x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Senin, 22 Agustus 2022 11:24 WIB

Saya Berpikir dan Mereka Sebut Saya Gila

Minggu yang kembali kuyup, pancaroba serupa kalangkabut. Saya mendadak teringat pada suatu “wijayakusuma”. Entah mengapa, ada semacam flower of victory yang mendesak merakit di pikiran yang kian berkabut. Hujan seharian hingga menjelang tengah malam ternyata membawa suasana tergesa terhadap tubuh saya, antara kantuk dan ingin ronde panas. Berpikir dan berimajinasi memang dua aktivitas berbeda, meskipun keduanya bukanlah penghancur jiwa, jika mampu melihat kosong masa depan dengan baik-baik saja untuk metabolisme yang sehat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Minggu yang kembali kuyup, pancaroba serupa kalangkabut. Saya mendadak teringat pada suatu “wijayakusuma”. Entah mengapa, ada semacam flower of victory yang mendesak merakit di pikiran yang kian berkabut. Hujan seharian hingga menjelang tengah malam ternyata membawa suasana tergesa terhadap tubuh saya, antara kantuk dan ingin ronde panas.

Namun, sihirnya hujan malam ini seakan menarik acak moods/emotions bagai jaringan saraf yang dihantam radiasi astronomical. Mendengarkan techno-bunker dengan earphones sesekali memang sangatlah membantu untuk pumping blood walaupun tidak sepenuhnya membantu. Saya sungguh berharap tukang ronde hadir. Ada romansa lain jika mereka melewati rumah, dan tidak memesannya melalui delivery order. Ini sama seperti kembali mendengar bunyi kentongan bambu/kayu di mana pada musik-musik techno sering saya dapati spirit ini, sesuatu yang raw distortion into resurrection.

Kembali pada suatu “wijayakusuma”, sesungguhnya dalam umpatan terhalus saya, bunker menjadi suatu ruang spesial, walaupun saya tidak pernah tinggal berlama-lama. Ada sensasi hilang pada saat melakukan perjalanan mengunjungi beberapa bunker. Sayangnya, masih banyak sekali bunker yang terisolasi dan berkesan horor. Ini teramat sangat kegemasan. Saat digitally art-science berkembang sebelum pesat, saya membayangkan bunker-bunker ini mewujud ruang-ruang seni futuristis.

Lagi-lagi pesimis menjadi spirit pertahanan diri saya atas eforia mlaku mundur ndodok, massal.

Terlepas dari seluruh peristiwa di masa lalu yang begitu memberikan warisan patah hati mendalam, tentunya, mencoba meramalkan masa depan dengan mempelajari artefak dan melakukan penciptaan ulang sebagai langkah pemulihan bukanlah cara yang salah. Kita tidak mungkin dapat bertahan dan menjalani kehidupan hanya dengan membawa ransel berisi batu-batu tanpa efek pengapuran. Masa depan selayaknya dilihat dengan lensa bening yang memberi pantulan di detik awal metahari terbit; apabila kita masih percaya masa depan dengan bening. Mungkin, brainwashing telah gagal strategi, dan kita semua mlaku mundur ndodok atas bular “wijayakusuma”, sebab gelap pedih serupa momok ghostly bagi manusia.

Sembah sujud pada maha uang dalam semangat hipotek menuju entah!

Ya, untuk suatu “wijayakusuma”, juga istimewanya ruang-ruang bunker. Mungkin, ini suatu mimpi siang bolong yang pernah tinggal berlama-lama dalam semrawutnya jaringan saraf otak. Namun ada sensasi yang takkan pernah hilang dengan begitu saja untuk sesekali mengenang kentongan tentang suatu metamodern yang mewujud ruang-ruang seni futuristis sebagai cara lain melatih pengalaman tubuh memaknai pengetahuan. Bahwa kehilangan bukanlah tentang tumpukan kebendaan, namun: "Tis strange but true for truth is always strange; Stranger than fiction; if it could be told" [Lord Byron]

Berpikir dan berimajinasi memang dua aktivitas berbeda, meskipun keduanya bukanlah penghancur jiwa, jika mampu melihat kosong masa depan dengan baik-baik saja untuk metabolisme yang sehat.

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu