x

Ilustrasi perangkap.Sumber foto: shutterstock.com

Iklan

Sutri Sania

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Januari 2021

Rabu, 24 Agustus 2022 06:23 WIB

Perangkap Goblin di Kehidupan Investor Nikel Indonesia, Ulah Siapa?

Kala para penanam modal sudah berinvestasi besar-besaran, (FYI, capaian realisasi penanaman modal Indonesia di kuartal II/2022 mencapai Rp302,2 triliun), muncul kebijaka-kebijakan pemerintah Indonesia yang bagaikan perangkap goblin bagi para investor. Apa saja itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernahkah kamu mendengar istilah 'perangkap goblin'? Istilah ini menggambarkan potret investasi di Indonesia yang sebenarnya. Awalnya saya kira menanamkan modal dan berbisnis di Indonesia itu aman-aman saja, terlihat dari betapa tingginya capaian realisasi penanaman modal yang rutin dipaparkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun sayang, banyak perangkap goblin yang dibuat oleh pemerintah yang merugikan pihak investor!

Mengapa disebut ‘perangkap goblin’? Sebentar, ada baiknya kamu tarik nafas dalam-dalam, memusatkan perhatianmu, dan mari bayangkan kalau kamu adalah seorang penanam modal. Di saat kamu sudah menggelontorkan banyak modal untuk perusahaan --modal berupa uang, waktu, tenaga-- dan kemudian kamu berpikir semua akan baik-baik saja ke depannya selama kamu manut dan mengikuti aturan yang berlaku, tiba-tiba ada saja beragam kebijakan yang malah memberatkan langkahmu. Jadinya? Ya, kamu sulit melangkah, kan?

Kasus Nyata 'Perangkap Goblin' yang Dihadapi Investor

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya beri contoh cerita salah satu teman saya seorang penanam modal di sektor pertambangan. Baru-baru ini, sektor pertambangan nikel lagi dihebohkan dengan pemberlakuan pajak progresif untuk ekspor nikel. Hmm, sebenarnya sih mereka sudah mengetahui rencana ini dari awal tahun, kala pihak Kemenko Marves menyampaikan tujuan yang hendak dicapai dari pemberlakuan pajak progresif untuk ekspor nikel. 

Diungkap oleh Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto, “Kami ingin mendorong hilirisasi nikel lebih jauh lagi. Kami ingin memberikan dorongan supaya investasi jangan hanya berhenti di nickel pig iron dan feronikel saja, tetapi juga investasi ke produk nikel yang memiliki nilai tambah lebih tinggi," katanya, Kamis (20/1) silam.

Namun, jreng! Alih-alih hanya dua produk nikel yaitu NPI dan Feronikel seperti yang dulu diungkap pemerintah, ternyata termaktub dalam PP No.26 Tahun 2022, sejumlah produk nikel lainnya juga dikenakan pajak progresif, yaitu Nickel Matte, Nickel MHP, Nickel Sulfide Kobalt Oksida, Logam Krom, Mangan Oksida dan masih banyak lainnya. 

Kekagetan di kalangan pengusaha dan penanam modal nikel bukan tanpa alasan. Selain karena tiba-tiba bertambahnya deretan produk yang dikenakan pajak ekspor, pihak pengusaha dan penanam modal merasa tak pernah diajak diskusi bersama dan sosialisasi terhadap kebijakan yang malah merugikan mereka dari berbagai sisi.

Kata teman saya, harga nikel dunia tidak bisa dijamin akan tetap tinggi seperti sekarang. Yah, saya merasa hal itu masuk akal, sih. Fluktuasi harga komoditas dunia pasti akan terus terjadi di tengah ketidakpastian global, termasuk harga komoditas nikel.

Misalkan harga nikel jatuh merosot di nilai yang tidak ekonomis atau jauh dari nilai produk yang dihasilkan smelter, maka ini merupakan risiko yang besar! Kira-kira, bagai jatuh tertimpa tangga, lah. Sudah nggak dapat ‘uluran kasih’ dari pemerintah, eh malah terkena beban pajak, progresif pula!

Bahkan dengan adanya pajak progresif juga, tidak hanya persoalan ekspor saja, perusahaan pertambangan yang terintegrasi dengan pabrik smelter akan dikenakan royalti untuk produk akhir yang dihasilkannya, diluar dari pajak pendapatan badan dan pajak karyawan. Makin pusing nggak tuh!

Kepusingan para penanam modal ternyata tak hanya berhenti di situ saja. Selain kebijakan progresif untuk ekspor nikel, pemerintah juga memutuskan untuk menghapus tax holiday. Artinya, sudah tak ada lagi fasilitas bebas pajak untuk periode tertentu bagi kawan kawan penanam modal yang berminat menjajaki penanaman modal di sektor smelter NPI dan feronikel Indonesia.

Terlebih, hal ini diberlakukan kala para penanam modal sudah berinvestasi besar-besaran. FYI, capaian realisasi penanaman modal Indonesia di kuartal II/2022 mencapai Rp302,2 triliun. Makanya, kebijakan-kebijakan ini juga bisa disebut ‘perangkap goblin’.

'Perangkap Goblin' Bisa Berbalik Rugikan Indonesia?

Coba difikir-fikir. Padahal, keuntungan dari moncernya sektor pertambangan yang bisa berdaya saing dengan produk-produk ber-value added, ujungnya juga akan dirasakan negara melalui kontribusi terhadap PDB maupun capaian realisasi investasi hingga akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia

Tapi semua itu bisa saja hanya angan, jika pemerintah terus menerus menyusahkan sohib saya dan rekan-rekan seperjuangannya di sektor bisnis. Sekali lagi, ini hanya sebatas asumsi saya yang tak seberapa pantas ini.

Sohib saya dan rekan-rekannya bisa saja merasa gerah karena iklim penanaman modal tidak senyaman yang terlihat di awal dan akhirnya mencabut modalnya di Indonesia. Belum lagi, zaman sekarang, berita cepat menyebar. Para calon penanam modal yang tadinya tertarik menanamkan modalnya di Indonesia bisa ‘mundur seribu langkah’.

Kalau begini, apakah pemerintah mau bertanggung jawab, atau pemerintah sebenarnya sudah siap untuk mandiri tanpa peran besar para penanam modal yang mendatangkan tak hanya pundi triliunan rupiah ke kas investasi negara, namun juga knowledge dan technology yang bisa mengembangkan sektor industri Indonesia? Ingat! Jangan sampai 'perangkap goblin' yang disebar berbalik kearahmu!

Ikuti tulisan menarik Sutri Sania lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB