x

Ilustrasi demonstrasi. Sumber foto: tribunnews.com

Iklan

Sapta Arif

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 22:51 WIB

Berita yang Semalam Ia Tulis

Dan kematian semakin akrab, seperti sepasang manusia yang diam-diam memendam perasaan cinta yang dalam. Masing-masing berupaya satu sama lain untuk semakin mendekat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dan kematian semakin akrab, seperti sepasang manusia yang diam-diam memendam perasaan cinta yang dalam. Masing-masing berupaya satu sama lain untuk semakin mendekat.

Tujuh laki-laki menaiki anak tangga.

Di dalam gedung, di salah satu ruangan yang sunyi, terdengar derak-derak pijakan kaki. Tak, tak, tak, tak. Satu persatu, ketujuh laki-laki itu menempati posisi. Kemudian, petugas yang mengawalnya, kembali memeriksa denyut jantung, pernapasan, dan entah apa lagi. Seolah memastikan tujuh orang ini akan baik-baik saja, meski sebuah tambang berwarna cokelat kelabu menjuntai menantang nasib mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ruangan itu memiliki langit-langit yang pendek. Keempat temboknya didominasi warna yang kelam. Ada satu tempat paling tinggi terbuat dari kayu yang kokoh dan memiliki empat pilar yang kuat dengan lima anak tangga. Tempat ini biasa dijaga oleh dua algojo, satu petugas kesehatan, dan satu pendamping spiritual.

Hanya ada satu bohlam. Ruangan beraroma kelam ini biasa disebut dengan Kamp Keadilan. Atau orang setempat menyebutnya sebagai Mueaskar Aleadala. Meskipun keadaannya begitu menyedihkan, setidaknya ada selusin orang berjubel di sana. Mereka berdiri menghadapi satu tempat seperti altar dengan tiga pembatas besi berkarat. Beberapa di antara mereka membawa kamera, buku catatan, ponsel, dan seperangkat alat periksa danyut jantung. Semua hening, seperti menjalani upacara perkabungan dengan khidmat.

Di luar, angin kering musim kemarau bertiup seperti berupaya mengabarkan berita. Orang-orang berkumpul memadati sepanjang jalan Zaytoun. Mereka mengepung barikade polisi yang mengelilingi sebuah bangunan besar berkubah putih, Arabian Knight Square. Bangunan ini disulap menjadi kantor darurat sementara. Ketika konflik masih panas membara, bangunan ini pernah dijadikan kantor pusat pemerintah sementara pula. Terdapat tulisan berbahasa Arab di salah satu tembok gedung. Tulisan ini masih jelas seolah teguh menantang musim, meski mantan pemimpin mereka kini menghadapi kenyataan pedih.

Orang-orang berdesakan, seperti mencari tempat paling dekat dengan pintu masuk gedung. Ribuan orang ini meluber hingga memadati area monumen Save Irak Culture. Keadaan begitu riuh dan gaduh. Lautan manusia terpampang jelas seperti siap menelan apa saja bak tsunami besar.

Delapan mobil baja terparkir berderet, ada juga tiga truk besar. Dan seorang berbaju dinas lengkap, dengan bintang dua di pundaknya, naik ke atas mimbar berwarna cokelat dengan ornamen warna bendera di meja. Ia menghadapi mic dan selembar kertas.

“Tuk! Tuk! Tuk!”

Lelaki berbaju dinas lengkap ini mengetuk mic, kemudian diam sejenak. Ia mengedarkan pandang sambil sesekali menghadap ke langit yang biru bersih tanpa awan. Sungguh terik kemarau yang panjang. Peluh keringat di wajahnya menetes. Ia menyeka, sambil mengembuskan napas.

Lautan manusia kali ini tentu berbeda dengan yang terjadi minggu-minggu sebelumnya. Namun, meski peristiwa bentrokan berdarah itu telah diredam, aroma kepedihan menggelayut di area itu. Toko-toko yang pecah kacanya, kerangka hitam mobil yang telah hangus terbakar, tiang lampu yang penyok dan patah, serta jejak sisa ban terbakar, semua saling melengkapi menciptakan suasana yang ganjil. Meskipun jalanan itu telah ditumpahi ribuan manusia yang riuh dan gaduh, aroma kesepian yang pedih tetap mengerak. Seperti noda darah yang tidak bisa hilang di aspal, di tembok, di sisa-sisa kaca pertokoan, di hangus tubuh yang terkubur di puing-puing bangunan dan mobil.

“Tak, tak, tak…. Tak!”

Seorang laki-laki berjenggot putih telah sampai di tempat tertinggi, altar eksekusi. Wajah lelaki pesakitan ini nyaris meninggalkan masa-masa jayanya. Seorang lelaki lain berpakaian serba putih yang didaulat sebagai pendamping spiritual mendekatinya. Ia terlihat berbisik. Namun, lelaki jenggot putih ini menggeleng mantap. Wajah lelaki jenggot putih terlihat pucat kelelahan, namun binar matanya tidak pudar. Sama sekali. Sama seperti ketika ia dengan bergelora berorasi di hadapan jutaan pengikutnya, dulu.

Lelaki pendamping spiritual menatap ke arah petugas yang lain sambil menggeleng. Kemudian seorang petugas lain naik ke posisi mereka. Ia membawa sebuah balaklava1 dan berbisik pada lelaki berjanggut putih. Petugas itu memintanya untuk memakai balaklava. Namun jawabannya tetap sama. Ia menggeleng tanpa keraguan.

“Inilah akhir kehidupanku! Aku memulai hidup sebagai pejuang, maka kematian tak akan membuatku takut!”2 lelaki jenggot putih berteriak lantang.

Seorang petugas menuntunnya ke posisi yang telah ditentukan. Beberapa kali ia memandang pijakan kayu, kaki, dan tubuh bagian bawah si lelaki jenggot putih. Ia benar-benar teliti memastikan posisi agar eksekusi berjalan sempurna. Kemudian, sebuah tambang cokelat kelabu dilingkarkan ke kepala lelaki jenggot putih. Tentunya sebuah kain hitam telah dibebatkan di tubuh.

Seorang petugas memberikan aba-aba. Sebuah tuas besi berkarat digerakkan. Seharusnya, hap! Pijakan di bawah kaki lelaki janggut putih itu terbelah meluncurkan tubuhnya ke bawah. Seketika, seharusnya, pililan tambang membuat lelaki jenggot putih diam tak bernapas. Lehernya pun, seharusnya patah!

Namun, yang terjadi sebaliknya. Tuas gagal digerakkan. Seperti sebuah gerbang besi dengan roda berkarat yang kehabisan oli. Seketika, dua belas orang saksi di hadapan altar itu saling berbisik. Mendengung bak kawanan lebah kelaparan.

“Tuhan bersama kita! Kaum yang berjuang!” pekik lelaki jenggot putih.

Di luar gedung, lautan manusia mulai gelisah. Terik matahari memanggang ubun-ubun kepala mereka. Masih terdengar deru nyanyian kemenangan dan teriakan revolusi dari berbagai sisi. Di hadapan barikade polisi, puluhan wartawan dan penyiar berita dari berbagai stasiun televisi sudah menunggu lama. Mereka harap-harap cemas menantikan berita besar yang akan tersiar hari ini.

Momen ini telah ditunggu lama, dua tahun sejak ditangkapnya si lelaki jenggot putih. Lelaki tua pesakitan ini sebelumnya adalah presiden negara penuh konflik ini. Ia telah menjabat sebagai presiden selama 24 tahun!

Meski negara ini telah dibawanya dari masa-masa kegelapan berpuluh tahun silam, namun seringkali kekuasaan yang absolut menciptakan pandangan yang tidak mengenakkan. Si jenggot putih memerintah dengan tangan besi. Namun, berkat cara memerintah seperti inilah negeri dengan sejarah gemilang ini begitu diperhitungkan di kancah global. Bahkan cenderung membuat gelisah para negara yang telah “mapan berkuasa”.

Si jenggot putih aktif dalam forum-forum internasional menyuarakan misi sucinya: mengembalikan dunia pada tatanan “seharusnya”. Ia mulai menginvasi kemapanan bangsa barat dengan membantu meredakan berbagai konflik di banyak negara. Tak ayal misi sucinya ini mendapatkan berbagai simpatisan yang menyebut dirinya sebagai “militan tentara Tuhan”.

Hingga sebuah penemuan rahasia yang mencengangkan dunia bocor di kalangan intelejen. Sejak saat itulah, misi penggulingan dimulai. Kaum pemberontak diciptakan sekaligus dipasok senjata. Warga mulai dihasut akan kemapaman yang menciptakan anggapan kekuasaan yang absolut. Berbagai doktrin disebar. Isu-isu kesejahteraan ekonomi diciptakan. Politik silang budaya digempur terus. Hingga timbullah wacana akan penemuan senjata pemusnah masal yang meresahkan dunia. Oleh sebab itulah, tiada cara lain selain penyerangan dengan dalih keselamatan.

Meski akhirnya, si jenggot putih berhasil ditanggap dua tahun silam. Namun, jutaan pengikutnya masih setia menyuarakan perlawan. Mereka bersembunyi dengan cara masuk ke pelbagai lapisan masyarakat. Ada yang gencar berjuang dengan senjata, ada pula dengan cara lain. Nahasnya, keadaan ini justru malah memecah warga negara itu menjadi dua poros kuat. Poros revolusi yang membenci keberadaan si jenggot putih dan poros militan tentara Tuhan.

Kini, di bawah terik matahari siang, seorang lelaki berpawakan gempal dengan jenggot dan kumis hitam lebat berdiri di salah satu tempat paling tinggi. Jaraknya lumayan jauh dari mimbar lelaki berbaju dinas lengkap. Sesekali mereka saling tatap. Sebelumnya, si lelaki gempal berkali-kali bersuara lantang menggunakan sebuah toa di tangan kanan dan selembar kertas di tangan kirinya. Ia berada di tengah-tengah lautan manusia.

“Tuhan bersama kita! Sudah waktunya kita bebas dari rezim ini! Bebas dari diktator yang kejam itu! Merdeka!” teriakan lelaki gempal selalu mengundang riuh ribuan orang di sana.

Lelaki gempal itu tak sadar. Dari hiruk pikuk keramaian jalan siang itu, di balik sisa bangunan yang poranda, tersembunyi orang-orang yang memeram dendam. Sebagian dari mereka memilih mengamankan diri dengan mengikuti arus demonstrasi.

Dua minggu yang lalu, tersebar berita burung akan ditundanya eksekusi mati si jenggot putih. Entah dari mana kabar ini bermula. Namun, telah sukses menggerakkan masa yang banyak untuk turun ke jalan. Keberadaan mereka saat itu riuh dan gaduh menciptakan ketidaknyamanan warga di kanan kiri jalan. Kebanyakan dari mereka adalah kalangan kaum imigran yang cenderung netral dan memilih aman. Namun sayang beribu sayang, sebuah malapetaka yang tak terkira datang.

Lantaran kebisingan yang dibuat kaum demonstran saat itu, malah membuat jalanan menjadi gaduh perang cemooh. Hal ini tentu saja disebabkan keberadaan mereka begitu mengganggu jalannya perekonomian. Jalanan ditutup, maka tak ada akses untuk jual beli di toko mereka. Nahasnya, demonstrasi besar-besaran itu terjadi berhari-hari. Dan puncaknya, para demonstran yang tidak juga mendapatkan kepastian dari dewan pemerintah sementara yang menjabat. Mereka pun menjadi kalap. Kelaparan. Hingga akhirnya membabi buta melakukan penjarahan. Dan, kerusuhan besar meletus. Menewaskan ratusan orang sekaligus memporak-porandakan segala sesuatu di sepanjang jalan itu.

“Tuk… Tuk… Tuk!” mic kembali diketuk oleh lelaki berbaju dinas lengkap.

 Suara demonstran yang riuh perlahan menjadi pelan. Meninggalkan gemuruh dengung. Semua mata tertuju ke satu arah: lelaki berbaju dinas lengkap. Lelaki ini seperti memiliki kewibaan alami yang terpancar. Hal ini seolah-olah membuat siapapun segan padanya. Tak ayal gemuruh riuh demonstran mendadak menjadi dengung suara yang pelan. Sungguh momen yang tak diduga. Dan mungkin saja sulit dipercaya.

“Assallamu’allaikum warahmatullahi wabarakatuh! Selamat siang saudaraku. Atas rahmat Allah Swt, kita—” ucapannya terpotong oleh seorang ajudan yang berbisik di telinganya. Seperti mendapatkan sinyal kabar yang tak enak, sorot matanya melotot pada ajudan itu.

Dengung suara demonstran mendadak menjadi riuh kembali. Lelaki berbaju dinas lengkap yang telah menghadapi mic berbisik pada ajudannya. Kemudian ajudan yang terlihat lebih tua itu, turun dari mimbar.

“Tuk… Tuk… Tuk!” mic kembali diketuk oleh lelaki berbaju dinas lengkap.

“Saudaraku! Dengar!” teriak lelaki berbaju dinas lengkap seolah ingin mengembalikan keadaan yang berangsur tenang yang hilang beberapa saat tadi.

Tiba-tiba pidato lelaki berbaju dinas lengkap terpotong oleh sebuah ledakan di tengah-tengah lautan manusia! Ia melihat dengan mata melotot, tempat berdiri si lelaki gempal kini telah poranda. Lautan manusia menjadi riuh. Suara tembakan tiba-tiba terdengar dari mana-mana! Barikade aparat didorong-dorong. Semua panik! Tak terkecuali mereka yang di dalam.

Dalam sunyi, keremangan ruangan yang kelam. Lelaki jenggot putih tersenyum menyeringai.

Dari lantai dua gedung putih yang kusam, Iskandar berdiri mematung melihat ledakan itu. Tangannya gemetar memencet tombol kamera. Ada sebuah kekuatan asing yang membuatnya bergegas lari ke meja. Duduk dalam diam, sambil mengatur ritme pernapasan. Tangan lelaki dua puluh tujuh tahun itu bergetar menghadapi layar laptop yang sudah penuh tulisan. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.

“Halo?” suara Iskandar parau.

“Lakukan sesuai rencana! Misi 3D06 dilaksanakan!”

Di antara riuh suara manusia dan deru tembakan, tiba-tiba telinga Iskandar berdenging. Degup jantung di dadanya begitu kentara seakan-akan mau meledak. Dengan tangan gemetar, Iskandar mengirimkan berita yang semalam ia tulis tentang kejadian yang saat ini terjadi. Sama persis! (*)

Ponorogo yang basah, menjelang akhir tahun

 

1): penutup wajah berwarna hitam yang hanya menyisakan lubang di mata dan mulut

2): kalimat terakhir yang diucapkan Saddam Husein sebelum eksekusi mati

 

 

Ikuti tulisan menarik Sapta Arif lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB