x

Sumber ilustrasi: washingtonpost.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 10 Oktober 2022 19:32 WIB

Bram

uara yang dalam memanggil lelaki tua itu kembali dari suatu entah. Dia tidak tahu di mana dia berada atau di mana dia sekarang, tetapi namanya terdengar seperti sebuah perintah. Pikiran dan tubuhnya seperti terputus. Dia tidak punya suara atau tenaga. Apakah perintah itu yang tidak bisa dia patuhi? Jika dia bisa menggerakkan bibirnya, dia akan tersenyum. Dia berada di luar jangkauan mereka, dan itu terasa menyenangkan. Tenang. Tidak ada tanggung jawab untuk siapa pun, untuk kali ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Bram."

Suara yang dalam memanggil lelaki tua itu kembali dari suatu entah. Dia tidak tahu di mana dia berada atau di mana dia sekarang, tetapi namanya terdengar seperti sebuah perintah.

Pikiran dan tubuhnya seperti terputus. Dia tidak punya suara atau tenaga. Apakah perintah itu yang tidak bisa dia patuhi? Jika dia bisa menggerakkan bibirnya, dia akan tersenyum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia berada di luar jangkauan mereka, dan itu terasa menyenangkan. Tenang. Tidak ada tanggung jawab untuk siapa pun, untuk kali ini.

"Bram!"

Suara itu terdengar lebih memaksa. Lebih nyaring. Lebih dekat.

Dengan enggan dia mulai memeriksa indranya yang bekerja selain pikiran. Dia jelas bisa mendengar. Dia juga mendengarkan suara lain, tetapi hanya bunyi bip yang stabil dan desis yang terputus-putus.

Tidak dapat membuka matanya. Penglihatan bukanlah pilihan.

Dia menyadari aroma manis menyengat yang samar-samar akrab, tetapi dia tidak bisa menentukan bau dengan tepat.

Di mana aku?

Dia penasaran, tapi tidak peduli dengan keberadaannya. Dia merasa nyaman. Tidak dingin atau hangat. Tanpa rasa sakit. Dan tidak terburu-buru.

Seperti mati suri, pikirnya.

Tunggu, tapi untuk apa? Atau siapa?

Pikirannya melayang. Potongan-potongan simfoni favoritnya datang dan pergi, seperti halnya sekilas tentang Raden Saleh, Monet, Rembrandts dan Picasso. Diselimuti keindahan, dia mengistirahatkan pikirannya.

"Bram, sadarlah."

Aku tidak sedang tidur. Aku sedang di Negeri Antah Berantah, seperti Peter Pan. Tinggalkan aku sendiri. Aku senang di sini, di mana pun itu.

Ketika dia menyadari bahwa punggungnya bertumpu pada sesuatu yang kokoh, dia menanamkan ke dalam ingatannya dan menambahkan sentuhan pada daftar indra mentalnya. Dengan indra sentuhan muncul kesadaran akan rasa sakit di dadanya. Bukan nyeri yang menyakitkan, hanya sekadar nyeri.

Dia mencoba mengangkat tangannya untuk menyentuh sumber ketidaknyamanannya, tetapi tangannya tidak bergerak. Masih tidak ada kendali otot, dia menyadari.

Cahaya terang bersinar melalui kelopak matanya yang tertutup dan dia menjepitkannya lebih erat.

“Ah, Bram. Aku melihatnya. Buka matamu."

Suara itu lebih lembut dan lebih menyemangati sekarang. Dan dia mengenalinya. Patria, sesama ahli bedah dan teman.

Kelopak matanya terbuka lebar.

Patria berdiri di atasnya, rambut abu-abu menggumpal dari tepi topi bedahnya. Maskernya ditarik ke bawah untuk memperlihatkan kumisnya dan bibirnya yang tersenyum.

Dia mendengarkan sementara teman lamanya menceritakan hal yang sama yang dia katakan kepada banyak pasien selama bertahun-tahun.

Anda sedang dalam pemulihan. Anda melakukannya dengan baik. Kami melakukan bypass empat kali, dan berhasil dengan baik. Anda akan segera kembali bekerja.

Hanya kali ini dia bergantung pada setiap kata seolah-olah hidupnya bergantung padanya, karena memang begitu. Dia mencoba berbicara tetapi hanya menyalakan alarm pada respirator yang terpasang pada pipa endotrakealnya.

Tube akan segera dilepas, Bram. Santai aja."

Santai. Itu adalah perintah yang bisa dia patuhi. Dia memejamkan mata dan mendengarkan suara-suara yang telah menjadi lingkungan kerjanya selama tiga puluh tujuh tahun. Sumber kepuasan dan stresnya. Bunyi bip monitor dan desisan respirator menciptakan ritme sinkopasi. Musik ruang pemulihan. Musik kehidupan. Hanya sekarang tubuhnya yang menciptakannya.

Benzoin. Zat yang digunakan untuk membuat perban menempel di kulit. Itulah yang dia cium. Itu menyatukan sayatannya dan—dalam arti tertentu—keberadaannya.

Hidupku, pikirnya. Bagaimana aku menjadi begitu tua begitu cepat? Bukankah baru satu atau dua tahun yang lalu aku memulai karir sebagai ahli bedah? Muda dan baru menikah dengan Salama, cinta dalam hidupku. Samalam berambut cokelat yang cantik. Dia meninggal terlalu muda, meninggalkankuuntuk membesarkan dua anak kami. Sekarang mereka juga tumbuh dan menjelajah dunia.

Santai.

Ya, sudah waktunya.

Dia hanyut dalam tidur tanpa mimpi.

 

Bandung, 10 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB