x

Sumber ilustrasi: istockphoto.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 10 November 2022 13:03 WIB

Dirigen

menepikan mobilnya ke tempat parkir di tepi pantai dan melirik ke arahnya. "Apa yang kamu mainkan minggu ini?" dia bertanya. Bocah tujuh tahun itu mengamati kondisi ombak. Sedikit lebih tinggi dari biasanya. Angin sepoi-sepoi cukup untuk membuat gelombang kecil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Minggu sore, seperti biasa, papa Jiwajeni menepikan mobilnya ke tempat parkir di tepi pantai dan melirik ke arahnya.

"Apa yang kamu mainkan minggu ini?" dia bertanya.

Bocah tujuh tahun itu mengamati kondisi ombak. Sedikit lebih tinggi dari biasanya. Angin sepoi-sepoi cukup untuk membuat gelombang kecil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jiwajeni sudah memutuskannya.

" Johannes Brahms. Hungarian Dance 1, 5 dan 6, oh, juga 2 dan 3 untuk melengkapinya."

Dahi papanya berkerut. "Apa tidak terlalu panjang?"

Jiwajeni memutar bola matanya. "Tidak, papa, hanya sekitar 10 menit."

Mereka turun dari mobil, dia membawa tongkat dan iPod-nya. Papanya membuka bagasi dan mengangkat peti kayu kecil yang digunakan putrinya sebagai podium.

Jiwajeni telah meminta platform dirigen yang tepat selama berbulan-bulan, tetapi sepertinya dia harus menunggu sampai ulang tahunnya.

Dia berterima kasih kepada papanya yang kembali ke mobil untuk menunggu, dan dia berjalan ke platform kecil yang diletakkan di pinggir parkiran, bertengger di atas pantai berbatu sekitar tujuh meter di bawah.

Jiwajeni menaiki peti itu dan berdiri. Menoleh ke kiri dan ke kanan pantai, dia melihat bahwa semua pemain sudah hadir. Ada burung camar berkeliaran di tepi air, yang lain meluncur di atas angin. Dia melihat kepiting karang sedikit lebih jauh ke bawah, beberapa diam di pasir , yang lain berkeliaran di ombak. Pelikan juga ada di sana, mengambang di atas air dengan tenang. Dia tahu pemain lainnya juga ada di sana, siap dipanggil.

Jiwajeni mengeluarkan earphone dan meletakkannya di telinganya, lalu mengarahkan iPod-nya ke file mp3 yang benar. Kemudian mengeluarkan tongkatnya dan mengamatinya sejenak. Tongkat dirigen asli yang dipesan orang tuanya dari toko online sebagai hadiah kenaikan kelas, miliknya yang paling berharga. Dia mencengkeramnya di tangan kanannya, mengangkatnya ke udara, dan menekan tombol ‘Play’.

Saat musik mulai mengalun, tangannya bergerak mengikuti irama yang sempurna. Dia tahu bagian ini dengan baik, tetapi seperti biasa, dia tidak benar-benar membutuhkan pengetahuan itu. Dia merasakan sensasi yang akrab, jauh di lubuk hatinya, menguasai otot lengannya, dan dia hanya harus membiarkan dirinya hanyut mengikuti arus melodi.

Orang tuanya menyebutnya, "makhluk kecil ajaib yang aneh". Dia tahu bahwa mereka sedikit khawatir tentang hal itu karena ada sebabnya, tetapi dia tidak bisa menahan diri. Bisa dikatakan, Jiwajeni telah menunjukkan ketertarikannya pada musik sejak lahir. Orang tuanya telah memperhatikannya saat masih bayi, melambaikan mainannya selaras dengan musik klasik yang diputar papanya di malam hari dan kemudian menemukan bahwa dia akan menangis jika mereka mencoba mematikan simfoni sebelum selesai.

Dan selama tahun-tahun berikutnya minatnya terhadap musik klasik semakin berkembang, dan ... di sinilah dia sekarang, dengan orkestrasi Brahm yang energik menhgisi telinganya dan membimbing tongkatnya. Dan seperti biasa, pantai merespon di depannya.

Kekuatannya mengalir dari tongkatnya dan dia merasakan perpaduan gerakan alam yang biasanya acak menyatu dengan irama musik.

Burung camar membumbung tinggi dan menukik … bagian dari kelompok string. Ombak menjadi pemain perkusi yang menabuh batu karang. Kepiting berjalan miring dan berputar sebagai pemain brass, dan burung pelikan menukik seperti anggota woodwind.

Saat musik dipercepat dan kemudian diperlambat lalu dipercepat lagi, matanya melayang ke seluruh arah, mengagumi perpaduan sempurna antara alam dan musik.

Saat detak crescendo di Dance No. 2, dia tidak terkejut melihat lumba-lumba melambung keluar dari air dengan sinkronisasi yang sempurna. Dan di akhir Dance No. 3 yang riuh panik, Jiwajeni memandang jauh ke cakrawala dengan penuh harap. Bersama dengan baris terakhir yang bergemuruh, gumpalan semburan meledak dari ikan paus yang lewat.

Kemudian musik berhenti.

Jiwajeni berdiri tak bergerak di atas kotaknya sejenak. Napasnya berat. Angin sepoi-sepoi mengeringkan butir keringat di dahinya.

Dia turun ke tanah berpasir dan mengumpulkan barang-barangnya. Lalu berjalan ke mobil, menyadari chaos yang muncul kembali di belakang.

Jiwajeni memikirkan pemilihan simfoni untuk minggu depan. Mungkin Vivaldi ...

 

Bandung, 10 November 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB