x

Massa Kampanye Golkar/TEMPO/Zulkarnain

Iklan

Alifurrahman S Asyari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gravitasi Fanatik

Fanatisme yang membutakan nalar dan nurani

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fanatisme akan membutakan nalar dan naluri seseorang secara otomatis, apalagi nurani? Itu hanya menjadi bagian dari sesuatu yang tak perlu diperhatikan. Yang penting bisa memberi perlawanan dan membenarkan kelompoknya atau seseorang yang diidolakanya dengan cara apapun.

Menjelang pemilihan presiden 9 juli 2014, teman-teman yang semula tak tertarik dengan politik mendadak menulis tentang politik. Ragam cara mereka lakukan, mulai dari sekedar share link berita sampai ikut berkomentar. Saling menjelekkan lawan atau memuji pasangan yang didukung adalah hal normal. Justru saya merasa aneh kalau ada yang bilang untuk tidak saling menjatuhkan? Namanya kritik dan membuka keburukan seharusnya sangat dianjurkan agar masyarakat tak salah pilih pemimpin. Tapi bukan berarti boleh menggunakan segala cara dengan membuat berita palsu dan isu murahan. Semua harus sesuai fakta yang ada.

Sebenarnya saat kita berkomentar tentang sesuatu, pada saat yang sama kita sedang menunjukkan kebodohan diri. Orang lain yang lebih tahu tentang sesuatu yang kita komentari akan menahan tawanya membaca kebodohan yang kita tuliskan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat membaca status FB teman yang semula tak pernah mengomentari pemerintahan atau partai. Saya paham dia sedang mendukung salah satu kubu, tapi komentar dan sumber yang dibagikan bisa dibilang sangat memalukan. Bagaimana mungkin sumbernya dari kaskus? Kalau kompasiana masih mending lah ya, karena admin K ini masih punya nalar dan ga mungkin menampung tulisan imajinatif seperti cerita Jokowi saat ditanya tentang kepemimpinan islam, lalu beliau panik tak tau menjawab. Ada yang pernah baca? Lucunya di kaskus tersebut si penulis curhat bahwa admin K ini jokowi lovers dan menghapus tulisanya.

Ada juga yang referensinya dari web semacam Voa-islam, arrahman, dakwatuna, dan banyak lagi web mengatasnamakan Islam tapi isinya jauh dari cerminan muslim yang rahmatan lil alamien. Pemilihan kata yang kasar penuh benci, sampai berita palsu yang dibuat selogis mungkin bagi pembacanya.

Saat didebat, mereka hanya akan berdalih menyebarkan apa yang dibacanya. Selesai tanpa tanggung jawab. Pernah ada yang saya komentari, karena mungkin tak tau mau balas apa, kemudian si pemilik status langsung menghapusnya.

Yang berbahaya adalah mereka yang menggunakan agama sebagai pertahanan diri. Pernah saya membaca tulisan "tidak cukupkah alquran dan hadits sebagai penunjuk jalan hidup ini?" Sebagai pembenaran bahwa koalisi partai islam terbentuk di kubu Prabowo-Hatta. Sehingga memilihnya adalah harga pas yang ga bisa dinego lagi. Ada juga yang berdasarkan apa kata ulama, kyai atau organisasi islam. Saat saya singgung, dengan percaya dirinya dia menjawab "masa ga percaya sama ulama?"

Orang yang saya sebutkan di atas adalah calon dan para sarjana dengan nalar yang sangat memprihatinkan. Mendebat mereka sama saja mencari musuh, fanatisme benar tapi salah kaprah. Benar fanatik dengan islam, tapi menutup nalar dan logikanya menjadi tak berfungsi sama sekali. Menjadikan ulama sebagai panutan dalam politik tentu seperti bertanya tentang memelihara ayam pada pengembala kambing. 

Pada posisi ini saya menjadi teringat pada pepatah arab "undur ma qoola wala tandur man qoola" lihatlah apa yang mereka katakan, jangan lihat siapa yang mengatakan. Sepertinya para ulama zaman dulu sudah memprediksi bahwa kita akan mengalami fanatisme buta semacam ini. Lebih menghargai siapa yang mengatakan daripada kualitas perkataanya.

Pernah seorang teman mengirim broadcast yang katanya dari anak kyai tempat saya belajar dulu. Isinya tentang fitnah terhadap Jokowi yang entah untuk keberapa kalinya saya membaca tulisan yang sama. Kalau yang mengirimkan broadcast tersebut adalah teman, kakak kelas atau siapapun itu, saya masih bisa mengabaikan dan tutup mata. Tapi ketika calon kyai pesantren besar ikut larut dalam fitnah tak berdasar, rasanya ada kecewa, benci dan sebagainya. Kemudian saya melepaskan warning dengan membuat status BBM dan FB "jangan ajari saya politik, kyaipun akan saya ceramahi. Fitnah tetap fitnah". 

Sontak beberapa teman langsung bereaksi dengan tulisan saya yang menurut mereka sangat provokatif. Di mana etikanya? Kok sampai mau menceramahi kyai? Santri ga tau diri....dan sebagainya. 

Ya begitulah fanatisme buta. Kalau mau mendebat, siapalah saya? Hanya santri yang kata beberapa orang menjadi liberal sejak kuliah di Malaysia. Padahal kalau harus saya katakan, saya tak akan pernah ragu berdebat dengan siapapun untuk sesuatu yang saya tau dan yakini pasti benar. Tapi mendebat pendukung fanatik? Ga akan ada gunanya. Ujung-ujungnya saya akan menjadi orang yang paling disalahkan karena berbeda dengan mereka.

Ini sama seperti kader PKS yang sampai sekarang tidak percaya dan tidak menerima kenyataan bahwa presiden partanya LHI bersalah. Sampai sekarang mereka masih membela dengan segala cara, bahkan terkesan menghalalkan semua fitnah. Lantas apa ada gunanya berdiskusi dan mendebat dengan mereka yang nalarnya sudah tertutupi fanatik golongan? Setinggi apapun kita melempar komentar, pada akhirnya hukum gravitasilah yang berlaku. Akan tetap jatuh dan terus jatuh ke tanah. Kecuali kita mampu membawanya keluar dari bumi (partai/golongan) dan melihat seperti apa wajah bumi yang sebenarnya.

Fanatik karena kecintaan adalah hal yang wajar, asal logika dan nalar tetap berfungsi. Bukan membela dengan cara membabi buta, membabi saja jangan! Apalagi buta?!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Alifurrahman S Asyari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler