x

cover buku Yang Tak Tergoyahkan

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 10 Mei 2022 16:03 WIB

Yang Tak Tergoyahkan - Pernikahan Antara Etnis Tionghoa dengan Etnis Jawa

Asimilasi melalui pernikahan adalah salah satu cara yang dianggap ampuh dalam menyelesaikan masalah cina di Indonesia. Anjuran ini cukup kencang digaungkan pada masa Orde Baru. Idenya adalah dengan pernikahan etnis tionghoa dengan etnis lain di Indonesia, apalagi jika kemudian memeluk agama mayoritas, maka masalah cina akan hilang, seiring dengan hilangnya identitas ke-cina-an tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Asimilasi melalui pernikahan adalah salah satu cara yang dianggap ampuh dalam menyelesaikan masalah cina di Indonesia. Anjuran ini cukup kencang digaungkan pada masa Orde Baru. Idenya adalah dengan pernikahan etnis tionghoa dengan etnis lain di Indonesia, apalagi jika kemudian memeluk agama mayoritas, maka masalah cina akan hilang, seiring dengan hilangnya identitas ke-cina-an tersebut.

Meski gagasan tersebut sangat digaungkan sedemikian rupa di jaman Orde Baru, tak sedikit yang menentangnya. Pernikahan antaretnis bukanlah hal yang mudah. Sebab pernikahan antaretnis bukan berarti menghilangkan salah satu adat budaya salah satu pasangan, melainkan sebuah perjumpaan dua budaya secara sangat intens. Pada dasarnya tidaklah mudah untuk menjalaninya. Walaupun demikian banyak juga contoh yang berhasil menjalani pernikahan antaretnis.

Ketika mendapatkan buku “Yang Tak Tergoyahkan,” saya baru saja selesai membaca novel “Prosesi.” Dua novel ini ternyata mempunyai pendapat yang berbeda dalam memandang pernikahan antaretnis, khususnya pernikahan orang Cina dengan orang Jawa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Yang Tak Tergoyahkan” ditulis pertama kali tahun 1981 dan mengalami cetak ulang setidaknya tiga kali. Sedangkan “Prosesi” diterbitkan pada tahun 1999. Artinya, Novel “Yang Tak Tergoyahkan” mewakili cara pandang Orde Baru dalam memandang pernikahan antaretnik, sedangkan “Prosesi” mewakili era Reformasi dalam memandang masalah pernikahan antaretnik.

“Prosesi” mengungkap betapa sulitnya menjumpakan dua adat dan budaya yang begitu berbeda. Dampak pernikahan itu bahkan masih membawa luka pada anak hasil pernikahan mereka. Untuk mengetahui bagaimana pandangan suram “Prosesi” tentang pernikahan antara perempuan Jawa dengan Lelaki Cina, silakan melihatnya di: https://www.indonesiana.id/read/154109/prosesi-benarkah-pembauran-melalui-pernikahan-manjur-menyelesaikan-masalah-cina.

Berbeda dengan “Prosesi,” novel karya Hardjana ini justru mengungkapkan bahwa pernikahan antara orang Cina (perempuan) dengan orang Jawa (lelaki) bisa berhasil baik. Meski berhasil baik tentu tanpa rintangan. Wirawan (seorang lelaki Jawa) yang berpacaran dengan Sylvi (gadis tiongha) menghadapi tantangan dari keluarga mereka. Ibu tirinya sangat menentang hubungan Wirawan dengan Sylvi, karena Sylvi adalah orang Cina. Sebagai lelaki Jawa, tak pantas Wirawan menikahi gadis Cina. Gadis Cina harus dijauhi, disingkiri dan tak pantas untuk sekadar dijadikan kenalan.

Nasip Sylvi lebih buruk lagi. Setelah mengaku bahwa ia hamil sebelum nikah dengan Wirawan (maksudnya untuk memaksa orangtuanya merestui hubungannya), Ia malah diputus statusnya sebagai anak. Ong Hong Gie mengumumkan di koran bahwa ia dan Sylvi telah putus hubungan anak-orangtua.

Meski mengalami tekanan yang sangat besar, Sylvi nekat menikah dengan Wirawan. Perjuangan cita mereka berakhir dengan happy ending. Setelah anak mereka lahir, orangtua Sylvi mau menerima menantunya yang Jawa dan cucunya yang lucu. Ong Hong Gie menyesali keputusannya yang emosional untuk membuang Sylvi.

Dari kedua novel yang saya bahas di atas, kelihatan sekali bahwa kedua penulisnya mempunyai pandangan yang berbeda atas asimilasi melalui pernikahan untuk menyelesaikan masalah cina. Dua novel tersebut lahir pada situasi politik yang berbeda. “Yang Tak Tergoyahkan” lahir di masa Orde Baru yang mendorong asimilasi melalui pernikahan. Sedangkan “Prosesi” lahir saat orang-orang Tionghoa menemukan kembali haknya untuk menjalankan adat dan budayanya di ruang publik karena reformasi.

Jadi, mana yang terbaik? Saya kira pernikahan adalah masalah cinta. Selama mereka yang akan menjalani siap untuk mengatasi segala permasalahan, maka sah saja pernikahan antaretnik antaragama. Namun tentu saya tidak setuju jika pernikahan antaretnik antaragama dijadikan anjuran oleh Pemerintah dengan dalih memecahkan masalah bangsa. 677

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB