x

Sumber gambar : Pixabay

Iklan

Yafet Ronaldies

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Minggu, 9 Oktober 2022 14:59 WIB

Menyoal KDRT Rizky Billar Pada Lesti Kejora; Perspektif Hukum Pidana dan Teori Hukum Pembuktian

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak hanya terjadi pada masyarakat biasa saja, juga menerpa publik figur atau kalangan atas. Masalah ini bisa diteropong dari sudut pandang hukum pidana serta teori hukum pembuktian. Baik itu dalam proses penanganan hingga sampai pada muara peradilan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa minggu ini publik digegerkan adanya dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan Rizky Billar kepada sang istri, Lesti Kejora. Sempat menjadi trending dalam media sosial, sampai-sampai kasus-kasus yang besar hampir tertutupi (alias hampir saja terjadi pengalihan isu), hehehee. Bagi kalian yang belum kenal siapa mereka berdua, silahkan searching di google.

Penulis akan menguraikan secara singkat kronologis dari dugaan KDRT Rizky Billar terhadap Lesti Kejora. Disclaimer dulu bahwa penulis tidfak bermaksud ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain. Tetapi, penulis mau menjelaskan persoalan KDRT dari sudut pandang hukum pidana.

KDRT yang terjadi, menurut keterangan Lesti (sebagai korban), sudah sering terjadi pada dirinya. Karena sudah tidak tahan maka dia melaporkannya ke Kepolisian (Polres Metro Jakarta Selatan). Di dalam laporannya, Lesti mengaku mengalami kekerasan sebanyak dua kali pada Rabu (28/9) dini hari dan pagi harinya pukul 09.47 WIB.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada pagi hari, kata Lesti, Rizky Billar menarik hingga membanting dirinya ke lantai kamar mandi. Lesti Kejoramengaku dicekik, dibanting, hingga terjatuh ke lantai. Kemudian dia mengakui pernah dilempar bola billiar, namun meleset, karena Rizky terpeleset.

Dari beberapa sumber yang penulis baca, sebab terjadinya kekerasan adalah adanya dugaan perselingkuhan yang dilakukan Rizky. Buat kalian yang saat ini punya niatan untuk selingkuh, lebih baik gak usah deh. Impact-nya tidak bagus banget buat hubungan kalian, terus nama besar keluarga kalian pasti tercemar buruk. Hehehee…

Dari hasil penyidikkan, kepolisian mengamankan barang bukti berupa telepon genggam dan CCTV di rumah tersebut. Polisi juga telah memeriksa sejumlah saksi yang berada di lokasi kejadian saat dugaan KDRT terjadi, termasuk saksi terlapor. Sampai saat ini, ada dua orang saksi dimintai keterangan, yakni kedua asisten rumah tangga.

Polres Metro Jakarta Selatan telah menerima hasil visum et repertum atas nama Lesti Kejora. Visum et repertum bisa dijadikan sebagai alat bukti untuk pengusutan kasus dugaan KDRT. Hasil visumnya, Lesti mengelami luka memar pada leher bagian depan disertai bengkak, lebam, dan nyeri. Semoga kedua belah pihak segera mendapat keadilan serta kepastian hukum.

Selanjutnya, penulis akan menguraikan kasus KDRT ini dalam prespektif hukum pidana serta dalam sudut pandang teori dan hukum pembuktian (evidence).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Pasal 1 menyatakan “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Lebih lanjut di Pasal 2 tentang lingkup dari rumah tangga, antara lain ada suami, isteri, anak, orang-orang yang memiliki hubungan keluarga hingga para pembantu atau asisten rumah tanggaa yang masih aktif bekerja. Dalam kasus Rizky Billiard dan Lesti Kejora, mengapa dikatakan KRDT? Dikarenakan ini terjadi dalam lingkup rumah tangga. Oleh sebab itu fundamental atau patokkan dasar para penegakkan hukum, untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum, arahnya pasti ke Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004.

Jikalau ditinjau dari Pasal 6 dan Pasal 7 Undang Nomor 23 Tahun 2004, kekerasan terbagi menjadi dua, yakni kekerasan secara fisik dan psikis. Kekerasan fisik yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kemudian, kekerasan psikis merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Dalam kasus Rizky Billir dan Lesti Kejora, pengakuan dari korban kekerasan (Lesti) mengaku bahwa dari hasil visum yang telah dilakukan terdapat luka-luka memar di beberapa bagian tubuh. Serta korban mengalami trauma berat akibat kekerasan yang dideritanya.

Sebenarnya ketika kekerasan fisik sudah menyerang seseorang (dalam hal ini korban), maka secara tidak langsung korban akan mengalami kekerasan psikis (tekanan mental), seperti rasa takut, trauma yang sangat berat, juga rasa percaya diri turun drastis. Sebaliknya, ketika kekerasan psikis menyerang seseorang, biasanya belum tentu korban mendapatkan kekerasan secara fisik. Contoh konkrit kekerasan psikis ialah melalui caci maki/hinaan berlebihan, bentakkan/marah-marah secara brutal (tanpa memukul korban), meneror atau mengintimidasi korban secara langsung dan melalui media sosial.

Biasanya penanganan/pemulihan dari kekerasan psikis yang dialami korban, akan berhubungan langsung oleh dokter psikiater (tenanga ahli dibidang kejiwaan dan perilaku manusia). Berbeda dengan kekerasan fisik, biasanya akan dilakukan Visum et Repertum oleh dokter forensik (tenaga ahli) untuk melihat secara medis jenis-jenis luka kekerasan yang di derita oleh korban.

Dalam hal hukuman dan sanksi yang akan diterima oleh para pelaku kekerasan dalam rumah tangga, hukuman dan sanksinya bervariasi, sesuai dengan perbuatan yang dilakukan (berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004, BAB VIII Ketentuan Pidana). Misal dalam Pasal 44 menyatakan jikalau orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Selanjutnya di Pasal 44 ayat 2, jika korban menderita jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Kendatipun demikian, selain hukuman atau sanksi pidana yang akan diberikan kepada pelaku, di Pasal 50 hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan seperti, pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku dan penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Akan tetapi, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2004, tindak pidana ini merupakan delik aduan/klacht delict sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 51 dan Pasal 52 (kekerasan fisik dan kekerasan psikis adalah delik aduan). Arti dari delik aduan ialah aparat penegak hukum hanya akan memproses kasus tersebut (dari tingkat penyelidikkan, penyidikkan, penuntutan), apabila telah ada pengaduan/pelaporan dari korban (orang yang dirugikan/menderita) dari kejahatan tersebut.

Menariknya di Pasal 55 Undang-undang nomor 23 tahun 2004 menyatakan, sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Artinya bahwa keterangan dari korban sudah sangat cukup menjadi alat bukti yang sah, dan selanjutnya tersangka akan naik statusnya menjadi terdakwa. Perbedaan tersangka dan terdakwa ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab I Pasal 1. Sederhananya seperti ini, dikatakan tersangka ketika bukti permulaan ditemukan atau patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Sedangkan terdakwa ialah seseorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang Pengadilan.

Pada bagian awal, penulis sempat menyinggung soal visum et repertum, istilah-istilah seperti ini biasanya dikita jumpai dalam kedokteran Forensik. Akan tetapi fokus penulis tidak terarah kesitu. Penulis akan mengaitkan bukti visum ini dalam hal teori dan hukum pembukitan (tindak pidana). Dari segi pembuktian hukum pidana mengenai alat bukti, terdapat dalam KUHAP Pasal 184 ayat 1, alat bukti secara sistematis sebagai berikut: 1. Keterangan Saksi, 2. Keterangan Ahli, 3. Surat, 4 .Petunjuk dan yang terakhir keterangan terdakwa.

Dalam hal visum et repertum, alat buktinya masuk di kategori surat. Di dalam surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah. Hasil dari visum et repertum, dikeluarkan oleh dokter (berkompeten/ahli dibidangnya). Visum tersebut dapat dibuat berdasarkan permintaan korban atau permintaan aparat penegak hukum, untuk keperluan penyidikan, penuntutan hingga tahap persidangan.

Demikian tulisan singkat saya, semoga lewat tulisan ini kita sama-sama belajar untuk mengembangkan potensi para penulis Indonesia dari berbagai bidang keilmuan yang ada. Kalau ada kekeliruan dari tulisan saya, silahkan dikomentar. Agar penulis dapat memperbaikinya.

Untuk melakukan kerjasama project tulisan bersama penulis, bisa melalui hubungi melalui email: yafetronaldies7@gmail.com.

Ikuti tulisan menarik Yafet Ronaldies lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB