Catatan Hitam

Kamis, 9 Desember 2021 15:46 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fiksi

CATATAN HITAM

Kampung Sari, Desember 2006

                Beberapa anak lelaki berlarian di sepanjang gang yang ukurannya tak lebih dari dua badan orang dewasa. Tawa dan canda mereka tak menyurut walau awan bergemuruh gelap. Rintikkan hujan mulai berjatuhan sedikit hingga semakin lebat. Keinginan untuk bermain hujan-hujanan dilarang oleh setiap emak mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Ndang mulih! Wes udan. Loro ngko”

“Ojo udan-udanan!”

“Jon, ndang mulih wes peteng”

“Bocah kandek mau ra ndang mulih-mulih. Wis ndang mlebu omah!”

*****

             Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, namun tanda-tanda meredanya hujan belum terlihat. “Le, ndang solat wis adzan” ucap seorang emak yang tengah menggodok ubi. “Nggih bu”. Selepas solat, kedua anggota keluarga itu menikmati ubi godok di tengah suasana hujan.

“Mak, kok aku dipanggil anak bawaan” kata bocah lelaki membuka percakapan.

Emak tersenyum.

“Emak, kok malah mesem” anaknya terheran-heran.

“Katane sopo kamu anak bawaan?”

“Kata Lik Kirno sama Lik Tino, mak”

“Kamu salah krungu yake”

“Ndak mak…..memang anak bawaan itu artinya apa?”

(Emak berpikir merangkai kata untuk menjawab pertanyaan anaknya itu) hhmm…anak bawaan itu artinya kamu anaknya emak”

“Oohh gitu ya mak. Berarti bukan anaknya bapak, mak?”

“Yaa anak bapak juga. Kamu itu anak bapak sama emak”

“Kamu seneng nek dipanggil anak bawaan?” lanjut emak.

“(menggeleng) aku kan punya nama, Mak. Arka”

Emak tersenyum tanpa disadari meninggalkan setetes air mata di pipinya.

“Emak kenapa nangis? Arka salah ya?”

“Nggak Le, emak gur kelilipan”

“Oiya emak, saat mati nanti apa kita akan tetap bertemu bapak?”

“Bakal enek wektune yen kabeh manungsa dikumpulkan dadi siji, Le”

Arka merengut menundukkan kepalanya.

“Kenapa begitu Mak?" tanyanya dengan nada putus asa.

“Memangnya kamu nggak pengen ketemu bapakmu?” sembari mengangkat kepala anaknya dengan lembut.

“Aku nggak mau bapak nglarani emak terus, kan kehidupan yang abadi ada setelah kematian. Bener kan, Mak"

"Pinter anakku. Tapi bagaimanapun, dia itu bapakmu" Emak tersenyum menutupi rasa sedihnya. 

“Emak nggak benci bapak?”

“Kamu bahkan belum pernah bertemu bapakmu, Le” jawab emak dengan nada halus.

“Sudah-sudah. Tidur yuk, udah malam. Besok biar nggak bangun kesiangan” emak mengakhiri pembicaraan yang telah membuat Arka tampak pilu. 

             Malam itu, Emak tak dapat tidur. Setiap memejamkan mata muncul bayang-bayang kelam dari masa lalunya. Ketika melihat Arka yang tertidur pulas di sampingnya, emak merintihkan air mata. Sudah banyak dosa yang ia lakukan kepada anaknya. Beban hidup seperti terjun bertubi-tubi. Siapa yang akan selalu menemaninya selain anaknya, Arka. Mengingat percakapan dengan anaknya tadi, tangis emak semakin menjadi-jadi. Tidak terasa Arka tumbuh begitu cepat, tidak terpikir pula ucapan Arka tentang ayahnya. Sudah semestinya dia tahu apa yang sebenarnya terjadi.

*****

Kampung Sari, September 2020

             5 September 2000. Menjadi saksi bisu untuk sebuah kisah baru. Kisah dimana sosok bayi mungil tak berdosa mendapat anugerah menikmati sebuah kehidupan. Juga sebuah momen dimana seorang Emak merintih kesakitan bak dua puluh tulangnya patah secara bersamaan, saling mempertaruhkan kehidupan dua insan. Dan tepat pada hari ini seperti kembali pada 20 tahun yang lalu. Arka beranjak kian beranjak. Namun begitu, tak menepis fakta Emaknya juga kian renta. 

"Le, kamu wis gede. Tinggimu bahkan ngungkuli emak. Kamu tambah tampan. Usiamu wis matang. Emak minta maaf ya Le…Emak banyak salah. Emak…nggak bisa jadi orang tua yang baik…Emak…." Emak tak dapat meneruskan ucapannya, air mata terus saja turun tak henti-henti.

"Mak…" kata Arka lirih.

Tangis dua insan yang telah berjuang bersama pecah. Sebuah kondisi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jiwa mereka saling terkait kuat. Walau hanya menyimbolkan momen penting itu dengan nasi kuning, namun makna yang terkandung begitu merasuk ke dalam.

"Wis jangan nangis. Emak nggak bakal bikin kamu sedih"

"Hari ini mungkin kamu bakal kecewa sama Emak. Kamu boleh marah. Emak terima…"

"Ada apa, Mak??"

"Janji dulu sama Emak. Kamu bakal nerima hadiah yang emak kasih kan(?)"

"Iya Mak. Apapun hadiah yang Emak kasih pasti Arka jaga" 

Sesosok lelaki paruh baya masuk. Badannya yang kurus dengan jaket hitam. Dagunya yang penuh dengan jenggot lebat. Serta mata dan hidungnya walau sudah tersamarkan dengan kerutan namun itu sangat mirip dengan Arka. 

“Bapak itu siapa Mak?”

“Di..dia…dia..adalah…” Emak kembali menangis tak kuat mengucapkan kalimat yang dirasanya amat sangat berat.

“Arka. Ini bapak nak” kata lelaki paruh baya yang membuat tangis Emak menjadi-jadi.

“Bapak?” hanya itu yang terucap dari mulut Arka pertama kali.

“Iya nak. Bapak sudah kangen ingin memeluk kamu nak”

“Bapak. Tapi kenapa? kenapa bapak harus muncul tepat di depanku?” Arka tak bisa menerima hadiah Emak yang begitu mengejutkan.

“Maafkan bapakmu ini nak…” 

“Kenapa bapak?Pantaskah bapak muncul di depanku dan Emak setelah apa yang bapak lakukan selama ini?! Sudah dua puluh tahun pak! Dua puluh tahun itu bukan waktu yang cepat. Emak harus menjadi ibu juga bapak buat aku. Dan aku harus menjadi pelindung buat Emak. Kami kesakitan pak. Kami lelah menahan begitu hebatnya badai yang menerjang kami. Tapi bapak dimana?!” Semua rasa marah, benci, dan tanda tanya yang ada di benak Arka di keluarkan. Namun bapak hanya menangis dengan rasa bersalah.

“Nggak nak. Bapak kamu nggak jahat. Emak yang jahat. Emak udah buat kamu jadi anak bawaan, anak yang lahir di dalam penjara. Kamu jadi hidup susah. Bahkan Emak menyakiti kamu. Maafkan Emak…Emak yang seharusnya merasa bersalah karena kamu dilahirin sama Emak yang jahat” 

“Tidak. Ini bukan salah mu. Aku yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini. Benar kata anakmu, dia benar. Tak kusangka anakku sudah besar, dia tahu mana yang benar dan salah. Bapakmu ini salah. Bapak pengecut. Bapak agaknya nggak pantas disebut bapakmu. Maaf kan bapak. Pasti kata maaf nggak bakal cukup atas penderitaan ini. Maaf nak”

“Le…Emak mohon maafin bapak kamu. Bapak sayang sama kamu. Kamu bakal ngejagain bapak kan”

“Tapi Mak…”

“Kamu sudah janji. Emak bakal sedih kalau kamu ngingkarin janji Emak. Emak pengen kita sama-sama jadi keluarga. Kamu mau kan, Le?”

Arka sebetulnya belum bisa menerima kenyataan ini, namun ia tidak mau mengecewakan Emak. Emak yang paling dia sayangi.

*****

Siapa sangka sebuah kisah menyimpan banyak misteri. Kadang kita harus berbagi ruang dengan orang yang sudah menyakiti kita. Sebesar apapun itu. Layaknya catatan hitam. Di sebalik itu pasti akan ada catatan putih yang menanti dengan sejuta harapan. 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Alifya

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Catatan Hitam

Kamis, 9 Desember 2021 15:46 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
Lihat semua