x

Iklan

Mutiara Khaerunnisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Desember 2021

Sabtu, 25 Desember 2021 14:08 WIB

Konflik Wanita Minangkabau Berpendidikan dalam Novel Siti Nurbaya

Siti Nurbaya adalah sebuah novel tahun 1922 karya Marah Rusli. Ada sebuah cerita dalam novel ini yang sangat membuat orang ingin membaca dan tertarik dengan ceritanya. Salah satu hal yang paling menarik dari novel Siti Nurbaya adalah tentang kehidupan perempuan Minangkabau pada saat itu, baik dari segi percintaan maupun dari segi kehidupan sehari-hari yang sangat kompleks. Bahkan termasuk saat mengambil keputusan hidup dengan adat yang sangat ketat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siti Nurbaya adalah sebuah novel tahun 1922 karya Marah Rusli. Ada sebuah cerita dalam novel ini yang sangat membuat orang ingin membaca dan tertarik dengan ceritanya. Salah satu hal yang paling menarik dari novel Siti Nurbaya adalah tentang kehidupan perempuan Minangkabau pada saat itu, baik dari segi percintaan maupun dari segi kehidupan sehari-hari yang sangat kompleks. Bahkan termasuk saat mengambil keputusan hidup dengan adat yang sangat ketat.

Dalam novel Siti Nurbaya, ketidakadilan dimanifestasikan dalam segala bidang kehidupan. Salah satunya menyangkut pendidikan, lembaga adat Minangkabau telah menetapkan bahwa perempuan tidak terlalu penting untuk mengenyam pendidikan tinggi. Pikiran ini diungkapkan dalam pernyataan berikut. “Sudah berapa kali hamba minta kepada Kakanda, supaya anak itu disekolahkan, tetapi Kakandalah yang tak suka, karena tak baik, kata Kakanda, anak perempuan pandai menulis dan membaca; suka menjadi jahat” (Rusli: 23).

Hal ini terlihat pada karakter Rukiah. Rukiah adalah seorang wanita muda yang menjadi korban dari status gender yang tidak adil dalam hidup. Tapi situasi ini disebabkan oleh dirinya sendiri dan ibunya. Ketika dia masih muda, Rukiah tidak ingin mencoba untuk memperluas pengalamannya. Di sisi lain, ibu melarang pergi ke sekolah karena kurangnya pengetahuan, ia takut jika Putri Rukiah bisa membaca dan menulis dengan baik di masa depan, Rukia akan menjadi orang jahat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi perempuan di Siti Nurbaya tentu sangat memprihatinkan. Dari remaja hingga dewasa, kehidupan mereka hanya di tiga tempat: tempat tidur, dapur, dan sumur. Kondisi ini dijelaskan dalam pernyataan berikut. “Apabila telah berumur tujuh-delapan tahun mulailah dikurung sebagai burung, tiada diberi melihat langit dan bumi, sehiingga tiadalah tahu apa yang terjadi sekeliling kita. Sedangkan pakaian dan makanan, tiada diindahkan, apalagi kehendak dan kesukaan hati. Sementara itu, kita disuruh belajar memasak, menjahit, menjaga rumah tangga, sekalinya pekerjaan tiada menambah kekuatan dan menajamkan pikiran” (Rusli: 204)

Siti Nurbaya sangat menyayangkan, ia sangat menentang tentang pernyataan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan tercela. Oleh karena itu, peran dan status mereka dalam masyarakat tidak dihormati atau bahkan tidak diberi peran sama sekali. Pendidikan tidak terlalu penting, itulah yang membuat mereka selalu bodoh. Karena mereka bodoh, mereka mudah dimanipulasi, dilecehkan oleh laki-laki. Hal inilah yang mendorong Siti Nurbaya untuk mulai peduli dengan pembebasan atau liberasi perempuan. Salah satu gagasan terkait pembebasan atau liberasi perempuan yang dikemukakan oleh Siti Nurbaya adalah gagasan feminis. Gagasan feminisme adalah gerakan yang memungkinkan perempuan memperoleh status yang setara dengan laki-laki di segala bidang.

Wanita kemudian perlu meningkatkan kualitas mereka sendiri untuk menyeimbangkan dan beradaptasi dengan kemampuan pria. Rahasianya adalah belajar, karena jika seorang wanita menjadi orang yang bijaksana, dia bisa menjaga anak dan suaminya untuk menghindari bahaya. Tak hanya itu, Siti Nurbaya menjelaskan dalam pernyataannya mengenai manfaat pendidikan bagi perempuan dan kesalahan logika perempuan terpelajar. “sebab itu, haruslah perempuan itu terpelajar, supaya terjauh ia daripada bahaya, dan terpelihara anak suaminya dengan sepertinya. Tentu saja kepandaiannya itu dapat juga dipergunakannya untuk kejahatan. Itulah sebabnya perlu hati yang baik dan hati sempurna. Bila perempuan itu memang tiada baik tabiatnya atau sebab salah ajarannya, walaupun ia tak berkepandaian sekolah sekalipun, dapat juga ia berbuat pekerjaan jahat. Tak adakah perempuan jahat, pada bangsa yang masih bodoh?” (Rusli: 205)

Dalam pernyataan tersebut, perempuan harus berjuang dalam masyarakat untuk kemajuan mereka sendiri. Laki-laki dan perempuan harus sejajar, tegak sama tinggi dan duduk sama rendah. Selain itu, perempuan harus mempertimbangkan bagaimana menjadi perempuan yang berperan dan berfungsi dalam pembangunan. Hal yang sama berlaku untuk perilaku dan sikap yang harus diambil perempuan dalam masyarakat dan untuk masa depan. Perempuan sendirilah yang harus berjuang untuk memperbaiki nasibnya agar bisa dihormati oleh masyarakat. Karena tujuan seorang wanita dalam hidup bukan hanya untuk menikah, tetapi untuk menjadi lebih luas. Kemudian, status marjinal sebagai perempuan berangsur-angsur menghilang dengan keterikatan peran-peran tersebut.

 

Sumber Bacaan:

Achmad Yuhdi. (2021). Reformasi Sosial dalam Sitti Nurbaya dan Relevansinya sebagai Materi Ajar Sastra Indonesia di SM, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan

I Wayan Wendra. CITRA PEREMPUAN DALAM SASTRA MODERN (Sebuah Pandangan Feministik pada Dua Pengarang Laki-laki), Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Bahasa dan Seni, Undiksha Singaraja

 

Ikuti tulisan menarik Mutiara Khaerunnisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu