x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Selasa, 6 Desember 2022 20:58 WIB

Susastra

Beberapa waktu lalu, dan akhirnya, tanah Jawa mengamali goyah dalam regenerasi kondisi bumi, seorang kawan menelpon dan berkabar tentang kondisi alam di sekitar Ternate. Dirinya bertanya kepada saya, apakah saya bersedia menulis tentang sebuah karya tari tradisi. Tarian Togal dari Makian, Halmahera Selatan, Maluku Utara. --Sementara langit Jakarta masih tetap setia dengan mendung yang dramatisnya, dalam bising mesin-mesin bermotor, saya bercita-cita bagaimana fufu, garam, serta rempah bisa mengisi perut saya untuk panganan hari ini bersama alunan musik dari Martin Stürtzer – Relativity, sebuah komposisi musik ambien eksperimental untuk hari yang tetap bergerak. Terimakasih untuk Terimakasih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa waktu lalu, dan akhirnya, tanah Jawa mengamali goyah dalam regenerasi kondisi bumi, seorang kawan menelpon dan berkabar tentang kondisi alam di sekitar Ternate. Dirinya bertanya kepada saya, apakah saya bersedia menulis tentang sebuah karya tari tradisi. Tarian Togal dari Makian, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Antara bahagia dan jalinan silaturahmi “remotely yang secara langsung dipercaya untuk mengenali tarian tersebut, bukan perihal yang sederhana. Perkawanan sungguh demikian berharga bagi saya; saat tahun-tahun pandemi dan jarak menjadi batas bersosial yang nyata, menulis hal-hal seputar tari dan budaya membuat hati saya kembali luruh sunyata atas kepercayaan dan persahabatan.

Tulisan ini menjadi jawaban untuknya, yang gemar berbagi photo kondisi gunung Gamalama serta pohon pisang yang bahagia berdiri di halaman rumahnya.

*

Untuk beberapa saat, saya mengamati tarian Togal melalui unggah dokumentasi di YouTube untuk benar-benar memastikan kedua bola mata saya menangkapnya secara detail. Ini menjadi latihan lain saat panggung pertunjukkan telah beralih ke dalam ruang sinema. Perubahan tradisi dalam melihat budaya masyarakat sebenarnya telah terjadi cukup lama, saat kebangkitan periode masa kegelapan menuju perang dingin yang hingga kini menyisakan duka tanpa kepastian penawar bagi kehilangan.

Togal, untuk sumbu langkah dan gempita yang cukup halus, mengingatkan saya akan tradisi suatu masyarakat yang mendiami pemukiman di sekitar pegunungan atau tepatnya, di daerah dataran tinggi. Momen ini telah kembali mengajak ingatan saya untuk mengenang Minangkabau, namun, Togal bukanlah suatu tradisi budaya di ranah Minang.

Apakah cukup tepat jika saya melakukan tradisi popular yang cenderung bersifat “cocokologi”? Itu bukanlah kebiasaan saya dalam membaca budaya manusia dan alam semesta.

*

Kembali pada Togal, ada beberapa hal dalam rima komposisi koreografi yang samar sekaligus mirip dengan suatu tarian dari tanah yang cukup jauh; Middle Eastern. Renungan tentang persilangan dan asimilasi budaya ini mengingatkan saya akan eksistensi Indonesia Timur di masa lalu, jauh sebelum perang Jawa menyisakan dilema yang berkepanjangan.

Bahwa, perkembangan peradaban manusia telah menempatkan hati saya pada yang ironi. Plural seakan dibaca dengan refleksi tolak amuk hingga memupuk apa yang bersifat ras menjadi permusuhan turun temurun. Ini bukanlah apa yang dihadirkan Indonesia sebagai yang plural. Bahwa, yang hibrida menjadi rekonstruksi bagaimana Indonesia tetap hadir sebagai tatanan sosial dengan beragam kompleksitasnya, namun, inilah yang menjadi kerja panjang kebudayaan di negeri ini.

Ada proses penerimaan yang bersifat sunyata tanpa dendam, tanpa delusi. Ia, sedang menari.

Togal, tidak hanya membawa saya pada kenyataan tentang suatu proses perjalanan panjang budaya di “Middle Eastern”, namun bagaimana proses perkembangan sistem ekonomi, hingga bagaimana saya selalu membaca kehadiran budaya di setiap daerah di Indonesia sangat beragam, penuh rahasia, di mana mereka lahir dan berkembang sesuai alam sekitarnya.

Togal, membawa saya pada gunung berapi Kie Besi di Makeang atau lebih dikenal dengan sebutan Pulau Makian, dan sastra bahasa yang memang telah memudar, dan ini sesungguhnya menjadi kunci dari sastra Bahasa Indonesia untuk lebih bijak mengungkapkan suatu tradisi budaya dengan menelusuri secara detail kehadiran masyarakat yang berbeda atas eksistensi mereka hingga kini.

Keseimbangan menjadi cara kita bersama dalam menjalani apa yang masih tetap berdenyut dan hidup, bagaikan menari dalam keseharian di mana kita semua memiliki harapan atas kehidupan. "These social and cosmological dualisms consist of asymmetric relationships among ordered pairs, such that “wife-giver” may be seen as superior to “wife-taker,” “elder” as superior to “younger,” and so forth. It has been suggested that the dualistic perception of the world in this area may be due to the pervasive parallelisms found in many of the languages of eastern Indonesia." [James J. Fox]

*

Terlepas dari apapun itu semua, keminiman saya akan budaya saya sendiri sebagai warga Indonesia telah membawa diri saya ke dalam emosi yang terlampau pedih untuk mengakui bahwa, dan, saya miskin pengetahuan akan slogan “back to the roots”. Beberapa waktu lalu, saya pun hanya sanggup menjawab permintaannya dalam bentuk puisi.

Pada jauh ditawarnya harapan

Mungkin rindu takkan keping

Sebelum temu bergulat selisih

Ada jalan di antara belukar; tersisir

Ini sunyi tanpa angin, tanpa mentari

Awan menyelimuti gunung di selatan

Sementara Gamalama begitu bening

Yang damai menyentuh debur ombak

Mutiara, bisa jadi; menyimpan asa

[TUJUH PULUH TUJUH, Jakarta, 25-11-2022]

Mungkin, inilah yang menjadikan segalanya begitu melankoli yang berkepanjangan. Saya, di tanah Jawa hanya mampu mengingat, bagaimana sahabat saya masih tetap berkabar tentang keseharian di mana daratan, lautan, dan langit, menjadi milik kita bersama yang menyatukan kita semua untuk tetap berjuang melewati masa paling rumit di kehidupan, sebagai yang personal sekaligus sosial.

Dan, pagi ini, dirinya memberikan sebuah pesan singkat: “BAGAIMANA KAHABARMU?”

Saya hanya mampu menjawab: “Kabar baik. Bagaimana denganmu? Oya, ini penulisan kata KABAR di sana KAHABAR atau KHABAR? Ini mirip jenis Urdu, yang dulunya dipakai di Pakistan, entah apa sekarang masih dipakai mereka atau tidak, dan wilayah mana detailnya, aku belum pernah pelajari itu.

Sementara langit Jakarta masih tetap setia dengan mendung yang dramatisnya, dalam bising mesin-mesin bermotor, saya bercita-cita bagaimana fufu, garam, serta rempah bisa mengisi perut saya untuk panganan hari ini bersama alunan musik dari Martin Stürtzer – Relativity, sebuah komposisi musik ambien eksperimental untuk hari yang tetap bergerak. Terimakasih untuk Terimakasih.

 

- Jakarta, 06 Desemeber 2022 -

 

Lampiran:

- Togal: https://www.youtube.com/watch?v=CdM_jp39D-I

- Middle Eastern: https://www.youtube.com/watch?v=zJw-bmEazt0

- Kie Besi: https://www.youtube.com/watch?v=j450pm94fFs

- Pulau Makian: https://www.youtube.com/watch?v=5up6PJEve28&t=8s

- James J. Fox: James J. Fox, “Introduction,” in Fox, ed., To Speak in Pairs: Essays on the Ritual Languages of Eastern Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), p. 26. - CENTERS AND PERIPHERIES IN MALUKU

- Urdu: https://www.ucl.ac.uk/atlas/urdu/language.html

 

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler