x

Hutan Mangrove di Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran Lampung. TEMPO/Nurochman Arrazie

Iklan

Muhammad Farhan Fadilla

Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bergabung Sejak: 23 Maret 2022

Minggu, 23 Oktober 2022 12:57 WIB

Analisis Konflik Sengketa Wilayah terhadap Kepulauan Senkaku antara Jepang dan Tiongkok

Kepulauan Senkaku atau Diaoyutai merupakan sebuah kumpulan pulau-pulau tak berpenghuni yang secara geografis terletak sekitar 120 mil laut sebelah timur laut Taiwan, 200 mil laut di sebelah barat daya Okinawa, dan 200 mil laut sebelah timur dari pantai terdekat Tiongkok Daratan. Pada tahun 1968 UNCAFE (UN Economic Commission for Asia and the Far East) melakukan penelitian terhadap Kepulauan Senkaku, penelitian tersebut menyebutkan bahwa di Laut Cina Timur, tepatnya di sebuah landas kontinental dekat Kepulauan Senkaku, terdapat kandungan minyak dan gas alam yang melimpah. Bahkan, kandungan minyak serta gas alam tersebut akan menjadi salah satu kandungan minyak terbesar di dunia. Sehingga menarik perhatian yang sangat besar terhadap pemerintah Jepang dan pemerintah Tiongkok. Kepemilikan terhadap Kepulauan Senkaku akhirnya menjadi penting dan diperebutkan oleh kedua negara tersebut. Kepulauan Senkaku/Diaoyutai kemudian menjadi sengketa teritorial yang disebabkan oleh adanya kepentingan nasional di wilayah tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kepulauan Senkaku atau Diaoyutai merupakan sebuah kumpulan pulau-pulau tak berpenghuni yang secara geografis terletak sekitar 120 mil laut sebelah timur laut Taiwan, 200 mil laut di sebelah barat daya Okinawa, dan 200 mil laut sebelah timur dari pantai terdekat Tiongkok Daratan. Kepulauan tersebut terdiri dari 5 pulau vulkanik kecil dan 3 batu karang dengan luas total area daratan sebesar 7 km persegi.  Pulau Uotsori merupakan pulau terbesar yang berada di Kepulauan Senkaku. Pulau ini juga sering dijuluki dengan sebutan pulau Diaoyu dao dengan luas delapan hektar dan 170 km utara Taiwan dan 410 km barat Okinawa. Selain itu, terdapat dua pulau kecil lainnya antara lain Pulau Kobi-sho atau Huangwei Yu dan Pulau Akao-sho atau Chiwei Yu terletak 31 km dan 108 km dari pulau utama Uotsuri atau Diaoyu. Pulau-pulau tersebut masing-masing memiliki ketinggian yang bervariasi.

Berdasarkan sejarahnya, Kepulauan Senkaku dimulai dari zaman Dinasti Ming pada abad ke-15. Pada masa itu, Kepulauan Senkaku merupakan bagian dari wilayah Tiongkok. Hal tersebut dapat dibuktikan dari sebuah dokumen yang dibuat oleh Chen Kan tentang perjalanannya menuju kerajaan Ryukyu, yang merupakan sebuah kerajaan yang statusnya berada dibawah kekuasaan Dinasti Ming .  Disaat yang bersamaan tepatnya pada tahun 1609, seorang penguasa Jepang yang bernama Shimazu mampu menaklukkan Kerajaan Ryukyu. Hal tersebut mengakibatkan kerajaan Ryukyu masuk kedalam salah satu daerah jajahan Jepang. Akan tetapi, sejak penaklukan tersebut, Kepulauan Senkaku kemudian menjadi sebuah kepulauan tak berpenghuni dan terabaikan.

Pada abad ke-17 hingga abad ke-18, Kepulauan Senkaku/Diaoyutai tetap menjadi suatu wilayah yang terabaikan dan tidak memiliki nilai dalam pandangan pemerintah Jepang maupun pemerintah Tiongkok. Sejak Ryukyu telah masuk kedalam bagian dari perfektur Okinawa, terjadi sebuah konflik antara pemerintah Dinasti Qing (Tiongkok) dengan Pemerintah Jepang mengenai pemberian penyebutan terhadap daerah teritorial tersebut. Hingga pada tahun 1879, Kepulauan Ryukyu telah resmi menjadi salah satu bagian dari perfektur Okinawa. Kemudian, selepas kejadian tersebut, Jepang kemudian memiliki ketertarikan terhadap Kepulauan Senkaku atau Diaoyutai, yang mana Kepulauan Senkaku letaknya berdekatan dengan Kepulauan Ryukyu. Sehingga Menteri Dalam Negeri Jepang melakukan pembagian terhadap daerah perfektur Okinawa di dalam Peta teritorial. Pada tahun 1877, Menteri Dalam Negeri Jepang memasukkan Kepulauan Senkaku/Diaoyutai kedalam bagian daerah perfektur Okinawa. Pada 14 Januari 1895 Pemerintah Jepang menyetujui permintaan Gubernur Okinawa terkait otorisasi pengadaan tower atau mercusuar untuk menunjukkan kekuasaan Jepang di Kepulauan Senkaku/Diaoyutai. Sehingga dengan tindakan yang dilakukan Pemerintah Jepang tersebut, perfektur Okinawa melingkupi Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Senkaku. Meskipun, Kepulauan Senkaku/Diaoyutai masih merupakan sebuah Kepulauan yang terabaikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oleh Karena itu, Pemerintah Jepang dan Pemerintah Tiongkok tidak memberikan larangan kepada nelayan Jepang yang memancing di sekitar wilayah Kepulauan Senkaku/Diaoyutai Hal ini dikarenakan Jepang dan Tiongkok telah meyakini bahwa Kepulauan Senkaku/Diaoyutai merupakan sebuah Kepulauan yang tidak berpenghuni. 

Keamanan dan kedamaian antara pemerintah Jepang dan pemerintah Tiongkok terkait kepemilikan Kepulauan Senkaku/Diaoyutai tidak berlangsung lama dan lantas berubah menjadi situasi ketegangan. Hal ini terjadi setelah adanya beberapa penelitian yang dilakukan oleh UNCAFE (UN Economic Commission for Asia and the Far East) pada tahun 1968. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa di Laut Cina Timur, tepatnya di sebuah landas kontinental dekat Kepulauan Senkaku, terdapat kandungan minyak dan gas alam yang melimpah. Bahkan, kandungan minyak serta gas alam tersebut akan menjadi salah satu kandungan minyak terbesar di dunia. Seusai melihat potensi yang besar tersebut, Kepulauan Senkaku/Diaoyutai yang awalnya tidak berarti kemudian menarik perhatian yang sangat besar terhadap pemerintah Jepang dan pemerintah Tiongkok. Kepemilikan terhadap Kepulauan Senkaku akhirnya menjadi penting dan diperebutkan oleh kedua negara tersebut. Kepulauan Senkaku/Diaoyutai kemudian menjadi sengketa teritorial yang disebabkan oleh adanya kepentingan nasional di wilayah tersebut.

Hal ini dikarenakan Pemerintah Jepang sadar akan potensi kandungan minyak dan gas alam yang melimpah di kepulauan tersebut. Bahkan, hal tersebut menyebabkan Jepang tidak ingin melepaskan Kepulauan Senkaku/Diaoyutai dan memberikan klaim kepemilikan terhadap Kepulauan Senkaku/Diaoyutai. Di sisi lain, pemerintah Tiongkok membantah klaim Jepang atas Kepulauan Senkaku/Diaoyutai. Padahal sebelumnya pemerintah Tiongkok menelantarkan Kepulauan Senkaku/Diaoyutai serta menggantungkan status kepemilikan kepulauan tersebut. Tiongkok juga mempertahankan Kepulauan Senkaku/Diaoyutai dengan cara mengurai sejarah Kepulauan Senkaku/Diaoyutai beserta perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan kepulauan ini. Tiongkok juga mengklaim bahwa Kepulauan Senkaku/Diaoyutai merupakan wilayah teritorinya karena kepulauan tersebut termasuk dalam wilayah Taiwan.

Dalam kacamata hukum internasional, status dari Kepulauan Senkaku/Diaoyutai adalah kepulauan dalam status quo. Hal ini dibuktikan dengan aksi saling klaim yang dilakukan oleh kedua negara terlibat, Jepang dan Tiongkok, setelah menemukan fakta bahwa tersimpan kekayaan alam pada Kepulauan Senkaku/Diaoyutai. Dalam kasus sengketa wilayah ini, salah satu perangkat hukum internasional yang dapat dijadikan pedoman dalam upaya penyelesaiannya adalah Konvensi Hukum Laut 1982 (United Convention on The Law of The Sea of 1982/ UNCLOS III). Peraturan tersebut disahkan di Teluk Montego pada tanggal 10 Desember 1982 dan berisikan tentang ketentuan yang mengatur pembagian zona maritim dengan status hukum yang berbeda-berbeda. Konvensi tersebut membagi laut ke dalam dua bagian zona maritim yaitu zona-zona yang berada di bawah dan di luar yurisdiksi nasional.

Berkaitan dengan sengketa wilayah Kepulauan Senkaku/Diaoyutai tersebut, pemerintah Jepang dan Tiongkok menjelaskan tentang garis perbatasan laut di Laut Cina Timur (The East Tiongkok Sea) antara Tiongkok dan Jepang. Akan tetapi, kedua negara tersebut memiliki pemaknaan dan definisi yang berbeda terkait konsep perbatasan laut yang terdapat dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Padahal, kedua negara tersebut telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB. Akibat Jepang dan Tiongkok membangun pemahamannya sendiri, kesepakatan bersama tentang status Kepulauan Senkaku/Diaoyutai masih belum menemukan titik terang. Dalam hal ini, Jepang mengusulkan pembagian wilayah berdasar garis tengah di zona ekonomi eksklusifnya berjarak 200 mil dari garis dasar/baseline. Hal ini tentu tidak sesuai dengan isi konvensi PBB. Akan tetapi, seorang pakar hukum laut Tiongkok menegaskan menegaskan bahwa pengambilan garis tengah untuk pengukuran ZEE dan landasan kontinental seharusnya didasarkan pada sebuah perjanjian antara kedua pihak agar agar tercapai solusi yang adil. Di sisi lain, Tiongkok mengacu pada kelanjutan alamiah dari landas kontinennya yang berjarak di luar 200 mil dimana dalam Hukum Laut Internasional landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial.

Sejatinya, penyelesaian sengketa Kepulauan Senkaku dapat ditempuh melalui jalur negosiasi atau perundingan sesuai dengan aturan dan hukum internasional yang berlaku. Berdasarkan Pasal 33 Piagam PBB, suatu konflik yang mengancam keamanan serta perdamaian internasional harus diselesaikan dengan menempuh cara-cara diantaranya negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasi-organisasi atau badan-badan regional, atau cara-cara penyelesaian damai lainnya. Pada faktanya, Tiongkok dan Jepang telah menempuh berbagai macam negosiasi dan perundingan. Namun, seluruhnya tak dapat menyelesaikan sengketa antara kedua negara tersebut. Akan tetapi, bila kedua negara tersebut ingin menemukan kesepakatan yang damai dalam penyelesaian sengketa ini, maka Tiongkok dan Jepang harus melanjutkan kesepakatan pengelolaan bersama terkait Kepulauan Senkaku. Keduanya dapat mengadakan perjanjian pengelolaan bersama (Joint Development) dengan mengadakan penelitian letak stategis titik-titik pengelolaan bersama yang dapat di capai oleh kedua belah pihak.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Farhan Fadilla lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler