x

Iklan

Bilqis Sigra Milir

Penulis
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Kamis, 17 Maret 2022 16:22 WIB

Maaf untuk Melegakan

Mengingat luka yang menyesakkan itu sama saja seperti melukai di tempat yang sama kembali.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gemerisik dedaunan yang menari bersama angin begitu kunikmati. Terik matahari sama sekali tak membuatku silau, pohon besar di sebelahku sangat berjasa untuk saat ini. Rerumputan hijau begitu menyegarkan mataku. Benda yang melingkar pergelangan lengan kiriku sudah menunjukkan pukul dua siang. Aku merajuk pada kenyataan aku sudah harus pulang sekarang. Badanku merebah pada karpet lipat berwarna jingga yang sejak empat jam yang lalu sudah membantuku untuk me time di akhir pekan seperti sekarang. 

“Ris! Pantesan ponsel kamu off, masih aja di sini. Mr. Kim cariin kamu di grup kelas tuh, revisi proposal penelitian musim ini udah harus kamu kumpulin malam ini, Ris. Untung punyaku gak perlu direvisi,” seru perempuan manis yang dua tahun belakangan ini selalu membersamaiku di sini. Hanya dia yang memanggilku dengan Ris, karena ia tahu luka paling menyakitkan dalam hidupku akan kembali kuingat jika panggilan lain disematkan padaku. 

Dia Zara, hijabers yang sangat modis ditambah lagi dengan keanggunan yang melekat pada dirinya itu membuatnya tampak begitu elegan. Tapi, laki-laki lebih banyak mendekatiku, perempuan dengan penampilan biasa saja, nada bicara yang tinggi, dan sama sekali tidak hidup dengan teratur. Sebentar, jangan hujat sikapku yang sok eksis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kayak yang udah kamu kabarin ke aku, Raga kirim buket bunga ke rumah, Ris. Kenapa gak kamu blocking dia aja deh. Jangan tanggepin mereka lagi, Ris. Udah Raga, Pras, Adit. Nanti siapa lagi Ris yang ngirim bunga ke aku? Pakai panggil sayang lagi. astagfirullah,” keluh Zara sambil melepaskan sepatu kets putih dan menepuk-nepuk tangannya sendiri dengan raut wajah menahan kesal. Alasan banyak laki-laki yang mendekatiku ya untuk PDKT dengan Zara sih tepatnya, haha. Wajah kesalnya benar-benar menghibur mahasiswi akhir sepertiku, coba saja penyimpanan di ponselku tidak penuh. Pasti wajahnya itu sudah aku rekam dan disimpan dengan baik dalam file storage-ku.

“Zar, aku tuh sengaja. Kalo kamu tau jumlah asli laki-laki yang mau deketin kamu, pasti kamu kaget. Aku yakin. Cuma mereka bertiga aja yang berhasil lolos seleksi, Zar.” Sepertinya suaraku sangat cempreng, Zara bahkan menutup kedua telinganya dengan jari telunjuk dan mendengus tak suka ke arah lain.

Zara menatapku dengan tatapan dalamnya, lama kelamaan aku terbiasa dengan hal itu. Lantas ia menggenggam tanganku lalu suara feminin khas miliknya melangkah masuk ke telingaku. Kalimat yang ia keluarkan sangat membuatku kaget. Kepalanya mendongak ke sisi kanan kami. Seorang pria yang paling kubenci mendekat ke arahku. Secara refleks aku berlutut dan bersiap untuk berdiri lalu meninggalkan Zara dan pria sialan itu.

“Gris! Please dengerin kakak dulu,” suara pria yang sudah belasan tahun meninggalkanku itu membuatku muak setengah mati. Aku menatap postur tinggi yang sudah ada di hadapanku ini dengan tatapan nyalang. Salah satu kemampuanku itu tidak bisa menyembunyikan sesuatu apa pun. Wajahku juga semua yang ada di diriku pasti akan menunjukkannya dengan natural, tanpa dilebih-lebihkan ataupun dikurang-kurangkan. 

“Mau ngomong apalagi kak? Aku udah bahagia kok. Gak perlu cari tau tentang aku lagi. Ayah sama ibu aja udah berhenti peduli sama aku, sejak dulu. Bahkan, kakak juga sama. Terus kenapa masih cari aku seakan-akan kita ini punya hubungan yang harmonis, kak? Zar, gue mau lu jangan bantuin pria ini lagi untuk ketemu gue. Atau gue juga akan pergi dari hidup lu, Zar.” Menjadi manusia natural itu amat sangat mengesalkan bagiku. Semua perasaan yang aku dan hatiku rasakan akan sangat tampak dari luar. Tak ada satu pun yang bisa diajak kerjasama, termasuk air mata yang mungkin akan luruh jika aku terus berbicara. 

Aku memilih mundur perlahan lalu memakai sendalku dengan lama, aku benar-benar benci air mata ini. Pandanganku mengabur karenanya, jemariku yang sudah aku larang untuk tidak menghapus apa pun malah mengusap mataku dan harga diriku sudah hilang di hadapan pria ini.

“Gris, ayah sakit. Kesehatannya terus menurun, ia rindu sama kamu Gris. Dia mau minta maaf atas semuanya,” suara pria itu mengudara kasar di telingaku. Aku menatap tangan besarnya yang mencengkeram lengan kananku.

“Menurut kakak aku mau? Terus dengan mudahnya aku percaya sama ucapan kakak yang seakan-akan ayah dan ibu itu benar-benar membutuhkan aku? Kakak lebih tau jawaban aku kak. Aku eng-gak mau. Gak akan mau,” nyatanya sikap berontakku tak berarti apa pun di depan pria yang merupakan kakak laki-lakiku, entahlah itu suatu kebenaran atau bukan. Mereka saja hampir dua belas tahun membiarkanku sendirian di sini.

“Kakak dan ayah sama sekali enggak mengabaikan kamu Gris. Ayah bahkan sampe buang gengsinya yang besar itu untuk bilang ke Pak Hartono agar terima kamu di restoran cabang milik dia. Kamu pikir ada seorang pencuci piring harian yang keterima kerja di sana karena diminta langsung oleh pendiri restorannya? udah cukup Gris. Ayah dan ibu beneran rindu sama anak bungsunya. Ayo pulang sama kakak. Kamu gak usah marah sama Zara. Dia ngelakuin itu karena ibu, Gris. Kakak enggak mau keluarga kita saling menyalahkan, saling menyesali, kakak janji akan nebus semua kesalahan kakak ke kamu,” suara pria itu terdengar jujur di telingaku kali ini. Sudah kubilang sebelumnya bahwa aku benar-benar seorang manusia yang natural. Terlalu mengikuti apa yang dirasakannya daripada apa yang jadi keputusannya. Kedua tangannya memegang bahuku lembut. Mungkin ia baru menyadari jika genggamannya itu sangat erat dan memang menyakitiku. Jujur saja.

Pria itu atau jika aku seorang adik yang baik akan memanggilnya dengan sebutan Kak Tristan dengan cepat melepaskan genggaman tangannya. Mataku menelisik arah pandangnya yang saat ini tertuju ke sungai yang berkilauan di sebelah kananku. Dapat kurasakan jika ia sedang memikirkan sesuatu yang mungkin sangat melukai dirinya. 

Ia menatap tangannya sendiri begitu pun aku yang juga memandangi tangannya. Tanganku menggenggam tangannya dengan gemetar. Manusia natural sepertiku bahkan tidak sadar telah berempati dengan dia yang sepertinya sedang bersedih hati.

“Kak Tristan enggak perlu sedih lagi, ayo. Grista mau ikut kakak ke rumah kita,” ajakku dengan suara yang gemetar. Mataku beralih menatap Zara yang kini sudah berkaca-kaca sambil menutup mulutnya sendiri. Sepertinya ia tak menyangka jika aku-lah yang mengajak untuk kembali ke rumah. 

Memang benar, ada yang perlu mengikhlaskan dan mengalah untuk memperbaiki suatu hubungan. Rasanya aku tak akan tega membuat kakak laki-laki yang pernah menyayangiku dengan sangat itu menanggung rasa bersalahnya. Rasanya aku begitu egois jika membuatnya semakin terluka dan turut merasakan beban pikiran yang sudah sejak lama mendiami hidupku. Kedua tanganku memeluk pinggang Kak Tristan dengan erat. Seperti yang ia katakan dengan suara yang sudah kembali ceria lagi barusan. Motor yang baru pertama kali aku naiki ini agaknya begitu dikenal oleh kakakku. Bahkan, ia sudah memperkirakan jika aku akan terjungkal, kalau-kalau aku tidak memeluk dirinya dari belakang. Ah sepertinya bukan memeluk, tapi mencengkeram pinggangnya dengan erat. 

“Gris, kamu mau beli soft-cake di Sakura Anpan dulu?” suara Kak Tristan berbalapan dengan gemuruh angin yang melewati telingaku.

“Eh, boleh deh kak. Mungkin ayah mau cobain choco cake less sugar-nya,” balasku dengan suara meninggi.

“Gak perlu teriak di telinga kakak, Gris. Kakak bisa denger suara kamu tahu.” Gelak tawanya terdengar pelan di telingaku. Badanku aku condongkan lebih mendekat pada bahu lebar miliknya untuk mengatur suara dan mendengar suara miliknya juga.

Jalanan yang aku lalui kali ini banyak sekali mengandung kenangan masa kecilku yang sangat indah. Beberapa kali aku, kak Tristan, ayah, dan ibu juga makan malam di pecel lele pinggir jalan ini dan menikmati angin malam sambil minum es gelas yang menyegarkan untuk mereka. Pandangan menatap jalanan yang ada di seberang kananku. Banyak sekali tenda-tenda jajanan pinggir jalan yang masih tutup dan terpinggirkan dengan rapi oleh pemiliknya. Jika ingatanku benar dan jika pedagang itu masih berjualan di sana. Maka, pedagang martabak bangka, tahu gejrot abangan, lumpia basah dan kering, cimol pedas, cilok kuah daging, dan pempek mewah palembang masih berjajar rapi di seberang sana. Yang paling aku sukai ialah martabak bangka yang tidak terlalu manis, apa pun rasanya akan terasa sama saja di lidahku. Karena poin utamanya ialah tidak manis.

Gedung-gedung tinggi tampak berdiri kokoh di dekat kami, dapat aku ketahui sebentar lagi akan sampai di toko legendaris yang sudah menjadi langganan kami, ah maksudku keluargaku.

Aku turun dari motor dan membiarkan kak Tristan masuk sendirian ke dalam toko. Sepertinya ia sama sekali tidak mencurigaiku yang bisa saja kabur karena tidak diawasi olehnya, tapi sepertinya ia sangat mempercayaiku dan tidak menaruh satu curiga pun padaku. Senyumanku sangat lebar, meskipun hanya dalam kepala. Yang aku ketahui, kak Tristan sudah benar-benar kak Tristan versi pertama yang sangat menyayangiku dan mendukung apa pun keputusan yang aku ambil. Termasuk ketika aku remaja, kabur dari rumah. 

“Gris, ayo. Ternyata ayah udah beli lebih dulu dibanding kita. Tadi pemiliknya bilang ke kakak. Kamu mau beli apa lagi gitu, Gris? Ada gak?” suara kak Tristan mengalun begitu saja melewati gendang telingaku. Aku mendongak menatapnya dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Ia menggandengku menuju motornya yang bahkan tidak begitu jauh dari tempatku berdiri. Aku hanya bisa membiarkannya dan memberinya keluangan untuk memperbaiki hubungan kakak adik yang sudah lama hancur.

Kak Tristan mengendarai motor lebih cepat dari sebelumnya, sepertinya ia sudah terburu-buru untuk sampai di rumah kami. Aku hanya bisa bertaruh dalam hati, jika ayah dan ibu menungguku di teras rumah kami, entah sambil duduk ataupun berdiri, aku akan benar-benar memaafkan mereka. Namun, jika tidak ada satu pun sambutan dari mereka untukku. Maka, bukan tidak mungkin aku bersikap dingin pada mereka. Jika kemungkinan kedua memang menjadi kenyataan nantinya, aku memanglah anak bungsunya yang tidak ia cintai seperti ia mencintai putra sulungnya. 

“Grista, kamu pulang, sayang,” suara lembut yang menurut ingatanku pernah membentakku ini membuatku sadar jika aku sudah sampai di halaman rumah yang begitu luas ini. Kak Tristan menyuruhku turun dengan senyuman yang sangat lebar dan lepas. Senyumannya berhasil menenangkanku dan kuputuskan untuk turun. 

Entah berapa menit lagi aku bisa menahan air mata yang masih tertahan dalam dadaku yang penuh sesak ini. Ibu memelukku ketika aku sudah sampai di hadapannya. Ia mengelus rambutku dan mengusap-usap punggungku dengan lembut. Isakannya sangat mengganggu pendengaranku. Aku takut jika pertahananku gagal menahan sesak yang semakin menyeruak. Belum ada dua menit, yang aku takutkan terjadi. Badan ibu rasanya begitu ringkih dalam pelukanku. Sudah berapa lama aku tidak memeluk ibu. Mungkin sejak hari dewasa-ku sebagai seorang remaja perempuan, ya sepertinya sejak hari itu. Pelukan kami terurai lembut. Mataku terus mengajakku untuk beralih ke sisi kiri kami. Pria paruh baya dengan mata sembab terduduk dengan tegap di kursi roda. Aku menatap dirinya dengan sesak yang semakin menyiksaku. Aku berlari ke arahnya ketika ia membuang pandangan menyedihkannya ke arah lain. 

“Ayah, maafin Grista. Grista bener-bener putri ayah yang egois. Grista tahu jika selama ini Grista sudah nyakitin hati ayah dan ibu begitu dalam,” Air mataku sudah luruh tak tertahankan jika sudah berkaitan dengan ayah. Laki-laki yang paling aku cintai juga laki-laki yang membuatku merasakan kekecewaan. 

“Andara ternyata lebih milih tinggal di Singapura. Dia lebih pilih kekasihnya dibandingkan rawat ayah di sana. Untung suster Lee telepon Tristan, ibu langsung berangkat ke sana,” gumaman Ibu membuatku membeku sejenak. Ayah mengeratkan pelukannya dan menciumi pucuk kepalaku beberapa kali. Aku bahkan baru ingat penyebab kaburnya aku dari rumah. Karena anak asuh itu, Andara, seorang remaja seusiaku yang ditemukan tergeletak di depan rumah. 

“Ayah yang perlu minta maaf padamu Grista,” suaranya terbata-bata dan isakannya kian lama kian menggelegar. Aku mengusap punggung lebar ayah dan terus mengucapkan kalimat penenang untuknya.

 Satu yang aku sadari, ayah, ibu, maupun kak Tristan sama-sama merasakan luka, seperti yang aku rasakan. Jika sejak dulu aku mengetahui akan hal itu, sudah sejak dulu aku tetap tinggal di sini sekali pun aku harus merasakan kecemburuan yang menyakitkan ketika melihat kasih sayang orang tua dan kakakku terbagi untuk yang lainnya. Di sini aku yang begitu egois, aku yang begitu kekanakan. Orang tuaku membiarkanku keluar dari rumah untuk membahagiakanku karena mereka tahu aku begitu cemburu dan enggan membagi orang tua mereka kepada orang asing seperti Andara. 

“Grista sayang ayah, Ibu, juga kak Tristan. Grista benar-benar menyayangi kalian. Grista akan terus di sini sampai kapan pun”.

 

Ikuti tulisan menarik Bilqis Sigra Milir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu