x

cover buku biografi Didik Nini Thowok

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 5 Januari 2023 07:24 WIB

Didik Nini Thowok - Menari Sampai Terlahir Kembali

Buku "Menari Sampai Lahir Kembali" karya Herry Gendut Jnarto mengisahkan tentang perjalanan Didik Nini Thowok sebagai seorang penari kondang. Dalam buku ini juga dibahas tentang pergumulan Didik sebagai seorang cross gender.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Didik Nini Thowok – Menari Sampai Lahir Kembali

Penulis: Herry Gendut Janarto

Tahun Terbit: 2005

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Sava Media

Tebal: vii + 218

ISBN: 979-3695-30-7

 

Didik Nini Thowok alias Didik Hadiprayitno alias Kwee Tjoen An adalah seorang maestro. Karyanya di bidang seni tari sungguh luar biasa. Tari “Dwi Muka” adalah karya Didik yang fenomenal. Sebab tarian itu dilakukan dengan dua muka. Artinya Didik harus menari membelakangi penonton seluwes saat ia menghadapi penonton. Ia adalah ikon dalam seni olah tubuh, khususnya dalam tari komedi. Didik Nini Thowok mendapatkan pengakuan sebagai maestro baik dari dalam maupun luar negeri. Meski sudah sukses, Didik adalah seorang yang rendah hati. Ia menari di istana. Ia menari di berbagai negeri. Namun ia tak menolak untuk menari di keramaian di kota-kota kecil.

Siapakah Didik Nini Thowok? Bagaimana prosesnya sampai ia menjadi pesohor? Apa saja pergumulannya? Herry Gendut Janarto (HGJ) mengungkap tuntas sosok Didik Nini Thowok melalui buku berjudul “Menari Sampai Lahir Kembali.”

 

Anak blasteran yang hidup dalam kemiskinan tapi penuh cinta

Didik terlahir dengan nama Kwee Tjoen An di Temanggung. Ayahnya bernama Kwee Yoe Tiang dan ibunya bernama Suminah. Dari jalur ayahnya memang Didik membawa darah Tionghoa sedangkan dari ibu membawa darah Jawa.

Didik dibesarkan dalam keluarga besar. Kakek aslinya bernama Kwee Liang Hoo, nenek Liem Siek Nio. Namun sang ayah Yoe Tiang diangkat anak oleh pamannya yang bernama Kwee Liang Iek. Kwee Liang Iek mempunyai dua istri, sehingga Didik juga mempunyai dua emak. Kedua emaknya adalah Emak Iek (Tejodiwati) dan Mak Saonah. Didik juga cukup akrab dengan emak jauh.

Dibesarkan dalam keluarga campuran membuat Didik tidak berjarak dengan teman-temannya di kampung. Mereka sering bermain bersama. Salah satu permainan yang disukainya adalah prosotan lumpur di sungai bersama kawan-kawannya. Hobi prosotan di sungai itu terhenti karena Didik mengalami kecelakaan yang mengakibatkan luka di bagian alisnya.

Keluarga besar Didik bukanlah keluarga kaya. Usaha utama sang kakek dan ayahnya adalah jual beli kulit kambing dan sapi. Sayangnya usaha ini bangkrut sehingga ekonomi keluarga Didik menyurut. Kwee Yeo Tiang adalah ayah yang sangat bertanggung jawab. Setelah bangkrut ia beralih profesi sebagai sopir truk dan kemudian menjadi bandar lotre gelap (togel). Semua pekerjaan dilakukan demi menyelamatkan keluarga.

Didik sekeluarga (berjumlah 10 orang) pernah hidup di sebuah bangunan sederhana yang pintu depannya terhalang pohon kelengkeng, sehingga sulit untuk masuk rumah. Bangunan rumah tersebut tidak memiliki sarana toilet, sehingga mereka harus buang hajat ke sungai.

Kemiskinan tersebut membuat Didik tidak bisa langsung kuliah saat lulus SMA. Ia harus mengumpulkan uang dan menunggu setahun supaya akhirnya bisa kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Jogja.

Meski hidup dalam kemiskinan, tetapi Didik dilingkupi orang-orang yang penuh cinta. Ia disayangi oleh emak dan engkongnya. Ia dicintai oleh para guru dan dosennya. Bahkan saat ia membutuhkan sepeda saat kuliah di Jogja, salah seorang tetangganya rela meminjamkan sepedanya selama sepeda tersebut dibutuhkan oleh Didik.

Sebagai seorang yang dicintai, Didik juga menjadi seorang yang penuh cinta kepada keluarganya. Ia memilih untuk membiayai operasi tumor ibunya daripada membeli sepeda motor. Ia menyerahkan uang kepada ayahnya yang sudah tua untuk membayar hutang.

 

Hobi menari dari sejak kecil dan asal usul nama Nini Thowok

Sejak kecil Didik memang suka menari. Lingkungannya mendukung. Dua neneknya suka mendandani dan mendukung Didik menari. Ia sering diajak menonton film India yang banyak tarian di Bioskop City (hal. 15). Juga menonton ludruk, kethoprak dan wayang kulit (hal. 16) yang penuh tarian dan kostum yang menarik. Bakatnya memang besar.

Namun sesungguhnya Didik mempunyai talenta lain selain menari; yaitu melukis. Atas bimbingan Engkong Iek, Didik belajar melukis. Bahkan saat SD Didik lebih banyak menekuni melukis daripada menari. Namun saat lulus SMA, Didik harus memutuskan apakah akan menekuni dunia tari atau dunia Lukis. Didik memilih dunia tari. Itulah sebabnya ia memilih kuliah di ASTI.

Selain melukis dan menari, Didik juga punya talenta dalam merias. Ia adalah salah satu perias pertunjukan yang piawai di Jogja. Bahkan ia diangkat menjadi dosen riang panggung di ASTI. Ia belajar rias panggung dari R.M. Soedarsono (Dosen rias panggung ASTI) dan mebalajr rias temanten dari Ibu Darso (hal. 68).

Hobi tarinya ditekuni sejak SMP. Guru tari pertamanya adalah Sumiarsih, teman SMP (hal. 21). Ia juga berkesempatan untuk les menari dari Ibu Sumiati ahli tari klasik gaya Surakarta (hal. 21). Saat ingin belajar tari Bali, Didik mengalami kesulitan. Sebab di kota kecil seperti Temanggung, tentu sulit mendapatkan guru tari Bali. Namun melalui sebuah keberuntungan ia bertemu dengan Pak Sugianto tukang cukur yang ahli tari Bali (hal. 23). Jadilah ia belajar tari Bali dari sang tukang cukur.

Saat SMA ia lebih serius belajar menari. Ia belajar tari klasik Jawa dari Pak A.M. Sudiharjo dan kursus menari di Kantor Pembinaan (Kabin) Kebudayaan Kabupaten Temanggung (hal. 30). Didik digembleng oleh Pak Prapto Prasodjo dan Pak Rochmadi. Keduanya adalah seniman tari klasik.

Didik adalah seorang pembelajar. Meski namanya sudah mulai tersiar di dunia tari, Didik tetap terus belajar dari para pujangga tari. Ia belajar koreografi dari Bagong Kusudiharjo (ha. 59), belajar tari Sunda dari Endo Suanda, tari Bali dari Ngurah Supartha dan dari I Gusti Gde Raka Saba di Gianyar. Belajar Tari Topeng Cirebon dari Ibu Suji (hal. 60). Didik juga belajar tari Jepang dengan dukungan dari Japan Foundation (hal. 182).

Asal usul nama Nini Thowok adalah saat Bekti Budi Astuti (Tutik) membuat repertoir tari Nini Thowok. Tutik mengajak Sunaryo dan Didik untuk menjadi peraga tarian tersebut (hal. 51). Didik dipilih sebagai peraga dukun pemanggil Nini Thowok karena ia bisa menampilkan tarian yang luwes tetapi centil dan kocak. Sayang Sunaryo akhirnya mundur dan digantikan oleh Bambang Leksono Setyo Aji. Formasi terakhir adalah Mbak Tutik sebagai Nini Thowok, Bambang Leksono Setyo Aji sebagai pawang dan Didik sebagai dukun tua pembawa sesaji (hal. 52). Sejak itu ketiganya menambahkan nama Nini Thowok di belakang nama. Tutik Nini Thowok, Bambang Nini Thowok dan Didik Nini Thowok.

Karya Didik yang fenomenal adalah Tari Dwi Muka. Tarian ini memaksa penarinya harus bisa menari secara baik, baik dari sisi muka maupun sisi punggung. Sebab di sisi punggung, bagian Kepala si penari dipasangi topeng, sehingga seakan-akan ia menghadap penonton. Padahal sesungguhnya ia sedang menari memunggungi penonton. Tarian ini begitu disukai sehingga sering ditampilkan di hadapan para penonton kelas VIP, seperti Presiden Suharto, Ibu Tien, Sultan Hassanal Bolkiah, Datuk Mahatir, Fidel Ramos dan sebagainya (hal. 111). Repertoir Tari Dwi Muka begitu sulit untuk ditarikan oleh orang lain karena kerumitan gerakannya yang gemulai tetapi ada unsur kelucuan.

Didik memilih jalur Tari Komedi, dengan fokus kepada tarian jenis alusan/perempuan. Pilihan ini bukannya tidak mendapatkan cibiran. Sebab banyak pihak yang menganggap bahwa tari komedi adalah tarian yang tidak serius. Tarian yang bisa dilakukan secara spontanitas. Padahal tari komedi di tangan Didik adalah tarian yang disiapkan dengan serius, dengan dengan gerak yang sudah ditata dengan sangat rapi.

Bukti bahwa Didik bukanlah seorang komedian yang mengekploitasi tari, Didik juga sangat piawai dalam berbagai repertoir tari tradisional yang harus dipentaskan secara serius.

 

Cross gender bukan transgender

Menurut penuturan HGJ dalam buku ini, Didik adalah seorang cross gender. Bukan transgender. Cross gender adalah seorang lelaki tulen yang lebih nyaman berperilaku sebagai perempuan. Bukti bahwa Didik adalah seorang cross gender dalah Didik pernah berpacaran sebanyak lima kali. Kelima pacarnya adalah perempuan.

Sejak kecil Didik sudah sering didandani sebagai perempuan oleh neneknya (hal. 15). Mungkin kebiasaan ini yang membuat Didik lebih akrab dengan gerakan perempuan.

Sebagai seorang cross gender, Didik sering mendapatkan tekanan.

Didik bukannya tidak ingin membawakan jenis tarian pria yang gagah. Namun dia merasa bahwa dia tidak bisa tuntas membawakan jenis tarian ini. Bahkan saat menarikan “Larung,” sebuah tari Panji yang gagah, teman-temannya menjulukinya sebagai Sarapada (64). Alih-alih membawakannya seperti Panji, di mata teman-temannya gaya menari Didik malah mirip dengan Sarapada, seorang cantrik yang membantu berburu. Sarapada digambarkan sebagai lelaki yang badannya meliuk-liuk sehingga bisa menghindar dari terkaman binatang buas (hal. 64).

Dalam sebuah pertunjukan di Jakarta, Didik pernah disindir tajam oleh seorang artis Ibukota: “Lho kok ada banci masuk sini!” Betapa menyakitkannya ucapan tersebut. Namun Didik tidak marah dan tidak membalas.

Tekanan bukan hanya dari luar, tetapi juga dari orang dekatnya. Hubungannya yang serius dengan salah satu pacarnya bubar karena sang pacar meminta Didik untuk berhenti menari sebagai perempuan. Itulah sebabnya di usia keempat puluh, Didik memutuskan untuk hidup sendiri dan tidak menikah. Ia bahagia dengan pilihannya.

Menyadari bahwa ia lebih cocok menarikan tari halus, Didik berketetapan untuk menari di jalur ini. Pilihannya ini membuat prestasinya diakui di berbagai negara. Terutama di Jepang.

Perjumpaannya dengan para penari Jepang, membuat Didik semakin mantap menjalani hidup sebagai seorang cross gender. Tradisi Jepang memang memberi tempat bagi cross gender. Misalnya melalui Teater Kabuki dimana tokoh Onagata (perempuan) selalu diperankan oleh penari laki-laki. Sejak itu Didik sering diundang dalam pagelaran-pagelaran tari cross gender, diantaranya adalah Female Impersonator in Theater yang digelar di berbagai kota di Jepang, Eropa dan Mesir (hal. 190).

 

Didik mengabdikan hidupnya untuk tari. Untuk memasyarakatkan tari, Didik mendirikan Sanggar Tari Natya Laksita (hal. 71). Sanggar tari ini dikelola secara profesional dengan standar bisnis modern. Melalui sanggar ini diharapkan lebih banyak orang-orang yang tertarik dengan dunia tari. Pun lahir tari-tari baru yang berakar pada tradisi dan berkebang melalui kreasi. Tepat benar judul buku yang diberikan oleh HGJ, yaitu “Menari Sampai Terlahir Kembali.” 727

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler