x

Cover buku Prosesi

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 29 Maret 2022 06:32 WIB

Prosesi - Benarkah Pembauran Melalui Pernikahan Manjur Menyelesaikan Masalah Cina?

Novel Prosesi karya Zoya Herawati menggambarkan pergumulan psikologis pernikahan antara etnis cina dengan etnis Jawa yang dilakukan tanpa saling mau menyesuaikan budaya. Meski sudah menjadi sebuah keluarga, tetapi antara suami (cina) dan istri (Jawa) tak mau saling mengerti budaya masing-masing. Akibatnya anak yang mereka lahirkan menjadi terobang-ambing tanpa pijakan jati diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Prosesi – Jiwa yang Terpenjara

Penulis: Zoya Herawati

Tahun Terbit: 1999

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Balai Pustaka

Tebal: viii + 196

ISBN: 979-666-292-2

 

Salah satu solusi yang dianggap paling manjur untuk menyelesaikan masalah cina di Indonesia adalah pembauran melalui perkawinan. Peleburan melalui perkawinan akan menciptakan generasi hibrida yang mencampur dua budaya. Sebuah generasi yang mampu memahami budaya dari dua sisi. Namun pembauran melalui perkawinan yang tidak disertai dengan kesadaran untuk menyatukan budaya, kebiasan dan keyakinan justru membuat siksaan batin yang mendalam.

Zoya Herawati mengangkat pergumulan psikologis dari sebuah keluarga campuran. Keluarga hasil pernikahan dua budaya yang berbeda. Pernikahan seorang lelaki cina dengan seorang perempuan Jawa. Perkawinan antara seorang dengan ekonomi mapan dengan seorang yang hidup penuh kemiskinan. Namun perkawinan itu hanyalah perkawinan biologis tanpa ada upaya untuk saling memahami. Pembentukan keluarga yang justru menimbulkan suasana penuh ketegangan. Ketegangan antaranggota keluarga dari dua kutub yang berbeda – ayah Cina Kong Hu Chu; ibu Jawa Islam dan anak gadis yang terombang-ambing antara dua dunia yang sungguh sangat berbeda.

Mei Lie, demikian nama gadis blasteran yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Mei Lie tumbuh dalam keluarga yang terbelah secara budaya, dimana kedua orangtuanya sama sekali tidak berupaya untuk saling mengerti dan mencari keselarasan. Situasi tersebut membuat Mei Lie memutuskan untuk tidak memilih untuk memihak keduanya. “…memerlukan keberanian untuk memutuskan bahwa kedua-duanya bukan merupakan pilihan, Ibu dengan kenaifannya dan Ayah dengan kemisteriusannya. Tak jarang keduanya dengan congkak memamerkan kedunguannya dengan saling memperebutkan pengaruhnya terhadapku” (hal. 18).

Novel ini diawali dengan adegan kerusuhan tahun 1969 yang mengobrak-abrik rumah-rumah orang cina. Kerusuhan itu disebabkan oleh dua anggota KKO (Usman dan Harun) yang digantung di Singapura. Hukuman kepada kedua anggota KKO itu menyebabkan masyarakat Indonesia marah dan melampiaskannya kepada orang cina. Kerusuhan tersebut membuat Lie – Sang Papa hilang.

Mei Lie kemudian menggambarkan bagaimana hubungannya dengan papanya dan ibunya. Ia menyaksikan bagaimana ibunya selalu menyiapkan makanan kesukaan papanya, sementara secara sembunyi-sembunyi sang ibu makan terancam timun (makanan Jawa). Mei Lie menggambarkan betapa urusan makanan ini benar-benar tidak seselera (hal. 5). Bahkan untuk urusan makanan, mereka tidak saling mau memahami.

Sang papa, meski kecewa karena anaknya lahir berjenis kelamin perempuan (hal. 13), tetapi tetap mencoba menjadikannya seorang anak cina. Mei Lie disekolahkan di sekolah berbahasa tionghoa. Di bagian ini Mei Lie menyampaikan pengalamannya dibuli oleh teman-temannya yang tionghoa. Dia tidak diterima karena ibunya adalah perempuan Jawa.

Kerusuhan menyebabkan keluarganya menjadi miskin, membuat Mei Lie terpaksa masuk ke sekolah negeri (?). Di sini dia merasakan diskriminasi dari sejak mendaftar. Karena namanya berbau cina, maka Kepala Sekolah menerapkan sumbangan yang sangat besar. Di kelas dia mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari kawan-kawannya yang mayoritas bukan cina (hal. 30).

Situasi di rumah dan penolakan baik dari orang-orang dari suku ayahnya dan dari suku ibunya, membuat Mei Lie menjadi seorang dengan pribadi keras dan penuh dendam. Ia merasa tidak mempunyai tempat berpijak yang jelas. Menjadi orang yang kehilangan identitas.

Sang Papa adalah seorang perantau yang rajin bekerja, dan berasal dari kelompok Jiosen yang tidak terlalu kaku dalam menjalankan budaya. Namun karena peristiwa-peristiwa yang dialami membuatnya menjadi seorang yang sangat jahat dalam dunia bisnis yang digelutinya. Sang Papa melakukan segala kecurangan untuk menimbun kekayaan. Tragisnya, ia melibatkan Mei Lie anaknya dalam bisnis kotor tersebut. Sang Papa ingin Mei Lie menjadi seperti dia.

Ayahnya yang menghilang sejak kerusuhan 1969 tiba-tiba muncul secara diam-diam. Ia mendorong Mei Lie untuk masuk ke dunia bisnis yang sangat kotor. Mula-mula Mei Lie tidak tahu bagaimana bisnis kotor tersebut dijalankan. Ia hanya berperan sebagai kurir. Namun pengalaman mengajari dia bahwa sesungguhnya bisnis yang melibatkan mafia dan penguasa sungguh sangat kotor dan penuh darah. “Makin aku terlibat dalam kekalutan, keberanian menghadapi risiko makin bertambah” (hal. 102). Ia menyaksikan bagaimana seorang kepala pelabuhan yang selama ini bersekongkol dengan pengusaha untuk meloloskan barang selundupan, tiba-tiba berhasil menangkap seorang penyelundup demi mengharumkan namanya sebelum dia dimutasi (hal. 72). Penjahat itu tiba-tiba bisa menjadi pahlawan. Ia terlibat dalam pembololan sebuah bank. Bahkan dialah yang menyusun skenario. Ia terlibat dalam mengatur pengkhianatan untuk mengorbankan seorang direktur sebagai kambing hitam.

Tanpa sadar Mei Lie telah berubah menjadi sosok yang seperti ayahnya. Menjadi seorang yang tak lagi bisa membedakan salah dan benar. Tak lagi punya nurani yang mencegahnya untuk mengerem keinginannya untuk mencapai tujuannya. Dia muak terhadap dirinya yang menjadi binatang eknonmi. Tetapi di sisi lain ia juga muak terhadap kenaifan ibunya yang ingin keluar dari kemiskinan tetapi menutup diri terhadap perjumpaannya dengan kebudayaan lain – kebudayaan suaminya.

Mei Lie mengalami kebingungan menghadapi dua kutup budaya yang tak saling menyapa. Bahkan sampai saat kematian ayahnya pun tak membuatnya mengerti. “Dimana aku harus berdiri, hal itu tak pernah pasti. Selamanya, ketika aku mencoba mencari tempatku sendiri, kegagalan selalu kutemui, lantaran tak seorang pun bisa menjelaskan kesadaranku. Penolakan-penolakan yang terus menerus kualami tanpa kusadari menciptakan kekeroposan dan pada akhirnya menjadikanku bak benda tanpa rasa” (hal. 186). Demikianlah Mei Lie mendeskripsikan akan nasipnya.

Novel “Prosesi” karya Zoya Herawati ini sungguh menarik karena mengisahkan pergumulan psikologi anak blasteran yang selama ini dianggap akan menjadi generasi yang baik-baik saja. Zoya berhasil membangun ceritanya dengan menggunakan dua kutub budaya yang selama ini bertentangan, tanpa saling mau memahami.

Sebenarnyalah ketegangan psikologis seperti yang digambarkan oleh Zoya Herawati tidak hanya terjadi di level individu, tetapi terjadi di dua kelompok etnis yang saling berjumpa dalam dunia keindonesiaan. Bukankah kita sudah menjadi satu keluarga, yaitu sama-sama menjadi warga negara Indonesia? Tetapi kita harus mengakui bahwa di kedua belah pihak masih saling abai untuk berupaya untuk saling memahami. Kita masing-masing membangun tembok kecurigaan dan stereotipik sehingga meski sudah berada di rumah yang sama tetapi tak pernah melebur menjadi satu bangsa. 667

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler