menelusuri kabut tebal laksana lingkaran tak berujung berpangkal
karena jiwa tak selalu menerima pada guratan yang hanya menggantang asap
hanya meninabobokan, melipur lara belaka, dari para penghuni puncak piramidal
mendera sang kebanyakan dalam rindu mimpi tak terbeli
suluk tembang syahdu mendayu
gemah ripah loh jinawi
tata tentrem rukun raharja berselimutkan subur kang sarwa tinandur
tak seindah yang dimitoskan di setiap realita yang ditemukan
karena saling kasih sayang, saling memakmurkan masih tersandung
oleh segelintir hegemoni oligarki tirani
dan, nrimo ing pandum pun menjadi terpaksa untuk ditelan sang kebanyakan
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
memajukan kesejahteraan umum
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
berperan serta dalam perdamaian abadi berkeadilan sosial berwujudkan tatanan dunia
hanya terpampang, terpancang pada dokumen prasasti sakral belaka
hanya menggaung menggema dari narasi pidato ke sepenjuru negeri
tanpa mewujud dalam lelaku nyata, menggusur kemanusiaan yang beradab
mengingkari kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang Maha Kuasa Segala
begitulah, negeri antah berantah dalam sejuta wajah ...
Kota Malang, April hari kesembilan belas, Dua ribu dua puluh dua,
"Menyongsong fajar pembebasan dalam penantian ..."
Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.