x

SUmber ilustrasi: istock.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 17 Oktober 2022 11:42 WIB

Kecelakaan

Ketika dia mendengar berita itu, dia berlari, berhenti cukup lama untuk mengunci pintu depannya. Secangkir teh yang baru diseduh masih terletak di atas meja, sekeping biskuit tergeletak di sampingnya. Keduanya tidak tersentuh karena dia terburu-buru pergi. Dia tidak mempunyai mobil. Kota tempat dia tinggal semua yang dibutuhkan berada dalam jarak berjalan kaki. Dia bahkan tidak mempertimbangkan untuk membelinya. Keputusan yang dia sesali ketika dia harus menghabiskan sepuluh menit mencoba memanggil taksi. Jari-jarinya mati rasa karena dinginnya pertengahan musim hujan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika dia mendengar berita itu, dia berlari, berhenti cukup lama untuk mengunci pintu depannya. Secangkir teh yang baru diseduh masih terletak di atas meja, sekeping biskuit tergeletak di sampingnya. Keduanya tidak tersentuh karena dia terburu-buru pergi.

Dia tidak mempunyai mobil. Kota tempat dia tinggal semua yang dibutuhkan berada dalam jarak berjalan kaki. Dia bahkan tidak mempertimbangkan untuk membelinya. Keputusan yang dia sesali ketika dia harus menghabiskan sepuluh menit mencoba memanggil taksi. Jari-jarinya mati rasa karena dinginnya pertengahan musim hujan.

Dia menunggu dengan cemas, tidak bisa diam, sebagian karena kedinginan. Wanita tua yang tinggal di sebelah terus mengintip dari balik tirai dengan tatapan penasaran, tidak memahami kenapa dia begitu gelisah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akhirnya, sebuah taksi berhenti di depannya, merasa kasihan melihatnya menggigil. Sopir itu mengangguk ketika pria itu memberinya alamat tujuannya. Sekarang dia benar-benar membuat kemajuan, dia seharusnya bisa sedikit rileks, tetapi dia duduk di tepi kursi, mengabaikan ekspresi bingung yang muncul di wajah pengemudi setiap kali matanya berkedip ke kaca spion. Dia terus meremas-remas tangannya, hampir tidak menyadari ketidaknyamanannya.

Dia melemparkan uang ke sopir taksi ketika mobil berhenti, tidak menunggu uang kembaliannya sebelum dia menyerbu ke arah gedung. Di dalam orang ramai. Orang-orang yang tampak sengsara duduk di kursi yang tak nyaman diposisikan di dinding. Bosan.

Seorang wanita dengan lengan di gendongan memelototinya ketika dia secara tidak sengaja menabraknya dalam perjalanan ke meja depan.

Kedua resepsionis yang duduk di belakang meja sedang berbicara di telepon, jadi dia menunggu mereka selesai. Jemarinya mengetuk-ngetuk dengan tempo cepat di atas meja kayu yang memisahkannya dengan kedua wanita itu.

Setelah apa yang terasa seperti berjam-jam tetapi nyatanya hanya beberapa menit, salah satu resepsionis meletakkan gagang telepon dan mengalihkan pandangan ke arahnya. Dia mengajukan pertanyaanyang terdengar seperti permohonan. Tidak terpengaruh oleh sikapnya, resepsionis mengetik sesuatu ke komputernya sebelum menjawabnya.

Dia mengikuti arah yang ditunjuk wanita itu, bergegas menyusuri selasar berdinding putih. Sambil membaca angka di atas kamar, ketegangan meningkat di dalam dirinya saat secara bertahap kamar yang dituju semakin dekat.

Ketika dia mencapai nomor yang tepat, dia berhenti.

Dia ingin masuk ke dalam tetapi dia takut dengan apa yang akan dia temukan di dalam. Menarik napas dalam-dalam, dia mendorong pintu dan masuk ke dalam ruangan.

Di sanalah kekasihnya, berbaring di tempat tidur bermotif sederhana. Perban melilit kepalanya. Semburat merah samar mengisyaratkan luka di bawahnya. Memar mengotori kulitnya. Salah satu matanya terlihat bengkak dan sipit.

Awalnya dia berasumsi penjepit biru yang melingkari lehernya mencegahnya berbalik untuk menoleh ketika dia masuk, tetapi dia segera menyadari bahwa kekasihnya tak sadarkan diri.

Dengan jari-jari tangannya, dia berulang kali menyisir rambut kekasihnya. Dia mondar-mandir di ujung tempat tidurnya dengan frustrasi. Dia tidak ingin membangunkan kekasihnya, tetapi dia perlu tahu apakah kekasihnya baik-baik saja.

Dia pindah ke kursi di samping tempat tidur. Kakinya bergoyang-goyang tidak sabar. Tidak dapat menahan, dia meraih tangan kekasihnya yang tergeletak di atas selimut. Dibandingkan dengan anggota tubuh lain, tangan itu terlihat tidak terluka sehingga dia berani meremas dengan mesra.

Dia berharap itu cukup untuk menjangkaunya, sedalam pikiran kekasihnya berada saat tidak terjaga.

Dia duduk di sana selama berjam-jam, mengamati wajah kekasihnya untuk mencari tanda sekecil apa pun bahwa kekasihnya akan tersadar.

Setiap kali kekasihnya mengedutkan jari sedikit, jantungnya berpacu harap hanya untuk kecewa.

Para perawat berusaha membujuknya untuk beristirahat, minum kopi atau makanan ringan dari mesin. Dia menolak untuk pindah dari kursi itu dan para perawat pun akhirnya menyerah berusaha untuk membuatnya bergerak.

Lelah menyelimutinya saat mata kekasihnya berkedip, menyebabkan dia hampir melewatkannya. Perlahan, mata kekasihnya mulai terbuka, berkedip malas, setiap kali membuka lebih lebar sedikit. Kekasihnya berusaha untuk duduk, dengan hati-hati menekan tangan ke dahinya yang diperban. Dengan cemberut, kekasihnya mengamati ruangan sebelum matanya akhirnya tertuju padanya.

Rambut kekasihnya acak-acakan seperti baru bangun tidur, begitu juga gaunnya.

Senyum lebar mengembang di wajahnya. Kekasihnya melihat ke bawah ke tangannya, untuk menemukan dia memegangnya.

"Kamu siapa?" kekasihnya bertanya dengan suara serak.

Senyumnya menghilang.

 

Bandung, 16 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB