x

Iklan

Marselinus Pekik Aryomulyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Agustus 2022

Sabtu, 6 Agustus 2022 09:39 WIB

Pungli di Zona Anti-Korupsi

Komitmen akan hadirnya semangat anti-korupsi beserta praktik-praktik turunannya pada tubuh pos-pos pelayanan publik. menjadi sebuah harapan masyarakat untuk menadapat pelayanan publik yang aman dan nyaman. Akan tetapi, pungutan liar ternyata masih kerao terjadi pada basis-basis pelayanan publik di Indonesia, tak terkecuali Ibukota negara kita, Jakarta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Samsat Jakarta Timur

Pemerintah sebagai representasi negara di masayarakat harus memiliki sebuah hubungan yang esensial dan harmonis dengan masyarakatnya. Pada syarat berdirinya negara, rakyat menjadi salah satu faktor besar untuk sebuah negara dapat diakui secara internasional oleh negara lainnya. Hubungan pemerintah dengan masyarakat dikenal sebagai hukum administrasi negara, hukum tata pemerintahan, atau hukum tata negara dan salah satu yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat yakni adalah hukum pelayanan publik.

Hukum pelayanan publik pada hakikatnya mengatur hak dan kewajiban penyelenggara pelayanan publik dan terdapat sanksi bagi pelanggarnya. Oleh karena itu hukum tersebut bersifat memaksa, mengikat, dan mengatur hubungan masyarakat sebagai penerima manfaat pelayanan publik dengan pelaksana dan penyelenggara pelayanan publik. Salah satu agenda pemerintah dalam menjalankan hukum pelayanan publik adalah mewujudkan Good Governance dan Clean Government, dengan kerangka konseptual yang dihadirkan oleh Good Governance dan Clean Government berangkat daripada konsep tersebut, diharapkan masyarakat mendapat berbagai manfaat pada sektor pelayanan publik terkhususnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pada tataran pelaksanaannya, pelayanan publik telah diawasi oleh sebuah lembaga independen yang tidak terikat dengan wilayah eksekutif bernama Ombudsman Republik Indonesia.

Kewenangan Ombudsman dalam fungsi pengawasannya diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD[1].

Salah satu perpanjangan tangan pemerintah dalam hal pelayanan publik pada bidang jasa yakni, Samsat yang merupakan akronim daripada Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap. Samsat sendiri merupakan suatu sistem administrasi yang dibuat dalam rangka meningkatkan tingkat efektifitas daripada berbagai macam pelayanan yang menyinggung bidang transportasi, akomodasi, dan aksebilitas masyarakat Indonesia.

Pada tataran pelaksanaannya, Samsat sendiri mewadahi serangkaian pelayanan dalam penyelenggaraan Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor (Ranmor), Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotot (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (SWDKLLAJ). Samsat Indonesia merupakan program daripada inisiasi kerja sama antara Polri, Dinas Pendapatan Provinsi, dan PT. Jasa Raharja (Persero).

Secara singkat, Samsat memiliki 7 (tujuh) produk pelayanan yang dapat dirasakan masyarakat, yaitu: Samsat Induk, Drive THRU, Samsat Keliling, Gerai Samsat, Samsat Kecamatan, e-Samsat dan Samsat online nasional dan program layanan terbaru dan mutakhi yakni, Samsat Digital. Berangkat daripada terciptanya berbagai produk layanan dari Samsat tersebut, diharapkan pelayanan yang menyinggung transportasi, akomodasi, dan aksesbilitas yang ada bisa terlaksana secara optimal dan menghindari segala tindak praktik menyimpang seperti gratifikasi, calo, dan sebagainya.

Perjalanan untuk mencegah hal-hal yang menjadi gejala praktik-praktik korupsi tersebut tentu tidaklah mudah. Seyogyanya sebagai pelayanan publik yang tersaji deat dengan masyarakat terlebih lagi Samsat terlahir daripada inisiasi Kepolisian Polisis Republik Indonesia, Jasa Raharja harus memberikan pelayanan optimal dan menjauhkan segala tindakan yang terindikasi dengan korupsi. Dilansir dari portal berita tirto.id, “berdasarkan ‎Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, biaya pembuatan SKCK per 6 Januari 2017 hanya Rp30 ribu. Praktiknya oknum petugas bisa memungut uang melebihi nominal tersebut[2].”

Hal tersebut masih eksis hingga saat esei ini dibuat pada tanggal 12 September 2021, di mana masih sangat banyak sekali praktik pungli dan calo di dalam lingkungan “integritas” atau “zona anti-korupsi” pada beberapa kantor Samsat. Hal ini dibuktikan dengan beberapa aduan masyarakat tentang praktik pungli yang diduga terjadi di Kantor Samsat Kebon Nanas, Jakarta Timur, melalui sosial media seperti cuitan seorang advokat sekaligus mantan peneliti ICW bernama Emerson Yuntho terhadap Menkopolhukan, Mahfud MD. 

Secara empiris, Emerson Yuntho atau yang akrab dipanggil Bung Eson menceritakan kronologi terjadinya praktik pungli yang terjadi di Kantor Samsat Jakarta Timur ketika yang bersangkutan membayar pajak kendaraan rutinan yang berlaku selama 5 tahun. Dalam pelaksanaannya setiap dokumen yang masuk, oknum petugas loket meminta bayaran sebesar Rp 20.000 ditambah masih ada berbagai titik yang diduga terjadi praktik pungli seperti, perpanjangan STNK kendaraan dan proses legalisir hasil cek fisik, baik untuk mobil maupun motor yang seharusnya mendapatkan layanan tanpa dipungut biaya apapun. Pungli merupakan bagian dari korupsi hal ini dapat dilihat dari Pasal 12e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga dapat diancam hukuman sesuai dengan pasal yang terdapat di dalam KUHP[3], tentu ini menjadi salah satu permasalahan klasik bagi para penyelenggara layanan publik yang dalam hal ini adalah Polri, Jasa Raharja, dan lainnya. 

Pemberantasan pungutan liar (pungli) cukup mendapatkan perhatian oleh pemerintah dalam pidatonya pada 20 Oktober 2016 silam, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 87 tahun 2016 tanggal 20 Oktober 2016 tentang Satgas Saber Pungli dan Menko Polhukam menerbitkan Kepmenko Nomor 78 tahun 2016 tentang Kelompok Kerja dan Sekretariat Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar[4].

Pada pelaksanaannya sejak tahun 2016 Saber Pungli dibentuk ditemukan puluhan ribu kasus yang terindikasi terdapat praktik pungli pada berbagai bidang seperti pendidikan, kepegawaian, perizinan, penegakan hukum dan masih banyak lainnya. tentu ini menjadi sebuah temuan yang menjadi lumrah di ranah masyarakat pada umumnya. Berbagai macam pelayanan publik dasar yang menjadi makanan masyarakat sehari-sehari, seperti pencatatan penduduk dan berbagai macam layanan yang ada diatas. Berbagai rumor menyebutkan bahwa maladministrasi, inkompetensi, gratifikasi, dan korupsi secara implisit mempunyai keterikatan yang sangat dekat dengan birokrasi yang ada. Birokrasi secara eksplisit dapat dikatakan sebagai sebuah budaya akan sebuah organisasi ataupun institusi yang digerakkan oleh organisatoris, sehingga apabila birokrasi yang diterapkan secara tepat, efektif, efesien, dan bersih akan tindak-tindak korupsi dapat dipastikan indikasi-indikasi korupsi dapat terhindarkan.

Sistem dan fundamental daripada sebuah organisasi ataupun institusi yang dalam hal ini adalah birokrasi merupakan sebuah akar yang sudah sepatutnya menjadi sebuah guideline atau benang merah yang diterapkan pada tataran konseptual atau praktik. Akan tetapi dengan segala kemutakhiran dan sebaik apapun sistem ataupun fundamental yang hal tersebut tidak pernah lepas kaitannya dengan individu yang ada didalamnya atau yang biasa disebut dengan user yang menjalankan fungsi-fungsinya. Secara hemat, praktik pungli pada dasarnya tidak dapat dianalogikan sebagai suatu kesalahan sistem semata akan tetapi, sumber daya manusia yang menjalankan sistem tersebut pun membutuhkan perhatian lebih serius daripada instansi terkait dalam perekrutan anggota lapangan yang ada.

Dalam dinamikanya dibutuhkan sebuah check and balances yang sama kuatnya untuk melangsungkan praktik pengawasan terhadap sistem dan oknum-oknum yang ada. Sosial Media mungkin menjadi salah satu kendaraan yang sangat cocok dalam menjawab kegusaran tersebut, dan hal tersebut harus diiringi dengan kemauan masyarakat untuk memegang komitmen anti-korupsi dengan tidak menggunakan layanan-layanan diluar sistem yang ada dan kemauan masyarakat untuk melapor kepada organisasi independen yang bersinggungan langsung dengan layanan terkait yang dalam hal ini adalah Saber Pungli, Ombudsman Republik Indonesia, ataupun Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan secara langsung melalui hotline atau  call centre yang dihadirkan.

 

[1]Putra, M. B. (2020, November 29). Mengenal Pelayanan Publik. https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--mengenal-pelayanan-publik

[2] Akbar, J. (2017, November 27). Ditemukan Praktik Pungli dalam Pembuatan SKCK. tirto.id. Retrieved September 12, 2021, from https://tirto.id/ditemukan-praktik-pungli-dalam-pembuatan-skck-cAKC

[3] Svinarky, I. (2016, Oktober 31). Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Pungutan Liar (Pungli). Jurnal Cahaya Keadilan, 4, 70-71. http://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/cahayakeadilan/article/view/935

[4] Saber Pungli. (n.d.). saberpungli.id. https://saberpungli.id/profil/

Ikuti tulisan menarik Marselinus Pekik Aryomulyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler