Ki Dalang mengisahkan lagi lakon Ketika Petruk jadi Raja.
Alkisah, para punggawa Kerajaan Amartapura yang punya jabatan, sebetulnya sudah mulai muak dengan ulah Petruk, namun mereka tak punya kuasa untuk membantah apalagi melawan titah Petruk yang sekarang jadi raja.
Janji Petruk untuk mensejahterakan rakyat saat sebelum jadi raja, ternyata banyak yang tak sesuai dengan kenyataan. Bahkan saat ini, Petruk lebih banyak anjangsana ke kerajaan lain guna mencari popularitas dibanding dengan bagaimana caranya semua program kerajaan yang sudah disepakati bersama bisa terlaksana. Bagi Petruk, citra diri lebih penting dari pada memikirkan program kerajaan, toh, sudah ada para punggawa kerajaan yang mengurusi soal itu.
Sejak Petruk jadi raja, ia yang awalnya akrab dengan para punakawan, satu persatu punakawan mulai meninggalkan Petruk. Persoalannya --mungkin-- sudah tidak ada kesesuaian pandangan politik atau bisa juga soal lainnya yang sifatnya material. Hanya para punakawan yang bermental bebek dan barisan oportunis yang masih bertahan bahkan masih dipercaya Petruk sebagai tim di luar struktur birokrasi kerajaan yang bisa memberikan bisikan terhadap Petruk yang bergelar Sri Baginda Prabu Kantong Bolong itu.
Petruk yang berperawakan agak kurus, hidung mancung dan perut buncit bin cemplu, saat ini sedang menata diri, ia manfaatkan jabatannya untuk kesejahteraan pribadinya sebagai raja. Berdalih untuk kenyamanan bekerja, fasilitas raja harus terpenuhi. Istana dan singgasana harus mewah, makanya semua pernak pernik serta ornamen singgasana dan istana yang sebetulnya masih bagus untuk ukuran Kerajaan Amartapura harus diganti dengan yang baru.
Rakyat di erajaan Amartapura sebetulnya faham, bahwa Petruk senang mendapat pujian, makanya ingin dipandang wah sebagai raja. Disamping itu, dalam dirinya juga sesungguhnya muncul sikap phobia. Petruk tidak mau memakai fasilitas yang dulu dipakai raja sebelumnya lantaran dianggap satu legasi dari sistem pemerintahan Kerajaan lama. Petruk ingin menunjukkan satu legasi dirinya sebagai raja yang baru.
Saat Petruk menjadi narawicara untuk kegiatan apapun di kerajaan, ia akan nagih honorariumnya sebagai narawicara termasuk juga uang transportnya. Para punggawa tambah judeg, mumet bin puyeng, ternyata Petruk minta kepada para punggawa agar pengawal pengawal pribadinya termasuk para punakawan yang menjadi tim atau pengawal di luar struktur Kerajaan diberikan uang transpor.
Tentu saja para punggawa kerajaan kedodoran karena harus mengeluarkan dana non bujeter kerajaan terkait uang transpor. Dari mana? Ya, dari kantong pribadi atau patungan sesama punggawa kerajaan. Bahkan mungkin mengutak atik anggaran biaya supaya bisa meng-cover permintaan Petruk, walaupun secara aturan tidak ada tuntunannya.
Karena perilaku Petruk yang demikain, saat ini dikalangan internal kerajaan atau para punggawa Keraajaan Amartapura, Petruk terkenal bukan hanya sebagai Sri Baginda Prabu Kantong Bolong, tetapi sudah mendapat gelar baru dengan sebutan Raja Memen alias Raja Lumayanan.
Ikuti tulisan menarik Kang Nasir Rosyid lainnya di sini.