terbang tertiup angin dan hinggap di lengan kanan kemeja bapak. Meskipun bapak segera menepisnya, tapi api sudah sempat melubangi kemeja batik itu. 

“Ah, sayang sekali, Pak. Masih bagus sudah bolong.” 

“Tidak apa-apa. Namanya pakaian, ya untuk dipakai. Risikonya, ya robek atau bolong. Sama seperti barang pecah-belah, ya untuk digunakan. Lha, risikonya kalau tidak pecah, ya belah. Memang sudah begitu ketentuannya.” 

Bapak memeriksa kemeja batiknya. “Cuma bolong begini, masih bisa dipakai kok.”

Kemeja kesayangan hitam dengan motif parang kuning kecoklatan ini memang sering sekali bapak pakai. Hadiah perpisahan dari anak-anak didiknya.

“Parang ini kan bentuknya seperti ombak di laut. Bergerak terus, saling berkejaran terus-menerus. Perlambang semangat yang tidak pernah patah. Tidak pernah menyerah. Bapak senang anak-anak itu paham artinya. Generasi muda harus begitu.”

“Aku takut, Pak,” kataku sambil memperlihatkan surat hasil CT scan yang aku ambil tadi pagi. 

Bapak membaca dan mempelajari surat itu. Amplop besar yang berisi foto, aku tinggal di bawah meja kantor. Takut basah kehujanan, kalau aku bawa pulang. Lagipula, aku ragu memberitahukan hasilnya kepada orang rumah. Bahwa aku memeriksakan diri dengan CT scan pun, mereka tidak tahu. 

“Bapak bangga padamu. Bapak tahu, bebanmu juga sudah cukup berat membiayai adik-adikmu.” 

Kata-kata bapak tak menjawab ketakutanku. 

“Kenapa sih, Pak, aku mesti begini? Adik-adik kan belum pada mandiri.”

“Nak, semesta-Nya itu bukan semestinya kita. Kita ini cuma hamba. Lakukan yang terbaik semampu kita untuk menjalankan fungsi dan tugas kita. Itu saja. Waktu dan hasil, itu bukan urusan kita. Lagipula, sudah dari sananya segalanya dalam kehidupan datang berpasangan. Ada pasang, ada surut. Ada sehat, ada sakit. Ada hidup, ada mati. Semua natural dan netral saja tanpa Tuhan sengaja ingin menyiksa.”

Aku hanya bisa diam, mendengarkan sambil tak terasa berlinang air mata. 

“Apa yang kamu takutkan? Kenapa sibuk memikirkan kematian? Hadapi yang ada saat ini dulu. Kuatir atau tidak, tidak akan mengubah apa-apa. Jadi, bagaimana kalau memilih untuk tenang saja, pasrah dan tidak kuatir?”

“Masa’ pasrah sih, Pak?”

“Pasrah beda dengan tidak berusaha. Pasrah itu berani menjalani apapun hasilnya setelah memaksimalkan ikhtiar. Kalau ibaratnya kita harus menghadapi hunusan pedang, bukankah pasrah itu butuh keberanian? Orang yang kuatir itu sesungguhnya punya kesombongan laten bahwa segala sesuatunya seakan bisa ‘kuatur’. Padahal kalau sadar bahwa hidup sudah ada Gusti Allah yang mengatur, sesungguhnya tidak ada yang perlu dikuatirkan. Tugas kita hanya ikhlas menjalani.”

Mungkin bapak benar. Lagi-lagi dengan pengecutnya kita bersembunyi di balik kata manusiawi. Untuk tidak mampu mengendalikan diri dari kekhawatiran, keputusasaan. Merujuk diri bahwa kita bukan batu, terdiri dari darah dan daging yang tak dapat menghindari perasaan dan emosi. Memilih kemudahan jadi manusia yang selalu punya alasan untuk lari dari keikhlasan. Dari menerima takdir dan percaya sepenuhnya bahwa tak ada yang tak baik yang Tuhan gariskan, sesulit apapun kehidupan. Mangkir dari berendah hati bahwa hidup ini ada Yang Mengatur dan bahwa free will kita sebagai manusia terbatas pada bagaimana harus berespons dan berendah hati untuk ikhlas dan percaya bahwa Tuhan mengatur sebaik-baiknya.

“Jadi bagaimana ini, Pak? Sebaiknya aku kasih tahu adik-adik atau tidak?”

“Itu terserah kamu, apakah mau ceritakan kondisimu. Bapak tidak berhak menentukan. Dokter bilang apa?”

“Dokter bilang, stadium 4, Pak,” aku menambahkan info. Bapak hanya menghela nafas panjang. Bapak menghirup lagi rokok kreteknya. Agak lama dan dalam. 

“Itu kan kata dokter. Dokter bukan Gusti Allah, hanya perpanjangan tangan jika Sang Maha Kuasa ridho. Bapak cuma titip pesan… Hidup itu butuh keberanian. Kalau kau masih takut mati, maka, beranilah hidup. Karena segalanya dalam hidup adalah soal kepantasan yang tak tertukar, hadapi segalanya dalam hidup dengan keberanian yang tak tertakar. Kadang kita ini seperti baju batik. Ketika masih kain dimalam, dilorod. Berproses dalam ketidaknyamanan. Walau bolong kena percikan rokok kan batik ini juga masih bisa dipakai. Ketidaksempurnaan kita juga bagian dari perjalanan kok. Yah, mungkin karena kondisi kesehatanmu, kamu ibarat baju batik bolong yang tak sesempurna sebelumnya. Tapi jangan menyerah. Selama Pemilikmu masih mau memakaimu dan belum menyuruhmu istirahat, ya tetap jalankan fungsimu.”

Nggih, Pak,” aku mengangguk penuh haru. Rasanya sesak di tenggorokan. Namun aku jauh lebih tenang dan penuh keyakinan. Bahwasanya hidup dan matiku adalah kuasa Yang Maha Besar. 

“Mbak…lagi apa? Kok dari tadi bengong pegang baju batik almarhum bapak? Mbak kangen bapak ya?”

Tiba-tiba suara salah satu adikku mengejutkan, seiring buyarnya bayangan bapakku ditelan rinai hujan. Kulipat segera kemeja batik bapak yang sejak tadi ada di pangkuan untuk menyembunyikan surat hasil CT scan, agar tak terlihat oleh adikku. Kemeja batik yang berlubang di bagian lengan, karena cipratan bara abu rokok kreteknya di masa lalu. Kemeja batik yang kusimpan sebagai kenangan kebersamaan dengan ayah dan guruku dalam kehidupan. 

Urip iku urup. Hidup itu nyala. Dalam semangat, dalam kobar. Aku akan berjuang semampuku melawan kanker ini. Tugas-tugasku belum selesai. Aku masih harus membiayai sekolah adik-adikku, mengantar mereka ke kemandirian. Semoga nyala lilinku tetap berkobar hingga manfaatku kelar. Karena segalanya dalam hidup adalah soal kepantasan yang tak tertukar, hadapi segalanya dengan keberanian yang tak tertakar. 

 

Ikuti tulisan menarik Res! lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB