x

Iklan

Zulfa Ihsan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2022

Sabtu, 10 Desember 2022 17:03 WIB

Atavisme

Tulisan merupakan Cerita Pendek yang mengungkapkan realitas tradisi kelarifan lokal Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mentari melangkah pergi karena tak kuasa mempertahankan terang di kala senja. Cakrawala berwarna kuning kemerah-merahan seperti hati Abah yang sedang memerah. Kabar bahwa Aldy terkena kasus tawuran antar pelajar hingga babak belur di kotanya terdengar sampai daun telinga Abahnya yang sedaritadi menunggu sosok kehadiran Aldy di ruang tamu. Melihat Abahnya Aldy tak heran sebab Abahnya sudah biasa memberikan wejangan ketika dia berbuat salah.

“Urang sunda teh Kudu hade gogog hade tagog, kudu sae tutur bahasa jeung laku lampah[1]. malu atuh sama nama marga yang diberikan turun-temurun oleh nenek-buyut kita,” nasihat Abah[2] kepada Aldy ketika mengetahui sang jagoan keluarganya berbuat onar terlibat perselisihan antar sekolah di kotanya.

“Apa atuh Bah pentingnya nama marga kita? naon bedana orang lain kalawan urang? Sami-sami neda sangu, sarta sami-sami peryogi oksigen. Apa atuh yang bisa dibanggakan dari nama marga kita?” (apa bedanya orang lain dengan kita? sama sama makan nasi, dan sama sama butuh oksigen)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Timbul perasaan jengkel tiap kali Abahnya membicarakan tentang marga dari sebuah nama “Linggabuana”. Konon nama marga yang tersematkan di belakang nama Aldy bukanlah sembarang marga. Teteh[3] Aldy cerita kalau marga itu memiliki nilai sejarahnya. Abahnya bernama Lutfi Fitratudin Aji Linggabuana merupakan garis keturunan dari kerajaan sunda yang memegang kekuasan di ujung barat pulau jawa yang dipimpin oleh Maharaja Linggabuana. Abah Aldy sangat kental dan memegang teguh adat dan tradisi orang sunda, hal  itu ditambah dengan tersematnya nama marga “Linggabuana” hingga kepercayaan leluhur tertanam kuat dalam diri Abahnya. Sedangkan, Ibunya merupakan keturunan blasteran Jawa dengan Sunda.

Jang nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang[4]. Segala perkataan harus dipertimbangkan sebelum diucapkan. Kita adalah keturunan keraton sunda Aldy, jangan pernah melupakan sejarah keluarga kita. Sebagai anak muda seharusnya melestarikan dan menjaga tradisi budaya kita. apalagi kamu sebagai anak cucu keturunan dari kerajaan sunda. patut berbanggalah dengan marga yang diberikan nenek buyut kita,” jawab Abahnya tersenyum tampak kekaguman di wajahnya.

“Mau keturunan bupati atau presiden. Aldy mah ga peduli Bah. Aku tak mau dikekang hanya oleh sebuah nama yang membuat segalanya menjadi terbatas oleh aturan-aturan yang Abah katakan,” timpal Aldy seraya melangkah pergi ke kamar tak kuasa mendengar nasihat yang dilontarkan oleh sang Abah. Melihat tingkah laku Aldy, Abahnya tampak tenang dan tersenyum. Dia menganggap pandangan hidup serta nasihat yang diberikan kepada Aldy melainkan demi keselamatan hidup sang buah hatinya.

***

Beberapa tahun berlalu, setelah lulus SMA Aldy melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi di jawa tengah. Sebelum keberangkatannya ke tanah rantau, Aldy pamitan kepada keluarganya, sungkem dan menyalami lengan Ibu dan Bapak untuk pamit pergi meninggalkan rumah tempat dia tumbuh dewasa. Seperti biasa ketika salam Abahnya selalu melontarkan wejangan. “kalau nanti di rantau Ulah puraga tamba kadengda[5]. Dalam belajar harus sungguh-sungguh. Kerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen dengan sebaik mungkin. Dalam pertemanan Ulah nyieun pucuk ti girang jeung ulah gindi pikir belang bayah. Jangan mencari bibit permusuhan Aldy. Jangan punya pikiran buruk terhadap sesama.”

Bah Aldy teh udah dewasa. Abah tidak perlu sesering itu menasihati Aldy. Aldy sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk untuk kehidupanku sendiri Bah,” balas Aldy tanpa memedulikan perkataan Abahnya. Dia juga tak memedulikan mimik wajah Ibu yang mulai tampak murung melihat buah hatinya mulai berkembang dewasa menjadi kupu-kupu yang baru saja keluar dari kepompong dan siap terbang bebas.

Ketika SMA Aldy memang merupakan sosok teman yang mudah bergaul dengan siapa saja. Walaupun dia orang kaya dan tersemat marga “linggabuana” di belakang namanya tak membuat Aldy tinggi hati. Dia tidak mau masa putih-abunya hambar atau rusak hanya karena marga yang disematkan dalam namanya. Hingga suatu ketika Aldy bertemu gadis keturunan Jawa yang membuat hatinya teduh dan nyaman. Benih-benih asmara terjalin saat pertama kali bertemu dalam suatu kegiatan ospek di kampusnya.

“Assalamualaikum. Perkenalkan nama saya Rina Nurfadilah. Bisa dipanggil Rina.Saya dari Yogyakarta.Terima kasih,” Aldy memandang gadis yang sedang memperkenalkan dirinya. Entah kenapa ketika melihatnya ada aliran-aliran seperti listrik yang menjalar menuju hatinya hingga berdegup kencang sampai nafas terengah tak menentu. Gadis berkacamata yang memiliki wajah lonjong dengan pipi bulat ketika tersenyum. Mata yang indah menampakkan kejujuran dalam hati. Dalam sekali waktu Aldy terjebak dan tersesat di kota cintanya, menterjemahkan segala isyarat hingga limbah penat dan lelah pun hilang membias indah tergetarkan oleh dada.

Tulang rusuk selalu tahu dimana dia diciptakan. Asmara yang terjalin berlanjut ketika Aldy dan Rina disatukan dalam satu kelompok di ospek. Mereka saling membantu satu sama lain, misalnya saat Rina hampir terkena hukuman karena lupa tidak membawa name tag sebagai tanda pengenal. Aldy pun dengan sengaja menghilangkan name tagnya agar bisa menemani sang pujaan menerima hukuman. Sampai suatu hari Aldy memberanikan diri untuk mendekati dan memulai pembicaraan kepada sang pujaan hatinya saat sedang duduk sendirian di kantin kampus. “hay Rin sendirian aja, mana teman-temanmu?”

Hening beberapa saat, sebab Rina terkejut akan kedantangan Aldy secara tiba-tiba. Dengan gugup Rina menjawab “ohh… mmm… teman-temanku lagi melaksanakan solat di masjid… kamu sendiri lagi apa disini?”

“setelah kuliah tadi perutku meronta-ronta. Jadi aku pergi ke kantin untuk menenangkan si perut hehehe…” jawab Aldy berusaha terlihat gagah menghilangkan rasa berdebar-debar yang dibuat hatinya saat dirinya sedang berada dekat dengan sang pujaan hatinya.

“oalah… makannya sebelum kuliah tuh isi dulu perutnya… apalagi hari ini jadwal kuliah padat, kalau perut belum di isi bisa-bisa kamu kena sakit magh lagi kan repot jadinya.”

“kamu pintar juga ya soal perut hehehe… boleh aku duduk di sebelahmu Rin?” Tanya Aldy melihat kursi kosong disebelah Rina. Percakapan berlangsung lama hingga berlanjut setiap hari. Benih cinta antara mereka hadir di awali dengan rasa saling suka dan malu-malu sampai akhirnya mereka saling mengaku. Sampai setiap waktu dipenuhi dengan derasnya air rindu yang tak terbendung. Ketika salah satu diantara mereka tidak ada kabar sedikitpun hatinya merasa kehilangan.

Musim demi musim silih berganti. Tak seperti jagung, seiring berjalannya waktu benih-benih cinta semakin tumbuh tanpa diberi pupuk. Sikap kedewasaan saling menghargai dan saling mengasihi turut menghiasi sepanjang kisah cinta mereka. Sikap kedewasaan terlihat ketika mereka saling memegang prinsip akan terus bersama sampai memakai toga di atas kepala. kemudian cinta mereka bertahan sampai toga yang di anggap mahasiswa seperti mahkota di selimuti dengan intan nan berlian.

kisah cinta yang terjalin selama di perantauan tak diketahui oleh orang tua Aldy. Watak Abahnya yang seringkali menasihati dia menyebabkan dirinya tak berani menceritakan kepada Abah. Namun, anak mana yang tak mau hubungan cintanya tak direstui?

Belum sempat sang senja mengucap kalam, hadirnya petang membawa angin malam penyebab resah dalam gelap penuh hampa yang dirasakan Aldy. Tak ingin dia mentari itu pergi. Namun apalah daya. Kepastian itu harus segera terdengar oleh orang tuanya yang telah sabar membesarkannya. Abahnya sedang duduk di pelantaran halaman depan rumah menikmati senja yang akan berakhir di cakrawala. Melihat kedatangan sosok Aldy dia bertanya “aya naon Aldy? meni cicing wae dina lawang panto maneh teh.” (Ada apa Aldy? malah diem aja di daun pintu kamu teh)

Bah maafkan Aldy jika selama ini menyusahkan Abah.Aldy hanya ingin memberitahu Abah kalau Aldy selama hidup di perantauan menemukan perempuan yang membuat Aldy cinta.”

“hahaha.. urang mana atuh awewe anu midamel hate maneh luluh?”(hahaha.. orang mana atuh perempuan yang membuat hati kamu luluh?)

“kenapa tertawa begitu Bah? Apa yang lucu? Aku serius Bah lainna heureuy.dia asli orang jawa Bah. Sudah 4 tahun aku menjalin asmara dengannya,” (bukannya bercanda) jawab Aldy, Abahnya diam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu Aldy melanjutkan “Bah Aldy sudah dewasa. Aldy berhak menentukan pilihan apa yang terbaik bagiku. salah satunya memilih tambatan hati yang menurut Aldy pantas untuk diriku. Aldy sudah menjalin hubungan sejak dari Kuliah dan dari dulu aku sudah berkomitmen untuk menjadikan dia pasangan hidupku,” terang Aldy panjang lebar

Abahnya menghela nafas sejenak menenangkan selaput-selaput paru-paru yang semakin renta seraya bergumam, “maneh orang sunda lain? Maneh oge keturuan kerajaan Linggabuana lain? Apal lain sejarahnya kuluwargi urang sadayana parantos peperangan bubat? Tabiat urang jawa teh sok haus kana kakuasaan Aldy.kumaha lamun harta urang dibeakkeun ku manehna? Nenek buyut kita rela mati demi kehormatan dan harga diri bangsa dan negaranya.Kita tidak boleh melanggar larangan estri ti luaran[6]. Tindakan keberanian prabu linggabuana dan putri dyah pitaloka untuk melakukan bela pati[7] harus kita hormati dan muliakan sebagai garis keturunannya.” (kau keturunan orang sunda bukan? Kau juga keturunan kerajaan Linggabuana bukan? Tau kan sejarahnya keluarga kita semua setelah peperangan bubat? Tabiat orang jawa tuh suka haus kekuasaan. Gimana kalau harta kita dihabiskan sama dia?)

“dunia sudah modern Bah. Pemikiran setiap orang telah berubah dan mulai meninggalkan sejarah itu, tidak ada lagi sentimen dendam atau permusuhan antara suku sunda dan jawa. Semua orang berhak memilih pasangannya sendiri tanpa harus terikat oleh tradisi seperti yang Abah pertahankan,” tegas Aldy dengan raut wajah muram. Dia menolak pemikiran Abahnya. Dia mengira semua omong kosong itu telah terkikis oleh periodisasi zaman yang semakin berkembang. Namun, nyatanya, pada zaman yang serba mudah ini, pada zaman  yang telah mengalami modernisasi, dia masih menemukan orang yang tetap mempertahankan adat kebiasaan kuno yang sudah lama tidak muncul pada zamannya.

 

[1]Peribahasa sunda artinya, harus baik budi bahasa dan tingkah laku.

[2]   Abah=ayah

[3]Sebutan untuk kakak perempuan.

[4] Peribahasa sunda artinya, segala perkataan harus dipertimbangkan sebelum diucapkan , senantiasa mengendalikan diri dalam berkata-kata.

[5]Peribahasa artinya dalam mengerjakan suatu pekerjaan jangan asal dikeriakan saia, tetapi harus dengan sungguh-sungguh sehingga hasilnya memuaskan.

[6]Suatu larangan yang lahir setelah peristiwa perang bubat yaitu tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

[7]Berani mati.

Ikuti tulisan menarik Zulfa Ihsan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB