Burung Gagak dan Burung Merak
Minggu, 28 Agustus 2022 07:18 WIB
Esmeralda tahu benar harus menghindari orang-orang yang dikenal sebagai Para Penjarah Makam. Dengan mantel panjang dan kotor mereka, bagai gelandangan yang memegang sekop dan salib di tangan yang kasar dan kapalan.
Esmeralda tahu benar harus menghindari orang-orang yang dikenal sebagai Para Penjarah Makam. Dengan mantel panjang dan kotor mereka, bagai gelandangan yang memegang sekop dan salib di tangan yang kasar dan kapalan.
Mereka lebih jarang terlihat daripada sewaktu ibunya masih ada. Tidak ada kekurangan tubuh untuk meja ahli anatomi selama tahun-tahun Revolusi yang panjang, tetapi di sana-sini orang mendengar kuburan digali dan mayat hilang. Bukan hal yang aneh jika menemukan sepasang dari mereka di kegelapan malam bulan baru, atau di bawah langit tanpa bintang yang tertutup awan. Hanya orang bodoh atau putus asa yang akan melakukan kenistaan sendirian di malam yang cerah dengan cahaya bulan melimpah.
Mungkin Esmeralda bodoh karena berada di sana. Dia senang dengan cahaya ketika dia pulang dari pabrik untuk mengunjungi makam kekasihnya. Mawar merah layu tergenggam erat di tangannya. Namun, sekarang, dia berdiri ketika dia bertemu dengan seorang pria yang membungkuk di atas nisan marmer yang lapuk.
Dia tidak akan kuat mengangkatnya, pikirnya, dan tubuh di bawahnya sudah lama membusuk.
Apa gunanya tulang berdebu, yang tentunya hanya sisa di dalam kuburan yang sangat tua?
Tapi sepertinya itu bukan tujuannya sama sekali.
Pria itu berpakaian bagus, jubahnya terbuat dari kain halus dengan jahitan khusus. Dia tidak membawa sekop atau cangkul, tidak ada topi untuk menutupi kepalanya yang botak atau menyembunyikan wajahnya yang berkerut.
Dia mengangkat tangan untuk menguji angin, lalu menyalakan empat lilin, satu di setiap sudut mata angin, dan ketika dia melakukannya, cahaya lilin memperlihatkan alat-alatnya: palu dan pahat, gulungan kulit yang sudah usang dan sedikit kapur. Dan pisau, panjang dan ramping, dengan lekukan menakutkan di ujungnya.
Tangan Esmeralda refleks menggemgam tangkai mawar, dan dia menahan jerit tangis saat duri menusuk ibu jarinya.
Tapi dia telah terdengar.
Apa pun dia, dia tidak ingin ketahuan.
Dia mengejar Esmeralda, dan gadis itu melihat pisau di tangannya. Pyang dimaksudkan untuk membunuh dengan cepat, atau untuk membungkam gadis muda yang menjadi saksi malang atas penistaan yang akan dia lakukan.
Esmeralda berlari. Namun dia tidak cukup cepat atau cukup gesit di taman pusara ini. Dan pria itu menangkapnya dengan mudah, mencengkeram di lengan dan kemudian di pinggangnya, dan dia merasa dirinya terlempar ke belakang dan mendarat dengan kekuatan yang membuatnya memar di pucuk nisan makam, datar seperti meja dan rendah di tanah.
Pria itu di atas tubuhnya dengan mata menyipit dan rahang mengeras kaku. Dia telah menghimpit Esmeralda dengan berat tubuhnya. Meski bukan pria muda, tetapi masih bugar, dan jauh lebih besar daripadanya.
"Aku sudah mencari terlalu lama," desis pria itu dengan gigi terkatup. "Kematian mengejarku seperti anjing. Dan aku akan terkutuk jika membiarkan hal kecil sepertimu merusak apa yang mungkin menjadi kesempatan terakhirku untuk berlari lebih cepat."
Dia mendorong dirinya dengan satu tangan, dan tampak mengumpulkan kekuatannya untuk apa yang harus dia lakukan.
Entah itu keberuntungan, atau Tuhan, atau hantu kekasihnya sendiri yang menyebabkan tangan pria itu terpeleset di atas marmer saat itu, Esmeralda tidak peduli. Meskipun dia berterima kasih dan memuji ketiganya ketika semuanya selesai.
Pria itu kehilangan keseimbangan dan pisaunya terlepas di tangannya saat mencoba untuk memperbaiki posisi tubuh. Esmeralda meraih pisau, tidak mempedulikan rasa sakit saat tangannya menggenggam lebih banyak sisi tajam daripada gagang, mengabaikan darah yang mengalir di lengannya saat dia menebas dan berjuang untuk hidupnya.
Dan kemudian semuanya berakhir.
Esmeralda berbaring di tanah di samping batu nisan. Bunga mawar babak belur terhimpit tubuh tak bernyawa, beberapa kelopaknya berserakan di tanah di luar.
Darah dari tangannya yang terluka meneteskan hitam ke dalam debu.
Esmeralda berjuang untuk menghentikan isak tangisnya saat dia turun dari makam yang berlumuran darah. Dia mundur perlahan dari orang mati itu, dan tersandung saat kakinya menyentuh tepi marmer yang terangkat.
Lilin-lilin masih berdiri, sumbu yang menyala dipadamkan angin sepoi-sepoi. Sebuah tas terletak di bayang-bayang kegelapan.
Apakah pria itu punya uang?
Dia menyalakan lilin dan mengosongkan tasnya di tanah. Sebuah dompet dengan uang yang cukup untuk membuatnya bertahan selama berbulan-bulan. Esmeralda bahkan akan merasa kaya raya jika isi dompet itu hanya setengah.
Dia meraba-raba, membuka sebungkus kertas dan membawa setiap halaman ke atas cahaya lilin. Surat-surat perjalanan, termasuk tanda terima untuk perjalanan ke ibukota. Tidak ada gunanya baginya karena tercatat dengan nama orang yang sudah meninggal, tapi dia menyimpannya dengan harapan bisa menemukan cara untuk mengubahnya atau menjualnya.
Terakhir dia membuka gulungan kulit yang membungkus dengan perkamen tua, dan selembar lontar terpisah berisi tulisan. Naskah perkamen terjalin dengan tanda dan simbol misterius berwarna merah, semuanya berputar ke dalam, menuju matahari keemasan.
Dia mengangkat halaman yang lepas ke arah cahaya dan mulai membaca.
Keringat dingin mengucur di udara malam yang dingin menusuk dan dia menggigil, tetapi ketika dia mulai memahami kata-kata di halaman itu, dia merasakan wajahnya menjadi panas dan jantungnya berdebar kencang sampai menyakiti gendang telinganya sendiri.
Ya, pikirnya, ini cukup menjadi alasan untuk membunuh.
Dia melihat ke arah tubuh yang kisut. jubah halus pria itu terbentang di atasnya seperti selimut.
Jika berhasil, pria itu akan berubah dari gagak menjadi merak.
Esmeralda meraih tas dan berlari keluar gerbang utara, berhenti sejenak di batu nisan sederhana kekasihnya. Dia menusap batu itu untuk cinta dan keberuntungan, meninggalkan noda darah yang berkilauan pekat basah di malam hari.
Sampai saat ini dia percaya khotbah para imam, bahwa upah untuk kehidupan yang menderita, miskin, dan kehilangan adalah janji Surga, dan bertemu kembali dengan Yosef. Kadang-kadang janji itu tampaknya cukup memuaskan baginya.
Tapi ini ... ini jauh lebih baik.
Bandung, 27 Agustus 2022

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Anak-anak Malam Minggu
Sabtu, 2 September 2023 17:05 WIB
Babad Republik Sewidak Loro: Setelah 25 Tahun Reformasi
Senin, 29 Mei 2023 09:47 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler