x

Iklan

Maheswari Naira

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIB

Nadir dan Nadia

Ini bukan sebuah akkhir bahagia dari perpisahan 2000 hari yang telah berlalu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

NADIR DAN NADIA

 

Di bawah rintikan hujan Kota Jakarta, perempuan itu menyesap kopi bersamaan dengan pahitnya yang hampir habis. Rasa ini laksana debu yang mengalir bersama air hujan yang mengguyur kota. Hujan bukalah hal yang menjadi sesuatu yang ia sukai namun hujan di bulan Desember selalu menyisahkan kenangan tersendiri baginya. Tentang semua hal yang telah ia lewatkan bersama sesorang yang mungkin sekarang telah hilang bersama jutaan kenangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nadia berharap bahwa segalanya tidak akan berjalan rumit seperti apa yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tentang secangkir cokelat panas yang kini tak pernah ia seduh ketika muram, tentang lagu-lagu tahun 90-an yang selalu menemaninya ketika galau melanda. Cokelat panas yang kini menjadi secangkir kopi hitam pahit, lagu-lagu indah era 90-an yang berganti menjadi keheningan. Memang semuanya telah berubah. Segalanya telah berubah ketika sang lelaki hujan di bulan Desember itu pergi beberapa tahun yang lalu, tanpa salam perpisahan ataupun jabatan tangan. Kini, semua itu hanya kenangan bagi Nadia.

Kafe yang sore itu tak banyak pengunjung, bersamaan dengan lagu era 90-an kini memenuhi seluruh kafe. Nadia masih tetap diam di tepi jendela. Bersamaan dengan pintu kafe terbuka, seluruh atmosfer ini membeku. Langkah demi langkah yang ia lalui semakin mendekat. Wangi parfum breeze yang bisa jadi ini adalah wangi parfum paling sedap yang pernah ia hirup. Jaket cargo berwarna hijau army yang membalutnya membuat sesorang itu tampak begitu menawan walaupun nadia tak melirik kepada lelaki itu. Seluruh pengunjung dalam kafe ini sepertinya telah mewakilkan perasaan ingin tahu Nadia. Rintikan air hujan yang menetes pada jendela menyisakan embun sore sebagai pertanda bahwa Jakarta hari ini tengah dingin.

“Apa kabar?” serunya.

Nadia meletakan cangkir kopinya kemudian ia mendongak, sedetik setelah ia menyadari bahwa seseorang itu tengah menyapanya. Namun, Nadia tidak menjawab. Ia malah mengusap tangannya yang berkeringat pada celana kain coklat mudanya.

“Kita sudah lama tak berjumpa, bukan begitu, Nad?” serunya kembali.

Nadia mendengus. Iia tak berminat menjawab pertanyaan lelaki itu walau sejujurnya rindu yang ada dalam dirinya telah bergejolak. Bahkan, jika mau, Nadia ingin sekali memeluknya.

“Nad, dua ribu hari, ingat?”

Nadia hanya menatap lelaki itu tajam. Tatapan mata meyakinkan itu masih sama seperti 5 tahun sebelum mereka bertemu kembali.

Nadir, lelaki itu kembali tanpa aba-aba ketika hati nadia sudah mulai lupa tentang apa itu luka yang pernah ia torehkan sebelumnya. Nadir yang pergi ketika Nadia tengah mengarap bahwa ia bisa menjadi miliknya dan tentang Nadir yang telah menorehkan sebuah luka pada Nadia.

“Iya, dua ribu hari. Aku ingat, kenapa?”

Bukannya menjawab pertanyaan Nadia, Nadir malah duduk tanpa seizin Nadia di hadapannya. Tersenyum dengan mata cokelatnya yang pernah Nadia kagumi dahulu.

Dilihat Nadir yang dahulu yang berambut sedikit panjang, kini berubah menjadi rambut pendek hitam yang sempurna. Tapi, seleranya dengan sepatu chuck taylor 70’s dan pakaian netral masih menjadi ciri khas sorang Nadir. Bahkan, ketika Nadia telah melupakan sosoknya, ia masih ingat betul apa hal yang menjadi sebuah poin yang ia kagumi dari sosok Nadir.

“Aku tanya, apa kabar Nad? Apa kabar 5 tahun terakhirmu?”

Nadia menghela nafas, “Aku? Baik. Diterima di perguruan tinggi negeri, mengeluarkan novel, skripsi, lulus. Ya, mungkin itu yang aku alami selama 5 tahun ini.”

“Yakin? 5 tahun, Nad? Dan kamu hanya ingat beberapa hal yang kamu alami hanya beberapa.”

“Oh iya, kabar tentang hatimu, Dir?” Masih sama kok terisi. Sama bukan seperti dulu?”

Nadir yang semula tersenyum girang, perlahan menampakan senyumannya yang pudar. Hujan di luar masih sangat deras dengan awan yang hitam ditambah dengan ekspresi Nadir yang berpadu dengan cuaca kali ini.

“Kenapa?” kali ini giliran Nadia yang bertanya.

Nadir hanya diam. Memandang Nadia dengan tajam. Mata yang sangat Nadia rindukan ketika mata mereka saling bertatap pada awal perjumpaan.

“Lima tahun aku hilang. Kamu berubah ya, Nad.” Ia tersenyum. “Rambut yang katamu gak akan pernah kamu potong buktinya sekarang sudah seleher. Benar, kamu berubah dari sisi yang beda.”

“Segalanya sudah berubah, Dir. Ini Nad yang baru, bukan bocah umur 17 tahun yang nangisin orang lain pergi. Sekarang, semua tentang Nad 5 tahun lalu jangan pernah kamu harapkan lagi, Dir.” Nadia tersenyum simpul kemudian ia merogoh sebuah surat dengan amplop hitam dan mengambil panyung lipat dari tas ranselnya.

“Dir ,duluan ya, masih banyak sesuatu yang menantiku hari ini. Kalau kamu rindu aku, aku bisa maklumi. Tapi, jika aku terlalu percaya diri, biarkan sesekali aku percaya diri. Semuanya tentang 5 tahunku tanpa kamu, ada di dalam sana.” Nadia menunjuk amplop hitam itu. “Semoga kamu paham tentang aku dan semoga kamu tahu apa yang aku rasakan sebelumnya. Sampai ketemu jika memang  aku menghendaki untuk bertemu kamu.” Nadia melangkah pergi.

“Kamu gak terlalu percaya diri Nad, aku rindu, itu benar. Kamu gak salah,” ucapnya sambil berdiri.

Akan tetapi, Nadia hanya tersenyum simpul. Ia pergi meninggalkan Nadir bersama dengan lagu 90-an yang masih mengalun di dalamnya.

 

Hari di mana Nadia bertemu dengan Nadir adalah di kantin sekolah SD mereka. Nadia ingat betul ketika Nadir menoleh padanya, tetapi tidak ia hiraukan. Ada banyak kisah berlalu yang mereka lewati. Kisah itu meninggalkan kenangan yang begitu membekas di hati. Salah satunya tentang kisah seplastik es jeruk yang pernah Nadir berikan kepadanya

“Nadia!” sapa perempuan itu.

“Iya?”

“Es jeruk?” ia menyodorkan se plastik es jeruk.

“Ha...?”

“Kamu ambil aja.”

“Ini beneran?” Nadia girang. Kebetulan es jeruk di kantin hari ini sangat menggoda. Sayangnya, Nadia tidak membawa sepeser pun uang.

Sambil berlari, gadis yang tadi memberikan es jeruk kepada Nadia berteriak, “Dari orang yang berharga!”

Nadia yang menggenggam seplastik es jeruk itu hanya diam penuh tanya. “Orang berharga?” batin Nadia.

Bahkan, ketika 3 tahun berlalu, ternyata Nadia tahu siapa laki-laki yang selalu menuliskan surat dalam sticky notes pada buku kesukaanya di perpustakaan. Laki-laki berkacamata yang menukar sepatunya yang bertanda tangan dengan sepatu chuck 70’s. itu semua adalah lelaki yang berharga.

Namun, ketika perhatian yang pernah Nadir berikan pada Nadia sudah hilang, mengapa justru kini Nadia baru menyadari siapa dia. Seseorang yang selalu ada. Namun, tak pernah ada di depan matanya.

“Lo kenal  Nadir, Nad?” begitu kata gadis yang menyukai Nadir saat masih SMP dulu.

“Kenal.”

“Kenalin dong sama gue, bilangin aja dari fans terberatnya.” Gadis itu pergi dari perpustakaan dengan senyuman girang, meninggalkan Nadia yang termenung bersama puluhan sticky notes berwarna-warni di tangannya.

Mungkin ketika SMP, Nadir bukanlah Nadir yang ia kenal sewaktu masih SD. Ia bukan Nadir yang memberikannya seplastik es jeruk manis, bukan Nadir yang memberikannya kata-kata lucu di buku kesukaanya, intinya ia bukan Nadir yang pernah ia tahu.

Hari berjalan seperti biasanya, dengan buku catatan yang selalu Nadia bawa setiap harinya. Buku yang menceritakan betapa manisnya murid baru berkacamata itu, jahilnya seseorang yang menukar sepatu bertanda tangan idolanya dengan sepatu chuck 70’s, dan yang paling Nadia ingat adalah seseorang yang sengaja menaruh payung hitam dalam tasnya. Semuanya ia tulis dalam sebuah buku. Buku yang bertahun-tahun lamanya ia biarkan di dalam lemari, tanpa menuliskan apa pun lagi.

 

 

Hai, Nadir. Ini gue, Nadia setelah 3 hari lo pergi.

Apa kabar kamu? Ini aku Nadia. Surat yang judulnya udah aku tulis bertahun-tahun lalu tanpa tahu mau mengisi apa. Dir, kamu tahu gak, aku udah lulus SMA. Aku harap di mana kamu berada sekarang, kamu bahagia dengan setiap jalannya ya! Nadir, hatiku masih terisi tentang kamu. Semoga setelah 1 tahun berlalu rasa ini masih tetap bertahan ya!

 

  • Nadia, 1 tahun setelah kamu pergi.

Nadir, ini aku lagi. Ini sudah terhitung waktu yang lama buat nulis surat di sini lagi. Percaya atau tidak, ini sudah 3 tahun yang lalu sejak aku lulus SMA. Aku berharap di mana pun kamu berada kamu tetap menjadi Nadir yang aku kenal. Buku yang aku tulis, buku yang pernah menjadi bahagiaku sudah setahun berlalu,.Dir, sampai kapan kamu hilang? Kamu ingat kan anak yang pernah kamu kasih seplastik es jeruk saat SD? Kalau kamu lupa, aku ingatkan deh. Dir, aku bimbang. Aku kenal Setya sekarang. Dia baik banget. Dia orang yang selalu ada ketika aku susah. Aku tulis surat ini mungkin aku minta maaf kalau suatu hari aku cerita tentang Setya yang sudah mengisi hatiku. Aku minta maaf kalau suatu saat nanti kenangan tentang kamu mampu tergantikan dengan hadirnya Setya. Aku minta maaf.

 

  • Nadia, 4 tahun setelah kamu hilang. Aku sudah mendapatkan dia.

 

Aku bingung mau nulis apa. Bayangkan, Dir. Ini 5 tahun. Aku nyimpan surat ini selama 5 tahun. Segala sesuatu yang indah terus terjadi dalam hidupku walau tanpa kamu. Dir, aku sama Setya sudah menjalin kasih sejak berbulan-bulan yang lalu. Walaupun aku tahu, kamu mungkin sudah tidak peduli akan hal itu. Ingat aku saja mungkin harapan besar yang aku ragukan. Kamu seseorang yang aku kagumi selama bertahun-tahun lamaya. Dir, kalau kamu hilang, mohon jangan kembali ke hidupku? Aku lelah, Dir. Lelah berharap dengan semua janji yang pernah kamu tulis untukku. Aku sekarang sudah sepenuhnya lupa siapa lelaki kecil berkacamata yang nukar sepatu bertanda tanganku. Jangan kamu fikir aku tak tahu kalau itu kamu, Dir. Dir, suatu hari nanti jika kita bertemu untuk kesekian kalinya, aku mohon jangan tersenyum apalagi mengajakku bicara. Jika kamu tahu, hatiku bisa sakit ketika senyuman yang ingin aku hilangkan dari pikiranku itu ada di depan mataku.

 

  • Nadia, 5 tahun setelah aku menunggumu.

 

Nadir, di meja belajar yang masih tersimpan rapi di sudut kamarnya, ia membaca surat yang diberikan Nadia padanya tadi sore. Nadir memilih membaca potongan kata-kata yang Nadia simpan selama bertahun-tahun lamanya. Surat itu adalah tentang dirinya.

 

Di bawah remang-remang lampu belajarnya, surat itu ia biarkan di sana. Nadir beranjak menuju jendela. Ia duduk di sana memandang langit malam yang  tenang. Mengingat apa yang dikatakan oleh Nadia sebelumnya, “jangan pernah tersenyum padaku karena itu membuat aku sakit.” Semua tentang Nadia yang Nadir realisasikan mampu ia lupakan. Nyatanya ia salah. Justru setelah ia menemui Nadia tadi sore, ia semakin rindu dengan gadis berambut pendek itu.

 

“Lima tahun aku pergi, ternyata berarti banyak buat kamu, Nad.”

 

**

 

Di ramainya kota Jakarta, Nadia dan Setya tengah menghabiskan semangkuk mie ayam yang enak dimakan saat lapar melanda. Bagaimanapun, ini adalah gratis dari Setya, sehingga mana mungkin Nadia akan  menolaknya .

 

“Set.”

“apaan?”

“kok sewot? Gue tanya bener-bener nih!”

“ya gue jawab bener-bener nih Nad.”

“gue seminggu lalu ketemu dia.”

 

Mendengar hal itu, Setya meletakan mangkuk mie ayamnya. Ia tahu benar siapa yang Nadia maksud.

 

“dia?”

“ya. Gue sudah buat keputusan bahwa memang lebih baik gue akhiri aja apa yang pernah terlibat antara gue dan dia.”

“dengan lo bawa gue sebagai pengisi hati lo yang baru? Lo emang bener-bener orang aneh Nad.”

“mau gimana lagi, 2 minggu lagi gue bakal pergi. Gue harus bilang apa Set?dengan begitu, gue ada alasan buat ninggalin dia”

 

Setya diam saja. Ia hanya mangaduk aduk mienya dengan perasaan yang tak karuan.

 

“emang saatnya dia relain gue, atau gue yang relain dia Set. Udah jalannya.” Sekali lagi ungkap Nadia sebelum ia beranjak meninggalkan Setya bersama semangkuk mie ayam yang masih tersisa.

 

“lo gak pernah tahu aja Nad, Belanda emang mimpi lo, sekaligus tempat  lo balas dendam.” Setya bergumam, kemudian ia merogoh sakunya dan mengambil secari kertas dari dalamnya.

 

*

 

Belanda memang bukan tujuan yang pasti untuk Nadia pergi. Namun, dua ribu hari berlalu begitu cepat. Belanda bukan hanya angan-angan semata bagi Nadia.

 

Ia pergi bersama jutaan harapan bahwa meninggalkan Jakarta dan seisinya adalah pilihan yang tepat. Walaupun tak harus mengabari siapa-siapa, ia mampu pergi sendiri.

 

Sejujurnya setelah pertemuannya dengan Setya saat itu, Nadia sangat berharap ia datang untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan sebelum ia pergi. Ramainya bandara Soekarno-Hatta akan selalu menjadi sesuatu yang nanti ia rindukan ketika ia pergi atau kopi panas mesin otomatis yang selalu mengingatkannya dengan lelaki yang pernah mengajarinya cara menggunakan mesin penjual otomatis.

 

Nadia memandang sekitar ketika seorang lelaki dengan jaket hijau mendekat, mengikis jarak di antara mereka berdua. Jaket itu milik Setya. Ia tahu benar. Jaket yang ia berikan pada sahabatnya ketika berumur 20 tahun yang sampai sekarang masih Setya gunakan. Langkah demi langkah semakin dekat, menunjukan lelaki bertudung yang parfumnya sangat Nadia kenali siapa penggunanya.

 

Begitu lelaki itu membuka tudung, ada sayatan yang mengoyak Nadia. Nadir tahu bahwa ia akan pergi.

 

“Memang bukan waktu yang pas untuk kamu sama aku bertemu. Aku juga tahu Belanda adalah mimpimu, Nad. Namun, satu hal yang ingin aku katakana, dua ribu hari rasa kagumku gak berubah.”

 

Nadia diam, ia meremat jaket yang ia kenakan.

 

“Mungkin sepatah kata bisa membuatmu sakit lagi sehingga aku hanya ingin mengatakan, jaga diri, aku harap balas dendamu padaku tak akan berhasil karena aku tahu kita memang tidak tepat saja, bukan tidak cocok. Sampai nanti aku kembali padamu untuk mengajak kamu pulang.”

 

Nadir memberikan uluran tangannya, untuk berjabat sebagai salam perpisahan.

 

Nadia tidak tahu mau membalas apa, ia membalas jabatan tangan Nadir. Kedua mata itu kembali beradu tatap untuk waktu yang lama ketika Nadia memutuskan untuk melepasnya dahulu. Nadir tersenyum. Ia beranjak pergi dari keramaian kemudian seakan hilang bersama ribuan orang.

 

Nadia harap, Belanda mampu menyembuhkannya. Semoga Nadir dengan janjinya untuk kembali bersama.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Maheswari Naira lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB