x

Iklan

Bambang Udoyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2022

Kamis, 21 Juli 2022 08:40 WIB

Pendidikan Itu Bukan Mengisi Ember Tapi Menyalakan Api

Pendidikan itu bukan mengisi ember tapi menyalakan api. Apa maksudnya? Bagaimana caranya? Ikuti terus sampai selesai agar dapat manfaatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendidikan Itu Bukan Mengisi Ember Tapi Menyalakan Api

 

Bambang Udoyono, penulis buku

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

 

Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire. (William Butler Yeats)  “Pendidikan itu bukan mengisi ember,  tapi menyalakan api”    Demikian kata William Butler Yeats,  seorang penulis kondang asal Irlandia.  Saya yakin kalimat ini menohok sebagian besar praktisi pendidikan dan orang tua di banyak negara, karena sebagian besar dari mereka masih mengira dan mempraktekkan pendidikan sebagai pemberian informasi.  Sesuatu yang oleh William diibaratkan ‘mengisi ember ‘ tadi.   Saya masih ingat beberapa tahun lalu di televisi ada liputan tentang seorang bapak yang melatih anaknya menghafal nama nama ibu kota negara.  Dengan bangga dia mengatakan anaknya berhasil menghafal banyak nama ibu kota negara.  Sedangkan menurut William idealnya pendidikan itu ‘menyalakan api’.  Apa maksudnya?

Memotivasi

 

Saya percaya apa yang dia maksud adalah, pendidikan itu bukan memberikan serangkaian fakta kepada anak atau murid lalu menyuruh mereka menghafal tapi mengajak mereka untuk berpikir.  Tentu boleh saja menyuguhkan banyak fakta tapi tidak untuk dihafal.  Kalau mereka hafal beberapa atau banyak fakta, itu adalah hasil belajarnya, hasil risetnya, bukan tujuan utama pemelajaran.  Kata ‘riset’ di sini tentu disesuaikan dengan tingkatan pendidikannya.   Riset anak SD tentu belum secanggih risetnya Ph.D.

 

Kemarin saya sudah menyinggung tentang belajar sejarah.  Sejatinya belajar sejarah bukan tentang menghafal banyak peristiwa penting lengkap dengan tanggal dan tahunnya, tapi menemukan pola, keajegan dan menuliskan pelajaran yag bisa diambil. Saya yakin bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hal itu karena mereka sudah mampu menulis banyak pepatah dan peribahasa yang mencerminkan pelajaran yang mereka ambil dari kehidupan mereka di masa lalu. Jadilah pepatah, peribahasa dsb itu sebagai pelajaran hidup yang bisa dimanfaatkan oleh generasi sesudahnya.

 

Demikian juga dalam belajar bahasa asing.  Banyak orang mengira belajar bahasa asing adalah tentang menghafal kosa kata.  Bahkan ada orang mengira kalau dalam sehari bisa menghafal sepuluh kata saja maka dalam setahun sudah bisa menguasai 3650 kata sehingga sudah bisa menguasai bahasa asing dengan baik.  Dulu ada orang yang menunjukkan pada saya kartu kecil seperti kartu nama yang dia tulisi sejumlah kata yang dia hafalkan.  Ternyata cara itu gagal membuat dia menguasai bahasa asing.

Kaitan dengan parenting

 

Saya tidak akan masuk ke teknis pendidikan karena sudah ada bayak pakarnya dan teorinya.  Saya hanya ingin memicu orang tua sebagai pendidik utama anak anaknya menerapkan pikiran William di atas, yaitu menyalakan rasa ingin tahu, menyalakan semangat belajar, dan menunjukkan potensi anak anaknya.  Kalau mereka sudah terpesona, tertarik dengan suatu cabang ilmu tertentu, tidak perlu orang tua memaksa mereka menghafal sejumlah fakta.

 

Pikiran William ini senada dengan pikiran Albert Einstein, sang pakar fisika pemenang hadiah Nobel.  Dia juga memiliki sebuah quote indah begini, “Education is not the learning of facts, but the training of mind to think.”   Pendidikan itu bukan mempelajari fakta saja, tapi melatih pikiran untuk berpikir.    Kalau pikiran sudah terlatih berpikir maka pikiran anak akan jalan sendiri, mencari tahu ilmu yang diminatinya.  Tidak perlu dipaksa belajar.

 

Pernah saya sitir pendapat Michio Kaku seorang pakar dari New York University yang senada.    Setiap anak sudah memiliki rasa ingin tahu tentang alam, tapi perlakuan masyarakat merusaknya.  Jadi alih alih menyuguhkan fakta sebaiknya orang tua memicu anak anaknya untuk berpikir.  Tentu saja disesuaikan dengan kemampuannya.  Kalau masih kecil ya tidak perlu dipaksa belajar berat.  Biarkan anak anak bermain karena dengan bermain itulah mereka belajar.  Bahkan Finlandia yang sekarang sedang kondang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, jam belajar anak SD hanya sedikit.  Mereka sediakan banyak jam untuk bermain.  Terbukti mereka menjadi yang terbaik sedunia dalam pendidikan.  Sudahkah kita belajar dari mereka? 

Wacana dua arah

 

Pertanyaan besarnya, bagaimana cara ‘menyalakan api’  atau melatih berpikir itu?   Saya kira bisa dilakukan dengan dialog yang serius tapi santai.  Ngobrol ngalor ngidul  sembari makan siang atau makan malam sangat efektif untuk memasukkan ajaran, memicu kreativitas, membangkitkan rasa ingin tahu. Obrolan itu idealnya dua arah. Dari orang tua ke anak dan dari anak ke orang tua. Jangan hanya perintah searah saja.  Kalau ini dilakukan dengan rutin dan dengan baik insya Allah akan ada hasil baik juga. Anak anak Anda akan menemukan renjana (passion) nya. Mereka akan termotivasi dan akan memiliki disiplin pribadi untuk mengejar cita citanya.

Ringkasan

 

Pendidikan keluarga berperan besar dalam keberhasilan anak anak. Sebaiknya orang tua tidak sekedar menjejali anak anaknya dengan sejumlah informasi untuk dihafal. Idealnya orang tua memotivasi anak anaknya untuk belajar sesuai minat dan bakatnya. Pendidikan keluarga ibarat menyalakan api atau semangat anak. Bukan mengisi ember.  Orang tua harus banyak belajar tentang parenting. Selamat belajar.  Semoga ini membantu anda menjadi orang tua yang lebih baik.

Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler