x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Selasa, 23 Agustus 2022 16:22 WIB

Peta di Pagi Hari

Ada saatnya memahami pola kerja peta, seperti pagi ini, rencana secangkir kopi tubruk dengan gula yang cukup berharap mampu memicu energi harus terhenti karena isi gas habis, sementara warung kelontong sekitar masih tutup. Namun, begitulah perjalanan setiap rencana; akan selalu dihadapkan pada ruang tunggu. Bekuan waktu menawarkan suatu keseimbangan antara inovasi pikiran dengan improvisasi tindakan berjalan serima untuk the nothing and not seeing, no joy but facing.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah peta, tentu saja, menjadi bentuk dominasi utama dalam mengatur kerja pikiran. Terbangun pada pagi hari dengan ingatan rencana aktivitas yang berjangka hari, semacam medan praktek yang masih terkesan klise, sebab membaca peta pikiran masih menjadi tradisi yang cukup asing dalam tradisi keseharian selama ini yang penuh gamang memahami pikiran GPS, teracak, berujung umpat, menjadi tradisi lain dalam sosial Jakarta selain klakson.

Ada saatnya memahami pola kerja peta, seperti pagi ini, rencana secangkir kopi tubruk dengan gula yang cukup berharap mampu memicu energi harus terhenti karena isi gas habis, sementara warung kelontong sekitar masih tutup. Namun, begitulah perjalanan setiap rencana; akan selalu dihadapkan pada ruang tunggu. Bekuan waktu menawarkan suatu keseimbangan antara inovasi pikiran dengan improvisasi tindakan berjalan serima untuk the nothing and not seeing, no joy but facing.

Tidak ada lagi aroma tanakan nasi selain aroma knalpot menjadi hirup mengawali hari.

Beberapa ketukan di pintu depan terdengar ringkas. Seorang wanita menggendong balita tersenyum. “Ibu pesan gojek?” Mungkin ini pesanan anak saya, dan sudah tiba. “Oh iya, saya akan tanya anak saya, terima kasih Bu.” Sedikit bercakap di pagi hari yang sedikit mendung, melihat senyum gemas anak-anak memberi semangat yang berbeda. Ada gembira yang berkesan the nothing and not seeing, no joy but facing di mana nuansa lenyap entah kemana selain bermain dengan imajinasi. Suatu kondisi tentang “Hope is the thing with feathers”, puisi karya Emily Dickinson mengingatkan saya untuk bergerak menuju warung sebelum kehabisan gas isi ulang agar saya dapat menikmati kopi tubruk pada pagi ini.

Hope is the thing with feathers

That perches in the soul

And sings the tune without the words

And never stops at all

 

And sweetest in the Gale is heard

And sore must be the storm

That could abash the little Bird

That kept so many warm

 

I’ve heard it in the chillest land

And on the strangest Sea

Yet never in Extremity,

It asked a crumb of me.

Peta pikiran berjangka hari sepenuhnya menentukan kelengkapan perasaan yang sering kali bersifat the nothing and not seeing, no joy but facing dan ini memang menjadi pembacaan lain antara sosial, GPS, dan kehadiran/presence di sebuah negeri tropis memasuki pancaroba pada pagi hari. Harapan semacam gamangnya peta pikiran sekaligus senyum gemas sebelum layu pada entah.

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler