Di tepian batu-batu, tanah yang basah dalam kilau-kilau embun jatuh dan mengapung.
Menyisakan hujan semalam, bintang-bintang pun menjauh bagaikan mimpi yang takkan sanggup tergenggam. Sementara hanya untuk suatu sentuhan, waktu membawanya pada hilang.
Tidak ada lagi aroma tajam melati yang menelisik terali rumah tua bergaya katedral dengan penuh hasrat, menyeduhkannya ke secangkir teh hangat.
Sesaat fajar merekah begitu dingin sebelum pagi.
Huruf-huruf gugur untuk suatu musim yang lain, untuk kisah sembilu yang lain, untuk jalan yang terputus di simpang yang lain.
Tolong katakan kepadaku, bagaimana para panyair dapat merangkai keindahan dunia?
Sementara mereka menadah segala duka panjang.
Adakah hati sebening kolam yang telah ditinggalkan sang pemiliknya sejak ribuan tahun?
Jika benar, pada setiap gemuruh yang terkelam, cahaya dengan pelangi akan mengisi langit, apakah itu abadi? Bagaimana jika badainya kembali menghantam bersama gulungan tsunami yang bersiap mencabik keras dinding hati para penyair?
Semalang sembilu kembali luruh kepada rekah fajar yang kembali sunyi.
Seperti suatu pagi...
Di tepian batu-batu, tanah yang basah dalam kilau-kilau air mata sebelum seka, sesaat embun jatuh dan mengapung hati yang sempat utuh.
Seperti suatu janji...
Seperti suatu hari...
Seperti.....
Mungkin pernah ada janji hari bagi yang utuh dan terbelah dalam kisah tragis yang demikian epik, di antara Atlantis dan Pasifik.
Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.