x

Iklan

Zulfa Ihsan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2022

Sabtu, 10 Desember 2022 08:20 WIB

Munggahan

Munggahan merupakan tradisi tahunan masyarakat Sunda menjelang atau dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di meja nomor 7, aku bersama Siti kawanku menunggu kawan lainnya datang untuk menghadiri rapat pengurus UKM Pers mahasiswa. Ini sudah kedua kalinya aku mengadakan rapat di warung angkringan bernama Nol Kilometer, lebih tepatnya di jalan Semanggi. Dengan desain semi-outdoor klasik dihiasi lampu-lampu neon bercahaya kuning yang dibungkus dengan anyaman bambu, ditambah alunan album musik E Beat G Ade, semakin menambah kesan klasik di dalamnya.

Dindingnya dibiarkan polos menggunakan batu bata berwarna coklat ditempeli tulisan-tulisan berbahasa madura dan jawa, salah satunya bertuliskan: mboten enten engkang luweh sae kelawan griyo panggon wangsol. Entah kenapa warung angkringan ini disebut Nol Kilometer, barangkali sang pemilik ingin menyampaikan makna tersirat bahwa kemanapun kita pergi melanglang buana ke negeri antah berantah, kita akan selalu kembali ke titik Nol, titik dimana kita berpulang atau dilahirkan, sebuah tempat kita dibesarkan.

Sejenak aku melamun, tiba-tiba ada suara memanggil. “Assalamu’alaikum, mbak mas sudah nunggu daritadi?” tanya Ami, salah satu adik pengurus satu angkatan dibawahku. Ia datang bersama Aini juga pengurus.
“Waalaikumsalam, nggak kok, baru tadi sekitar 10 menitan, sini duduk,” Ujarku sambil menggeser tempat duduk.
“mbak mas sudah pesan minuman?”
“Belum dek, nunggu kalian datang, baru pesan. Ini aku sudah siapkan kertasnya, kalian mau pesan apa? Sudah pada makan?” tanya Siti.
“nah kebetulan mbak aku belum makan, aku pesan nasi soto terus minumannya kopi kapucino anget,” pungkas Aini yang duduk disampingnya.
“aku pesan nasi rawon sama jus alpukat,” Ami menimpali.
Aku masih sibuk melihat menu, kemudian berhenti di salah satu makanan dan minuman, “aku pesan ketan sama kopi hitam arabika deh,”
“siap, nanti aku yang bayar dulu ya,” sambil melanglang pergi ke kasir.
“mas, mulai puasa tanggal berapa ya?” tanya Ami.
“kalau lihat di kalender mulai tanggal 5 dek, tapi belum ada kabar resmi dari kemenag,”
“kalau bulan puasa nanti, apa ada liburnya mas?”
“nah itu, aku juga kurang tau. Biasanya 1 minggu sebelum lebaran sudah libur.”
“sampeyan kalau libur pulang gak mas?”
“pengennya pulang dek, tapi kalau liburnya Cuma 1 minggu, eman mending nunggu libur semesteran,” jawabku.
Selang beberapa lama, datanglah Siti bersama pelayan mengantarkan pesanan. Kemudian, makanan dan minuman dibagikan oleh pelayan. Sejenak melihat pelayan menggunakan baju kotak-kotak hitam merupakan seragam khas pelayan Nol Kilometer. Malam kala itu begitu dingin sehingga menambah perut kami lapar keroncongan. Diiringi lantunan lagu E Beat G Ade-Titip Rindu Pada Ayah, selanjutnya kami bersantap bersama-sama. Sambil mencicipi ketan dengan taburan kelapa di atasnya. Aku memejam, merasakan nikmatnya perpaduan antara ketan, kelapa parut dan gula merah. Rasanya seperti awug makanan khas kampung halamanku. Indra pengecapanku menjelma menjadi demikian peka, aku merasakan pikiranku mengembara ke suatu tempat. Sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota. Tempatku menghabiskan masa kecil sampai tamat SMA bersama nenek.
***
Kampung halamanku di Jatiluhur, pada masa remaja dulu, penuh dengan rerumputan ilalang dengan tumbuh subur pohon jati dan mahoni. Tanahnya subur, mudah ditanami berbagai macam biji-bijian. Beberapa meter dari kampung, terdapat danau yang sekarang dijadikan salah satu tempat favorit untuk berwisata. Di seputar danau, menancap menjulang tinggi gunung-gunung mengelilingi danau itu. Permukiman penduduk membentang sepanjang jalan aspal. Setiap rumah dengan rumah lainnya berjarak 5 meter. Sehingga di pinggir rumahku dijadikan kebun kecil-kecilan dan kandang ayam kampung. Tak jarang bila aku dan nenek kehabisan makanan, aku bisa mengambil telur atau memetik sayuran di kebun. 
Mata pencaharian penduduk beraneka ragam. Ada yang bertani di kebun, menjadi guru ngaji, pengepul ikan di keramba apung danau, adapula yang mencari kayu jati untuk dijadikan bahan dasar mebel. Rata-rata penduduk di desaku sudah lanjut usia. Setiap matahari terbit, seiring kokok ayam membangunkan, penduduk sudah bangun mengerjakan urusan masing-masing. Ciri khas Indonesia budaya gotong-royong masih tertanam kuat di kampungku. Terlihat ketika di salah satu rumah mengadakan hajatan pernikahan atau 7 harian orang meninggal, para penduduk bergotong-royong memasak makanan khas yang akan disajikan nanti. apalagi ketika akan mendekati bulan Ramadhan, karena kampung halamanku masih kental dengan budaya sunda, kami sering mengadakan munggahan.
Munggahan merupakan suatu tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Munggahan biasanya dilakukan satu atau dua hari sebelum bulan Ramadhan atau di akhir bulan Sya’ban. Cara pelaksanaannya bervariasi, umumnya berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama, saling bermaafan, dan berdoa bersama. Selain itu, ada pula yang mengunjungi tempat wisata bersama keluarga, berziarah ke makam orang tua dan sanak saudara, atau mengamalkan sedekah munggah yaitu sedekah pada sehari menjelang bulan puasa. 
Munggahan berasal dari kosa kata Sunda unggah yang artinya naik, yang bermakna naik ke bulan yang suci atau tinggi derajatnya. Tradisi munggahan dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, untuk membersihkan diri dari hal-hal yang buruk selama setahun sebelumnya, agar diri terhindar dari perbuatan yang tidak baik selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Menjelang bulan puasa biasanya aku pergi bersama nenek dan mamang berziarah ke makam Aki dan silaturahmi ke kerabat dekat nenek. Sepulang berziarah dan silaturahmi, kami memasak makanan yang nantinya akan dimakan bersama dengan mamang, bibi, sepupu dan saudaraku lainnya. Makanan yang disantap biasanya berupa opor ayam, kentang goreng, ketupat, dan sayuran. Kami berkumpul bersama, sejenak meninggalkan kesibukan masing-masing, hanya untuk sekedar bercengkrama ria. Sedangkan aku kadang bermain dengan sepupuku. Terkadang pula aku dimintai tolong untuk mengupas kelapa tua, untuk dijadikan bahan makanan. Sambil menyuruhku biasanya nenek bilang, “lalaki teh kudu loba kabisa, ulah khoream, komo lamun geus boga istri mah”. Begitulah nenek, setiap hari sering menasehatiku, walaupun sedikit menggerutu, namun tatkala setelah merantau jauh, aku sadar bahwa pepatah nasihat yang disampaikan nenek ada benarnya.
Kelapa yang dikupas nantinya akan diparut dan dijadikan bahan dasar pembuatan awug. Gula merah dan kelapa parut nantinya akan dicampur yang menjadi ciri khas citra rasa awug. Makanan khas inilah yang membuat masa beberapa tahun silam di kampung halaman hadir mengalir deras di pikiranku.
***
Sejak lulus SMA, aku membulatkan tekad untuk pergi merantau ke jawa. Keinginanku pergi merantau bukan tanpa alasan. Awalnya aku termotivasi dari pepatah Imam Syafi’i. Pepatah itu bertuliskan “Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang”. Pepatah itulah yang merubah pola pikirku. Keinginan kuat itulah yang akhirnya ketika pengumuman tes masuk perguruan tinggi, aku lolos di kampus ujung timur pulau jawa. Semenjak pertama kali menginjakkan kaki, sudah kuniatkan untuk mengikuti organisasi yang ada di kampus. Dan sebab itu semester demi semester kulalui dengan terbelenggu hiruk-pikuk dunia kampus. 
Arus rutinitas menggerusku menjalani hidup yang monoton. Setiap akhir pekan, kuisi dengan kegiatan kampus atau mengerjakan tugas kuliah. Aku berusaha menghibur diri dengan cara menikmati setiap apa yang dikerjakan. Sampai tak terasa setiap bulan Ramadhan tiba, kulewati tanpa adanya Munggahan. Buka puasa bersama keluarga tergantikan dengan buka puasa bersama teman-teman satu organisasi atau bila sedang menghemat aku mencari masjid yang menyediakan makan takjil, juga terkadang kuratapi kesunyian malam sendirian saat bersantap sahur. Silaturahmi ke kerabat keluarga tergantikan dengan silaturahmi ke rumah teman. Untuk sekedar melepas rindu, aku hanya bisa bertatap muka lewat videocall di aplikasi messengger. 
Sejak aku teringat kampung halaman, akhir-akhir ini terkadang aku menyempatkan diri pergi ke angkringan Nol Kilometer. Hanya sekedar membeli kopi ditemani ketan manis. Memakannya sambil kadang mengerjakan tugas. Kemudian sesekali tenggelam dalam lautan kenangan semasa remaja dulu. Ketika bersama nenek yang senang berkisah tentang pengalaman masa lalu atau ketika mengeluarkan pepatah-pepatah kuno yang saat itu tak kumengerti maksudnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Catatan kaki:
ora ono kepinginan luwih nyenengi, liyane ing penggalihipun dhumateng ing ngarep: tidak ada yang lebih nikmat, selain berada di tempat berpulang.
Awug: makanan khas bandung terbuat dari tepung beras, gula merah dan parutan kelapa.
Sampeyan: kamu.
Aki: Kakek
Mamang: paman.
lalaki teh kudu loba kabisa, ulah khoream, komo lamun geus boga istri mah: laki-laki itu harus banyak kemampuan, jangan malas, apalagi kalau sudah punya istri.

Jember, 7 Mei 2019
Zulfa Ihsan

Ikuti tulisan menarik Zulfa Ihsan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB